[Kembaliannya Mana?] — Belum Pasti

soljaecruise
4 min readAug 21, 2024

--

Semuanya kembali seperti sebelumnya, sebelum banyak tragedi penuh drama antara Sadam, Raya, dan Ganda. Meski pergelangan kaki Raya sudah sepenuhnya membaik, status Sadam sebagai kurir dan sopir antar-jemputnya tidak berubah. Entah karena Sadam yang kerajinan atau Raya yang terlanjur nyaman.

Tadi pagi selain membawakan dan memakan sarapan bersama Raya, Sadam juga memastikan perempuan itu sampai di kampus dengan selamat dengan menumpang motor bebek hitam matic andalannya untuk menembus kemacetan. Sore ini juga sama, meski Raya sudah menolak, Sadam bersikeras ingin menjemput dan mengajak Raya makan malam keluar.

Kelas Raya baru saja selesai 5 menit yang lalu. Beberapa teman-temannya bahkan masih tinggal di kelas untuk mendiskusikan tugas yang diberikan sang dosen, tapi Raya tidak begitu. Ia langsung buru-buru keluar kelas begitu sang dosen mengakhiri sesi belajar mereka.

Saat Raya berjalan menuju lobi, matanya sudah bisa menangkap sosok Sadam sedang berbicara dengan Kimi dan dua orang perempuan yang Raya duga adalah teman-teman Kimi, atau penggemarnya.

Sadam tampak mengobrol seru. Raya jadi penasaran, obrolan macam apa yang begitu menarik perhatian Sadam, Kimi, dan dua perempuan tersebut sampai-sampai angin kencang yang menerbangkan rambut mereka pun tampak seperti bukan masalah sama sekali. Sadam apalagi, terus tersenyum lebar seakan mulutnya tak bisa mengatup.

Alih-alih mencari tempat untuk mengobrol yang nyaman, mereka melanjutkan percakapn seru di halaman parkir, di tengah langit mendung yang sudah jelas menunjukkan tanda-tanda hujan akan segera turun. Raya mematung sesaat di tempatnya, ragu melangkah lebih jauh dan merusak interaksi Sadam yang sangat seru itu.

“Ray.”

Raya tersentak, merasakan sentuhan pada pundaknya. Ia menoleh, melihat Mada berdiri tepat di belakangnya sambil tersenyum simpul.

“Kok bengong? Ngeliatin apa?” Pandangan Mada melewati tubuh mungil Raya dan mendapati sosok yang belakangan ini agak familiar berada di sekitar Raya.

Mada kembali menatap Raya. “Lo punya pacar sekarang?”

Raya menengok ke arah Sadam sekilas — yang masih tenggelam dalam obrolan serunya — sebelum kembali menghadap Mada. “Bu… Bukan pacar gue,” jawab Raya terbata-bata.

Mada mengangguk-angguk. “Kalo gue?”

Kelopak mata Raya mengedip tiga kali. Tak yakin dengan apa yang ia dengar. “Sori?”

“Kalo gue?” ulang Mada dengan lebih pelan dan penuh tekanan.

“Temen?”

“Nggak pernah bisa naik statusnya, ya?” Mada tersenyum pahit. “Bercanda.”

Karena canggung, Raya pun hanya bisa terkekeh-kekeh, pura-pura merasa terhibur. Demi menyelamatkan situasi tak menyenangkan tersebut, Raya pun akhirnya buru-buru pamit. Ia berjalan cepat menghampiri Sadam yang ternyata sudah menunggu Raya.

Kimi dan teman-temannya sudah pergi. Hanya tersisa Sadam sendiri yang ternyata sudah nyaris lima menit menunggu Raya selesai berbicara dengan Mada.

“Lama banget,” ucap Sadam sambil membukakan pintu mobil untuk Raya. “Ngobrolin apa sih?”

Harusnya gue yang nanya gitu, batin Raya sambil melirik Sadam sebelum lelaki itu menutup pintu.

Dalam perjalanan ditemani suasana temaram menuju senja yang jauh lebih gelap dari biasanya, Raya tak banyak bicara. Ia menikmati lagu yang diputar di radio sementara Sadam hanya bersenandung pelan, berusaha menghibur diri di tengah kemacetan kota Jakarta yang tak masuk akal sore ini.

30 menit kita di sini
Tanpa suara
Dan aku resah harus menunggu lama
Kata darimu

Mungkin butuh kursus merangkai kata
Untuk bicara
Dan aku benci harus jujur padamu
Tentang semua ini

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku gugup, tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu
Dan memaksa diri ‘tuk bilang, “Aku sayang padamu”

(Pelangi di Matamu — Jamrud)

Raya meresapi kata demi kata, bait demi bait lirik lagu yang entah mengapa seakan menghipnotis pikirannya. Raya sudah mendengar lagu ini ribuan kali, di berbagai tempat, tapi tak pernah bersama seorang pria, dalam sebuah ruangan mobil yang sempit, di temani suasana yang syahdu dan dingin.

Raya yang sedari tadi hanya berani menatap tangan Sadam yang memegang kemudi kini memberanikan diri melirik pria itu. Topinya ia kenakan terbalik. Tangan kirinya di kemudi, sementara tangan kanannya sibuk mengelus dagu. Bibir Sadam manyun, tampak bosan dan lelah menerjang kemacetan.

Tak lama kemudian, Raya melihat Sadam terkekeh melihat tulisan-tulisan nyeleneh pada badan truk tepat di depan mobil mereka.

“Sori, ya. Lo jadi capek menerjang macet gini gara-gara jemput gue.”

Pehatian Sadam otomatis teralihkan. “Oh… nggak. Tadi gue sekalian nganter barang titipan Kimi.”

“Barang apa?” tanya Raya penasaran, tapi Sadam tampak kembali menaruh perhatiannya pada tulisan di truk. Ia bahkan memotretnya dan — curiga Raya — menjadikannya status WhatsApp atau paling tidak mengirimkannya kepada seseorang. Mendadak ada rasa tidak suka dalam benak Raya membayangkan seseorang itu bukan dirinya karena ponselnya sama sekali tidak berbunyi.

“Barang apa?” ulang Raya sekali lagi.

“Oh… itu… apa tadi ya? Gak tau sih. Masih dibungkusan, belum dibuka paketnya. Gak tau tu anak pesen apa.”

Sadam dan Raya kembali terdiam. Di momen tersebut, Raya berusaha mengendalikan perasaan dan pikirannya yang kacau sejak melihat Sadam di halaman parkir kampusnya tadi.

Sebenernya gue ngapain sih sama ni orang? Deket doang? Bener-bener cuma support system?

“Lo ngapain sih ngeliatin tangan gue terus? Mau salim?”

Pertanyaan Sadam membuyarkan lamunan Raya. Ia pun langsung memalingkan pandangan ke jendela di sebelah kirinya, membuang muka dari Sadam.

“En — ggak. Gak ada apa-apa,” sergahnya.

Raya mengembuskan napas berat. Fokus, Raya. FOKUS!

tbc.

--

--

Responses (1)