[Kembaliannya Mana?] — Ciluk Ba!

soljaecruise
3 min readAug 25, 2024

--

Sadam sedang menatap ponselnya serius, menantikan pesan Raya. Hatinya turut prihatin karena setelah seharian kemarin berkutat dengan skripsinya, ternyata jadwal bimbingan Raya dibatalkan. Bukan hanya Raya yang kecewa, tetapi Sadam juga. Dia sudah mengikhlaskan agenda makan siang bersama karena jadwal bimbingan skripsi tersebut. Tak tahunya malah gagal. Artinya, akan ada jadwal makan bersama yang gugur lagi untuk jadwal bimbingan skripsi berikutnya.

“Bang ada perangko, nggak?”

Sadam yang masih menatap layar ponselnya dengan serius pun tertawa geli mendapatkan pertanyaan dari salah seorang pelanggannya tersebut.

“BUSET. Jaman kapan ini masih ada aja yang nanyain perangko — Loh? Gina?”

Tawa lebar di wajah Sadam lenyap. Matanya terkunci pada sosok perempuan berambut pendek sebahu, dengan kaca mata dan senyum di wajahnya yang masih Sadam ingat. Perempuan itu berdiri di depan Sadam membawa dua tumpuk buku di tangan. Tampak intelek sekaligus berbahaya.

“Gue nggak tau lo sekarang jadi juragan fotokopian.”

Pandangan Gina berputar mengamati seluruh penjuru ruangan. Ketika perhatian perempuan itu tertuju pada dua orang pria yang kini sedang menatapnya dengan pandangan yang tak bisa Gina artikan — antara terkejut dan panik — Gina melambaikan tangan, menyapa Pepet dan Tama yang sepertinya siap menyeret Sadam dan menguncinya di gudang atas.

Disapa Gina, Tama balas melambaikan tangan, yang langsung ditepak oleh Pepet.

“Lo… ngapain di sini? Ada urusan ke kampus?” tanya Sadam sedikit gugup. Sadam menegakkan posisi tubuhnya sehingga tubuh Gina kini tampak hanya setinggi lehernya.

“Gue kos deket sini. Baru ambil program magister. Ih, asik banget ada fotokopian lo deket dari kos. Jadi gampang nanti kalau mau minta tolong.”

Gina tersenyum lebar, membuat Sadam yang masih berusaha mencerna situasi di sekitarnya hanya bisa garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Iya, hehe… Lo beneran mau beli perangko?”

“Nggak lah. Gue mau nge-print.”

“Oh, iya. Silakan….” Sadam mengulurkan tangannya, mempersilakan Gina untuk menempati salah satu komputer yang kosong.

Sementara Gina berkutat dengan komputer, Sadam menoleh ke belakang, melihat Pepet dan Tama berkali-kali memberikan lirikan maut yang artinya mungkin meminta Sadam mengabaikan teman lamanya yang tiba-tiba datang itu.

“Dam, ini gimana caranya biar gue bisa nge-print bolak-balik, ya?”

Karena Tama dan Pepet sama-sama sedang melayani pelanggan, Sadam akhirnya menghampiri Gina. Ia membantu perempuan itu menyunting tampilan cetak dokumen selayaknya tukang fotokopian yang canggih dan penuh wawasan.

“Udah, ini tinggal print aja,” jelas Sadam, tepat saat tangan Gina menyentuh tangannya yang sedang memegang mouse. Sadam refleks menarik tangan kanannya, dan memeluknya erat-erat sambil menatap Gina terkejut.

Saat Gina hendak membayar, Sadam jadi lebih hati-hati. Meski Sadam tau, Gina memang tipikal perempuan yang tidak sungkan menyentuh orang-orang yang berada di sekitarnya — baik perempuan ataupun laki-laki — sekarang kebiasaan teman lamanya itu membuat Sadam sedikit waswas.

“Jadi berapa, Dam?”

“Nggak usah. Cuma selembar aja.”

“Kok, lo jadi kaku banget gitu sih ke gue?” Bibir Gina manyun bercanda. Perempuan itu tetap tertawa setelahnya.

“Hah? Kaku gimana?”

“Ya… kayak gak excited gitu. Kita udah lama loh gak ketemu?”

Sadam terkekeh kaku. “Hehe… Perasaan lo aja kali.” Mata Sadam menatap jari-jari Gina yang polos tanpa perhiasan di atas etalase kaca tokonya. “Gimana kabar Riko?”

Sadam bisa melihat perubahan di wajah Gina. Perempuan itu masih tersenyum, hanya saja tidak tampak sesenang tadi. Lebih seperti, senyum pahit menahan getir.

“Nggak tau. Udah lama nggak ketemu.”

“Kok…?”

“Kita nggak jadi nikah,” lanjut Gina.

“Hah…?”

Gina membetulkan tali tasnya yang melorot sambil meraih buku-buku di atas etalase kaca. “Panjang ceritanya. Lain kali aja gue ceritain pas kita makan bareng.”

Sadam masih saja termenung bahkan ketika Gina tampak sudah melupakan obrolan mereka tentang Riko.

Nice to see you again, Dam. I mean it. Gue boleh minta nomor WA lo? Siapa tau butuh kalau mau nge-print dokumen dadakan.”

Dengan kondisi setengah Sadar, Sadam pun menuliskan nomor ponselnya di selembar kertas dan menyerahkannya kepada Gina. Mata elang Pepet yang menangkap momen tersebut rasanya ingin menjambak rambut Sadam yang tebal untuk menyadarkan pria tersebut. Sayangnya, masih banyak pelanggan yang menunggu untuk dilayani.

Thanks. Gue duluan ya, Dam. See you soon?

Sadam tak menjawab, hanya tersenyum seraya melambaikan tangan mengantar kepergian Gina dari Juragan siang itu.

— tbc.

--

--

Responses (2)