[Kembaliannya Mana?] — Egois

soljaecruise
3 min readAug 25, 2024

--

“Kenapa, Dam? Ada masalah?”

Sadam yang sedang meringis frustrasi karena gagal menghubungi Raya menatap Gina. Mereka akhirnya pergi makan bersama karena Sadam merasa ada yang harus diselesaikan di antara mereka sebelum ia kembali fokus kepada Raya.

Sadam tidak menjawab pertanyaan Gina. Ia menyuap kembali ayam bakar di hadapannya yang nyaris utuh, sementara makanan di piring Gina sudah hampir habis.

“Dulu kita sering makan berdua di sini, ingat nggak? Nggak nyangka warungnya masih ada.” Gina memperhatikan keadaan di sekitar mereka yang ramai. Ada pasangan yang sedang pacaran, ada mahasiswa yang bergerombol, juga seorang pengamen yang menyanyi dengan suara sumbang.

“Jadi, kenapa lo nggak jadi sama Riko?” tanya Sadam akhirnya setelah menunggu cerita dari mulut Gina yang tak kunjung datang.

Gina menangkup wajahnya dengan kedua tangan sambil memperhatikan Sadam makan.

“Jawaban formalnya… dia terlalu sibuk, sampai nggak peduli apapun dengan persiapan pernikahan kami. Alasan aslinya….”

Gina menggantung kata-katanya, sengaja menunggu Sadam menghabiskan makanannya sebelum keduanya kembali bertatapan.

“Gue nggak se-hepi itu kayak waktu gue sama lo.”

Sadam refleks berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Sendok di tangan Sadam berhenti tepat di depan bibirnya. Sadam kembali menatap Gina dengan pandangan heran.

“Beberapa hari lalu, gue bilang gue seneng banget ketemu sama lo, Dam. I really mean it. Lo adalah cowok paling baik dan perhatian yang pernah gue temuin,” aku Gina jujur. “Kalau gue berharap kita bisa kaya dulu lagi, boleh nggak, Dam?”

Sadam menarik napas. Setelah sekian menit terdiam. Ia akhirnya menaruh sendoknya kembali ke piring, menjauhkan tubuhnya dari meja dan membuang muka.

“Sori, gue nggak bisa.”

Sadam meraih kunci motornya di atas meja dan meninggalkan Gina begitu saja setelah membayar makanan mereka.

“Sadam!” panggil Gina, namun Sadam mengabaikannya.

****

Sadam mengendarai motor nyaris seperti orang kesetanan. Ia bahkan hampir menabrak pedagang kaki lima yang sedang mendorong gerobak dan disumpahi oleh pengandara bermotor lain. Tetapi, ia tidak peduli. Pikirannya kalut. Yang ia pikirkan hanyalah, ia harus bertemu Raya. Bagaimanapun caranya, malam itu, mereka harus berbicara.

Sadam memarkir asal motornya di depan gerbang kosan Raya. Ia berlari masuk ke dalam dan berdiri tepat di depan pintu bertuliskan angka 5. Sadam menggedor-gedor pintu kayu di depannya.

“Raya, ini gue. Bukain pintunya.”

“Raya, gue mau ngomong sesuatu. Gue nggak bakal pergi sebelum lo bukain.”

“Raya, please….”

Tangan Sadam terangkat, hendak menggedor kembali, namun urung begitu pintu di depannya mendadak terbuka lebar, menampilkan sosok Raya yang sudah terbalut piyama tidur dengan rambut terurai. Sudut-sudut bibir Raya menukik ke bawah, menunjukkan raut wajahnya yang kesal.

“GUE UDAH NGANTUK LO NGAPAIN RIBUT DEPAN PINTU KOSAN GUEE??” Maki Raya marah.

Sadam berusaha mengatur napasnya. Meski dimarahi Raya, Sadam justru tersenyum karena akhirnya bisa mendengar kalimat panjang dari perempuan itu.

“APA CEPET?” tanya Raya galak sambil berkacak pinggang. Matanya memelototi Sadam dengan berani meski hatinya berdebar tak keruan.

Sadam tersenyum semakin lebar. Ia mendorong tubuh Raya ke dalam kosannya dan tanpa aba-aba, mencium bibir Raya. Raya yang terkejut tidak bisa bergerak. Matanya melebar, mencoba memproses apa yang sedang terjadi antara ia dan Sadam. Bahkan setelah Sadam menjauhkan bibirnya dari bibir Raya, pikiran Raya masih terasa kosong.

“Kali ini gue mau egois dan keras kepala,” ucap Sadam yang malah membuat Raya semakin bingung. Egois ngapain? Keras kepala soal apa?

“Raya,” panggil Sadam dengan hati bergetar. “Ayo kita jadian.”

Bibir Raya yang tadinya separuh terbuka setelah dicium Sadam, kini menganga semakin lebar.

“Gue mau bebas manggil lo sayang, bebas ngakuin lo sebagai pacar gue, bebas megang tangan lo kapanpun gue mau, atau nyium lo kayak tadi tanpa mempertanya…,” Sadam menarik napas. “Tanpa mempertanyakan status hubungan kita. Ayo kita jadian.”

Dada Raya naik-turun saking jantungnya berdebar kencang dan tak keruan. Tadi setelah dicium Sadam saja rasanya dada Raya hampir meledak. Kali ini, rasanya ia akan jatuh pingsan. Tolong panggilkan UWUMBULANCE!! pekik Raya dalam hati.

“Kamu…,” suara Raya terdengar kecil, nyaris seperti cicikan tikus. “Kamu… nggak salah makan?” tanya Raya memastikan.

Sadam menggeleng. Ia menarik satu tangan Raya dan menaruhnya di dadanya. “Jantung gue juga udah mau meledak.”

Raya tertawa. “Jangan. Kalau meledak, nanti kita nggak jadi pacaran dong?”

Sadam balas tersenyum, ia menarik tubuh Raya ke dalam pelukannya dan merasakan dekap hangat perempuan itu yang balas memeluk dirinya.

tbc.

--

--

Responses (1)