[Kembaliannya Mana?] — Ayo!

soljaecruise
4 min readSep 6, 2024

--

Sadam menggigiti kuku jarinya gelisah. Dia sudah mondar-mandir di depan pintu kedatangan bandara lebih dari sepuluh kali, menunggu lebih dari dua jam dengan berbagai gaya — duduk, berdiri, jongkok, hingga nyaris kayang — saking tak sabarnya ingin segera bertemu Raya.

Resmi seminggu Sadam ditinggal Raya ke Surabaya. Kesabarannya sudah tinggal setipis tisu, hampir habis. Sadam sekarat. Kalau saja Raya berniat mengulur waktu kepulangannya barang sehari saja, Sadam sudah siap membeli tiket pesawat dan menyusul kekasihnya tak peduli kalau di sana Raya akan mengomelinya habis-habisan. Sadam ingin menemui Raya seperti ia membutuhkan oksigen untuk bernapas.

Ini adalah rekor terlama mereka tak saling melihat satu sama lain. Sadam sendiri heran bagaimana ia masih bisa menyetir tanpa menyebabkan kecelakaan di jalan di saat kepalanya rasanya sudah tidak lagi waras. Hanya ada Raya. Raya. Raya. Berharap ketika ia berlari menuju pintu kedatangan, Raya sudah berdiri menunggunya di sana. Apa daya, jadwal penerbangan Raya justru terlambat.

Tangan Sadam mengusap wajahnya hingga ke bagian belakang rambut, seperti orang furstrasi. Mata Sadam terus memindai setiap penumpang yang keluar dari pintu kaca otomatis, mencari sosok mungil nan cantik yang selama enam malam berturut-turut selalu masuk ke mimpi Sadam, saking rindunya.

Akhirnya sosok yang dinantikan Sadam tiba, tepat sebelum akal sehat pria itu hilang sepenuhnya dan mengamuk ke petugas layanan pelanggan maskapai yang Raya tumpangi.

Raya melambai antusias melihat Sadam — yang tubuhnya sangat mudah dikenali dari jauh sekalipun. Dengan mata berkaca-kaca bahagia, Sadam balas melambai. Kakinya otomatis berlari menghampiri Raya. Saat itu Sadam sadar, ada seorang lelaki nyaris setinggi tubuhnya berdiri di belakang Raya, membawakan koper kuning menyala milik perempuan kesayangan Sadam. Senyum di wajah Sadam sedikit meredup, namun langsung kembali cerah begitu Raya bergerak maju menghampirinya dan mendaratkan pelukan erat di tubuh Sadam. Tangan Raya memeluk pinggang Sadam ketat.

“Yaaaanggg… kangen. Hehehe….”

Tangan Sadam mengusap kepala Raya dengan sayang. “Aku juga. Kangen banget. Boleh cium di sini, nggak?” sengaja Sadam mengatakannya dengan sedikit keras agar Mike bisa mendengarnya. Sadam tersenyum puas waktu melihat kedua alis Mike terangkat, terkejut.

Raya menjauhkan kepalanya yang telah bersandar di dada Sadam selama satu menit. “Nggak tau malu!” Raya mencubit lengan Sadam. Sadam sama sekali tak bereaksi karena cubitan Raya sama sekali tidak sakit.

Ketika Sadam melihat Mike mengangguk-angguk membenarkan penyataan Raya, pria itu mengulurkan tangan, menarik koper Raya dari tangan Mike.

“Makasih ya udah dibawain. Padahal udah gue bilang sewa porter aja kalo berat.”

“Nggak berat sama sekali,” jawab Mike enteng. Ia mengangkat tangan, berpamitan kepada Sadam dan Raya. “Gue duluan, ya.”

Setelah Mike pergi, Sadam seakan baru menyadari ada sesuatu yang kurang. “Bang Galih mana?”

“Udah pulang duluan kemarin. Istrinya sakit,” jelas Raya. Ia melepaskan pelukannya di tubuh Sadam dan ganti menggandeng tangan Sadam. Tangan mungil Raya tenggelam dalam telapak tangan Sadam yang besar.

“HAH? JADI KALIAN CUMA PULANG BERDUA?” tanya Sadam syok. Raya mengangguk santai. “Kenapa sih, Yang? Udah ayo, pulang. Capek aku. Katanya mau cium?”

****

Sadam masih manyun. Meski Raya sudah memberinya hadiah ciuman berkali-kali. Di keningnya, di pipi, di hidung dan terakhir yang tak boleh ketinggalan, di bibirnya. Tangan Sadam masih memegangi tangan Raya, menahan perempuan itu turun dari mobil.

“Udah malem, Yang… Besok aku masih harus kerja. Kamu juga. Katanya Bang Pepet lagi cuti ngurus ibunya yang sakit?”

Sadam tak kunjung menjawab. Entah kenapa bibirnya berat sekali terbuka. Ia hanya ingin bersama Raya sambil menenangkan perasaannya sendiri setelah tahu bahwa Raya sempat menghabiskan setengah hari berdua saja. Sadam percaya, Raya tidak mungkin melakukan tindakan aneh-aneh, tetapi ia tidak percaya dengan rekan senior Raya tersebut. Kelihatan jelas aura playboy-nya. Sadam tidak suka.

“Kenapa nggak bilang kamu pulang cuma sama Mike?”

Raya menarik napas sambil mengangkat tangannya yang sedang digenggam Sadam. “Emangnya penting, ya? Orang di pesawat juga duduknya misah.”

Tangan kiri Raya yang bebas bergerak menangkup wajah Sadam agar fokus memandang ke arahnya. “Bayi gorilaku ini kenapa sihhh rewel banget baru ditinggal seminggu? Gimana nanti kalau ditinggal kuliah?”

Sadam memalingkan wajah sehingga rengkuhan tangan mungil Raya pada wajahnya terlepas.

“Males ah, kamu malah manggil aku Gori. Kaya Kimi aja.”

“Ngambek teruss….”

Raya tertawa geli, senang melihat wajah Sadam yang merajuk. “Jadi aku nggak boleh turun nih?”

“Boleh,” jawab Sadam lesu. Ia kemudian menekan salah satu tombol pada pintu mobil sehingga terdengar bunyi ‘klek’ yang mendandkan kunci pintu otomatis terbuka. Namun begitu, genggaman tangan Sadam belum juga melonggar, malah semakin erat.

Raya menyandarkan kepalanya pada jok mobil, memandang Sadam sambil mengelus lembut pipi pria itu. “Kita bisa nggak ya, LDR?”

Sadam tak menjawab, hanya menatap Raya. Ia sendiri tidak yakin. Baru ditinggal tujuh hari saja, Sadam sudah kehilangan gairah hidup.

Tangan kanan Sadam menangkup tangan Raya yang sedang mengelus pipinya. Dikecupnya tangan mungil Raya berkali-kali. Hati Raya terasa hangat. Ia belum pernah merasakan limpahan rasa kasih sayang sebanyak ini dari lawan jenis sebelumnya, dan tak tahu apakah Raya juga mampu membalasnya dengan kuantitas yang sama.

Tangan Raya balas menggenggam erat tangan Sadam.

“Sadam Januar… Ayo kita nikah.”

Napas Sadam tertahan. Matanya mengerjap menatap Raya berkali-kali. Ritme jantungnya mendadak melambat sampai nyaris berhenti. Sadam nyaris pingsan di tempat ditembak Raya seperti itu.

“Serius kamu?” Jantung Sadam yang tadinya seakan berhenti mendadak berdebar kencang.

Raya mengangguk. “Ayo kita nikah, setelah aku lulus S2. Kamu janji mau nungguin aku, kan?”

Sadam yang sudah sempat diselimuti keringat dingin merasakan aliran darahnya kembali berjalan normal. Ia sudah sempat terkejut, kepalanya sibuk memikirkan rencana akad hingga resepsi pernikahan yang ternyata… tetap baru akan terlaksana beberapa tahun mendatang.

Sadam tersenyum, mengangguk menjawab pertanyaan Raya.

“Iya, pasti aku tungguin.”

tbc.

--

--

No responses yet