[Kembaliannya Mana?] — Fakta yang Terkuak

soljaecruise
4 min readAug 17, 2024

--

Pagi ini cuaca mendung, tetapi senyum Sadam merekah cerah setelah membaca beberapa ocehan Raya di media sosial. Ia sedang cekikikan menatap layar ponselnya, sementara Pepet dan Tama sibuk memasukkan puluhan rim kertas dan ratusan pak alat tulis lainnya ke mobil boks yang akan digunakan untuk mengirim pesanan alat tulis kantor kepada beberapa pelanggan mereka pagi ini.

“DAM UDAH DIITUNG LAGI NIH. UDAH BENER!” Teriak Pepet sambil berkacak pinggang.

Sadam tak mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Alamatnya udah dipastiin lagi belom?”

“Kan udah sering ngirim ke sana, Bang?” balas Tama sambil menutup pintu mobil boks dan menguncinya.

“Yaudah, berangkat deh lo pada,” ucap Sadam masih tak mengalihkan pandangan. “Tanda terimanya jangan lupa!”

“IYE!” teriak Pepet. “Lu jaga warung yang bener! Jangan main hp aja lu!”

“Iye elah. Bawel!” Balas Sadam. Akhirnya ia mengangkat pandangannya dari ponsel untuk melihat Pepet yang mendampingi Tama sebagai sopir membawa mobil boks keluar dari halaman parkir fotokopian Juragan yang cukup luas.

Sadam baru saja hendak menatap layar ponselnya kembali, namun niatnya itu urung begitu melihat sosok lelaki yang tadi pagi dilihatnya tak jauh dari kosan Raya.

Ganda berjalan tegap memasuki fotokopian Juragan. Tanpa basa-basi, ia langsung menghampiri Sadam dan menaruh tas hitam mengkilatnya di atas etalase. Mengikuti gerakan Ganda, Sadam pun menegakkan tubuh.

“Ada amplop?” tanya Ganda sambil membuka tas hitamnya dan merogoh-rogoh sesuatu di sana.

“Kabar gue baek,” ujar Sadam tanpa memedulikan lirikan tajam Ganda. “Gue nggak nanya kabar lo.”

Sadam memutar bola matanya. Ia pun bergeser ke etalase sebelah untuk mengambil amplop. “Butuh berapa?”

“Selembar aja. Buat takziah.”

Sadam meraih beberapa lembar amplop dan menyerahkannya kepada Ganda. “Ambil aja.”

“Pinjem pulpen,” ucap Ganda lagi.

“Beli dong. Pinjem… pinjem….”

Kali ini Ganda melirik Sadam kembali. “Pelit banget.”

Sadam menarik napas, mencoba bersabar dengan maksud kedatangan Ganda yang tiba-tiba. Sadam tahu betul, Ganda tidak akan repot-repot mampir hanya untuk membeli amplop dan meminjam pulpen.

Sadam melempar pulpen kepada Ganda. Pria itu langsung pura-pura sibuk menulis sesuatu di amplop, Sadam pun memalingkan pandangan ke luar fotokopian karena merasa canggung.

“Serius nanya.” Ganda akhirnya menegakkan tubuh kembali dan menatap Sadam lurus-lurus. “Kenapa?”

“Kenapa apanya?” tanya Sadam bingung.

“Kenapa milih buka fotokopian? Bukannya abis lulus S2 lo dapat offer dari World Bank?”

Sadam menatap Ganda dengan tatapan memicing. “Udah sekian tahun, lo masih nguntit kehidupan gue?” Melihat tatapan Ganda berubah murka, Sadam pun berdeham. “Gak betah jadi budak korporat.”

“Gue nanya serius dan baik-baik,” tekan Ganda. “Kenapa?”

Karena gerah ditatap terlalu intens, Sadam pun balas menatap Ganda sambil berkacak pinggang. “Kita nggak sedeket itu sampe gue harus ngasih tau cerita panjangnya, kan?”

Ganda menarik napas, akhirnya mengalah. Ia pun menanyakan pertanyaan paling penting yang ingin diutarakannya sejak melihat Sadam tadi pagi, sebelum ia mampir ke kosan Raya untuk memberikan beberapa makanan dan camilan kepada adiknya.

“Lo deket sama adek gue?”

“Adek lo siapa?” tanya Sadam acuh tak acuh, masih menatap Ganda dengan sengak.

“Gue liat lo nganter dia tadi.”

Sadam memutar bola matanya ke atas, menatap langit-langit sambil mengingat. “Ratu adek lo?” tanya Sadam.

Ia pun meringis begitu menyadari ada sedikit kemiripan di wajah pria di hadapannya kini dengan perempuan yang sejak tadi pagi sudah membuat hari Sadam berbunga-bunga.

Ganda memasukan amplop pemberian sadam ke saku jas hitamnya, bersiap pergi. “Masa depan Raya masih panjang. Jangan lo bercandain.”

“Kalo gue beneran serius, gimana?”

Ganda yang sudah berbalik pergi hendak meninggalkan Sadam pun terpaksa menghentikan langkah. Ia memutar tubuhnya kembali.

“Emang lo udah move on dari Gina?”

Pertanyaan Ganda membuat tubuh Sadam kaku. Sadam merasakan rahanya berkedut karena serangan emosi dadakan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, alih-alih melempar Ganda dengan pulpen di tangannya, Sadam memilih untuk mengambil lap di atas mesin fotokopi dan berpura-pura sibuk mengelap etalase.

Ia ingat nama yang disebutkan Ganda barusan. Gina , Ganda, Riko, dan Sadam adalah teman kelompok belajar dan sempat berada di tim yang sama untuk sebuah olimpiade ekonomi internasional saat kuliah Sarjana dulu.

Sadam pernah menyimpan perasaan kepada Gina, cukup lama, tapi tak pernah berani mengutarakannya. Setiap mereka belajar hingga malam, Ganda sering melihat Sadam memperhatikan Gina yang tertidur atau ketika Gina minta diantar-jemput, Sadam akan dengan sukarela menurutinya. Sayang, Gina justru lebih memilih Riko yang telah lebih dulu menyatakan perasaannya ketimbang Sadam yang hanya berani memendam kala itu.

Sadam melirik Ganda yang kembali berjalan mendekatinya. “Yaelah. Udah lama banget kali,” jawab Sadam sok santai.

“Oh, ya? Kemarin gue kebetulan ketemu Gina pas abis meeting sama rekan kerja. Dia nanyain lo.”

“Ngapain?” tanya Sadam, berhenti mengelap etalase.

Ganda mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. “Go ask her.” Sadam terdiam mendengar perkataan Ganda.

“Inget pesan gue.” Ganda kembali mendekat, lalu menepuk-nepuk pundak Sadam dan sedikit meremasnya kuat.

“Masa depan adek gue masih panjang. Jangan lo ganggu.”

Setelah mengucapkan pesannya tersebut, Ganda pun pergi.

tbc

--

--

No responses yet