[Kembaliannya Mana?] — Hadiah Lamaran Raya
“Sebelumnya, mohon maaf karena mungkin ini seserahannya masih seadanya, karena lamarannya dadakan,” Roni — adik sulung Sultan Januar, pamannya Sadam mulai membuka maksud kedatangan keluarga besar Sultan — ke rumah Raya.
Sultan Januar menatap tumpukan hantaran berhiaskan pita dan bunga cantik yang disusun rapi di sudut ruangan. Meski bagi Indra dan Dewi — orang tua Raya — barang-barang yang diberikan sudah lebih dari cukup, Sultan merasa tidak enak hati karena tidak menyiapkannya dengan baik. Termasuk, roti buaya yang sejatinya ingin dibuat dengan ukuran lebih besar.
“Kedatangan kami sekeluarga, ingin meminang putri Bapak Ibu, Neng Ratu Soraya untuk keponakan saya, Sadam Januar. Kiranya Pak Indra dan Bu Dewi menerima maksud baik kami. InshaAlloh… Neng Raya sudah dianggap seperti anak Babeh Sultan sendiri dan keponakan saya, Sadam, juga bisa menjadi imam yang baik dan suami yang bertanggung jawab.”
Raya menunggu dengan jantung berdebar. Meski samar, ia bisa mendengar dengan jelas bagaimana prosesi lamarannya berlangsung di bawah. Raya yang ditemani Tania dan Uta masih tidak menyangka, Sadam benar-benar akan melamarnya dalam waktu secepat ini. Padahal rasanya baru kemarin ia bertemu pria aneh itu.
Raya menunggu dengan sabar, hingga Ganda mengetuk pintu kamarnya dan meminta Raya untuk turun.
“Yaya, ayo. Calon suami kamu nungguin di bawah.”
Raya tersenyum kesal. Di saat seperti ini pun Ganda masih bisa meledeknya. Mungkin tidak menyangka karena adiknya yang selalu dianggapnya masih belum cukup umur itu tiba-tiba saja dilamar oleh seorang juragan.
Raya berjalan pelan digandeng Uta dan Tania menuruni tangga, sementara itu Sadam berdiri di bawah, berusaha menanti dengan sabar. Sesekali ia merapikan kain sutra batiknya yang sama sekali tidak kusut.
Sebenarnya Sadam hanya ingin menenangkan diri karena sesungguhnya ia nyaris pingsan waktu melihat siluet Raya ketika beranjak keluar dari kamar. Belum melihat wajahnya saja, Sadam tahu, ia bukan melamar manusia, melainkan bidadari paling bersinar di bumi. Begitu melihat paras cantik Raya yang menunduk sambil tersenyum malu-malu menuruni tangga, Sadam menautkan kedua tangannya dan mengepalkannya erat-erat. Bibirnya terlipat ke dalam, berusaha sebisa mungkin tidak berlari ke atas dan menggendong Raya turun.
“Bang Sadam, benar bukan ini mempelai wanitanya?” tanya sang pembawa acara kepada Sadam yang matanya tertuju lekat kepada Raya.
“Betul.”
“Yang mana?”
“Yang paling cantik, imut, lucu, dan bersinar di dunia.”
Para tamu langsung tertawa mendengar jawaban Sadam. Hanya Pepet dan Tama sendiri yang sepertinya mau muntah karena sudah terlalu sering menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana alay dan kekanakannya Sadam kalau sudah bersama Raya.
Ketika akhirnya Sadam dan Raya berdiri berhadapan, keduanya tak bisa menahan untuk tidak saling menatap dan tersenyum malu-malu, persis seperti remaja yang baru kasmaran. Dengan tangan bergetar, Sadam menerima cincin pemberian Roni dan menyematkannya di jari manis Raya yang terasa mungil dalam genggamannya. Berlian yang menghiasi cincin mengilat sempurna, tetapi bagi Sadam, kilaunya masih kalah dengan senyuman Raya yang hari ini terlihat seribu kali lebih manis dan menyetrum hati Sadam.
Lo cakep banget, lo punya gue, batin Sadam tersenyum penuh kemenangan.
Usai prosesi pertukaran cincin, Raya memberikan isyarat kepada Sadam melalui tangannya. Meminta tunangannya itu mendekat dan menunduk sehingga ia bisa berbisik di telinga Sadam.
“Kamu ganteng banget hari ini.”
Sadam tersenyum semringah. “Kamu juga cantik banget. Habis ini boleh cium, gak?”
Raya otomatis tertawa seraya mendorong tubuh Sadam menjauh, sementara Sadam mengerling berkali-kali sengaja menggoda Raya.
****
Setelah prosesi lamaran berakhir, keluarga Sultan Januar masih tinggal di rumah Raya untuk menikmati makan siang bersama dan beramah tamah kepada sang tuan rumah. Raya yang sudah tidak sabar ingin melepas sanggulnya diantar Kimi ke kamar. Uta sudah pulang lebih dulu karena harus mengantar ayahnya ke rumah sakit.
“Ray, selamat ya….” Kimi memeluk Raya begitu berhasil melepaskan belasan pin rambut di kepala Raya. Rambut Raya terurai dengan kaku di punggungnya.
“Thanks, Kimi.”
Kimi melepaskan pelukannya, meminta Raya duduk di kasur bersamanya. “Gue tau si Sadam kadang kelakuannya aneh bin ajaib, tapi lo harus percaya abang gue itu orangnya setia dan baik banget. Sesebel-sebelnya gue sama si Sadam, gue selalu bangga kok punya abang kaya dia. Gue salut banget sama kerja kerasnya.”
Raya mengangguk membenarkan. “Gue juga bangga kok sama dia dan merasa disayang banget sama Bang Sadam.”
Belum sempat Raya melanjutkan kalimatnya, Kimi mengacungkan satu jari, meminta Raya menunggu sementara ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangan mungilnya.
Kening Raya mengerut waktu Kimi mengangsurkan selembar foto kepadanya. “Ini apa?”
“Hadiah pertunangan. Liat aja sendiri. Semoga sih nggak nyesel.”
Raya menerima foto pemberian Kimi. Matanya membulat seketika, wajahnya memerah di balik perona pipinya yang menyala. Raya melirik Kimi, tak kuasa menahan tawa. Mulutnya separuh terbuka melihat foto Sadam ketika masih kecil bersama Kimi sedang main di kali. Kimi masih tampak seperti bocah berusia dua atau tiga tahun, hanya mengenakan kaus kutang dan celana dalam. Sementara Sadam, tampak tersenyum bandel. Tubuhnya kuyup dan telanjang, tanpa mengenakan sehelai benang pun. Tawa Raya dan Kimi otomatis meledak.
Raya tak kuasa menahan tawa hingga air matanya keluar, tidak menyangka kalau Sadam punya kenangan foto seperti ini.
“Ngetawain apa sih? Ikutan dong.”
Raya dan Kimi otomatis berhenti tertawa dan saling melirik. Entah sejak kapan Sadam sudah berdiri di antara mereka.
“Kapan lo masuk, Bang?” tanya Kimi bingung.
Sadam menunjuk pintu kamar Raya. “Dari tadi pintunya kebuka. Kalian ketawa kenceng banget, kedengeran ke bawah. Ngetawain apa, sih? Itu apa?” Sadam menunjuk foto dalam genggaman tangan Raya dan menariknya tanpa aba-aba.
“ASTAGHFIRULLAHALADZIM.”
Begitu menyadari masa kecil memalukannya terpampang jelas dalam foto tersebut, wajah Sadam seketika merah seperti kepiting rebus. Tawa Raya dan Kimi kembali meledak melihat ekspresi malu Sadam.
Sadam yang geram langsung membungkus tubuh Kimi dengan selimut di kasur. Tubuhnya yang besar sigap meniban tubuh Kimi dan memiting adik bungsunya itu sehingga Kimi memohon ampun.
“KIMI LU BENER-BENER YA. DI HARI BAHAGIA GUE MASIH AJA LU BIKIN ULAH!”
“AMPUN BANG! LEPASIN IHH AMPUN BANGG!!!”
Sementara itu, Raya masih tertawa-tawa melihat pergulatan antara Sadam dan Kimi.
“Yang, kamu jangan ketawa-ketawa. Kita belum muhrim, Yang. Masa kamu udah liat aku telanjang bulet! Curang!”
Raya merebut kembali foto di tangan Sadam sehingga Sadam panik dan melepaskan Kimi. Mereka bertiga berkejaran saling memperebutkan foto tersebut.
“RAYA! KIMI! ISTIGHFAR KALIAN WOI!!”
“RAYA! GAK BOLEH GITU SAMA CALON SUAMI DOSA!”
“KIMI LU BENER-BENER YE. LIAT LU NYAMPE RUMAH GUE CEBURIN KE EMPANG!”
Hari itu, meski tetap bahagia luar biasa, Sadam pulang ke rumah dengan perasaan sedikit gondok karena ulah Kimi. Kimi yang sudah berkali-kali meminta maaf pun diabaikan Sadam. Saking kesalnya, ia bahkan tak bereaksi waktu Raya ikut meminta maaf.
Sadam tidak bisa terima. Seluruh tubuhnya sudah terekspos secara gamblang di depan Raya sebelum mereka resmi menjadi suami-istri. Semua ini karena ulah Kimi! Meskipun tubuh Sadam kini jauh berbeda dengan tubuhnya saat sebelum puber, Sadam tetap tak bisa terima dan merasa dendam kesumat kepada duo maut Kimi dan Raya.
— tbc.