[Kembaliannya Mana?] — Harga Sebuah Bekal
Sadam jelas bukan penggemar Valentino Rossi. Selain karena menurut Sadam mukanya tengil, dia juga muak setiap kali melihat pembalap itu muncul berkali-kali dalam iklan layar televisi, merusak tontonan kartun pagi Sadam. Namun ada satu hal yang Sadam pelajari dari pria asal Italia tersebut, yaitu caranya mengemudikan motor secepat kilat.
Dengan modal boncengan bersama Pepet, Sadam melajukan motor bebek hitam matic-nya dengan lincah, menyelip di antara kepadatan jalanan pada jam makan siang. Saking kencangnya, Pepet sampai berkali-kali menggebuk punggung Sadam sambil memaki-maki pria tersebut. Pasalnya, bukannya hanya ugal-ugalan, tetapi cara Sadam membawa motor juga menjadikan mereka bulan-bulanan makian para pengendara motor lainnya. Tak terhitung berapa kali suara klakson kencang terdengar di telinga Pepet.
“SADAM PELAN-PELAN BEGO! INI MAH YANG ADA KITA YANG KECELAKAAN! SINI GANTIAN AJA DAH!”
Sadam tak menghiraukan omelan Pepet. “Berisik aja lu. Udah liat maps yang bener. Masih jauh, gak?”
“Kaga. Delapan ratus meter lagi.” Pepet melirik ponsel dalam genggaman tangannya sebelum kembali menatap jalanan. Begitu melihat objek yang dirasanya adalah mobil Raya, tangannya dengan cepat menepuk-nepuk kencang bahu Sadam. “Ono noh… Noh!!!”
Sadam mengencangkan laju motor dan berhenti mendadak tepat di belakang mobil Raya. Ia menghentikan motornya dan menyerahkannya kepada Pepet buru-buru dan asal-asalan sehingga Pepet nyaris terjungkal.
“WOI DAM! YANG BENER AJA LU BANGKE!”
Sadam masih bisa mendengar makian Pepet sebelum ia berlari ke depan mobil Raya dan melihat kekasihnya tengah berseteru dengan seorang remaja pria yang diduga Sadam adalah pengemudi mobil yang menabrak mobil Raya.
“MAKANYA KALO MABOK JANGAN BAWA MOBIL. LO LIAT TUH BEKAL GUE TUMPLEK SEMUA! LO GAK TAU APA SUSAHNYA BIKIN BEKAL BIAR PACAR GUE GAK NGAMBEK LAGI, HAH?”
Sang remaja pria, yang kerah kemejanya berada dalam cengkraman Raya tampak pasrah. “Iya, ampun, Mbak. Maaf. Saya ganti deh bekalnya. Biaya perbaikan mobil Mbak juga pasti saya ganti.”
“SEPELE BANGET LO YA. MAIN GANTI BEKAL. GUE KE PASAR SUBUH-SUBUH TUH BUAT BELI BAHANNYA. AMPE SEPET MATA GUE, GUE BELA-BELAIN!”
“Sabar, Mbak. Sabar….” ucap suara-suara penonton di sekitar mereka.
Sadam buru-buru berlari menghampiri Raya. Tangan besarnya berusaha melepaskan cengkraman tangan Raya pada sang pengemudi sedan hitam. Sadam memeluk tubuh Raya dari belakang, berusaha mencegah Raya untuk meraung kembali kepada si bocah pengemudi. Melihat bocah tersebut tampak syok berat karena amukan Raya, Sadam yang tadinya sudah emosi dari rumah malah jadi kasihan melihatnya.
“Yang, sabar, Yang. Udah, yang penting kamu nggak apa-apa, kan?”
Sadam melepaskan pelukannya sambil memutar tubuh Raya. Diperiksanya baik-baik kondisi tubuh Raya dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa cela.
Menyadari kehadiran Sadam, Raya pun mulai merengek. “Yang… bekal aku tumplek….”
Para warga sekitar yang jadi merasa malas melanjutkan menonton perdebatan Raya dan sang remaja pria langsung membubarkan diri. Sadam memeluk Raya kembali sambil mengelus-elus punggungnya, berusaha menenangkan Raya.
“Iya nggak apa-apa berantakan, nanti tetep aku makan. Udah ya. Ayo pulang ke Juragan.”
Sang bocah yang merasa bersalah pun mengangsurkan beberapa lembar uang kepada Sadam, namun segera Sadam tolak. Dengan isyarat lambaian tangan, Sadam mengusir terang-terangan bocah tersebut. Ia memberikan kode agar bocah itu segera pergi sebelum Raya mengamuk kembali.
Udeh lu pergi aja. Daripada nyawa lu melayang abis ini!
Akhirnya, Sadam pun memboyong Raya masuk ke mobil. Ia dengan sigap mengambil alih kemudi dan melihat tas berisi bekal di kursi penumpang belakang yang terguling ke depan, sehingga beberapa makanan tumpah keluar dari kotak bekal.
Sadam merapikan kotak makanan yang tumpah, sementara Raya memandang hasil karyanya dengan sedih.
“Bekal aku… hiks….”
“Nggak apa-apa, Sayang. Nanti aku makan.”
Ketika Sadam sudah selesai membereskan makanan di kursi penumpang belakang, mendadak kaca jendela di sebelahnya diketuk-ketuk kencang. Sadam lupa, Pepet dari tadi masih menunggunya.
“Ini gue udah boleh balik apa belom?” tanya Pepet bingung. Ia melirik Raya yang matanya kini sembap. “Neng Raya, udah gak usah dibawain bekel lagi ni kunyuk satu. Cuma pura-pura ngambek aja dia.”
Sadam buru-buru menaikkan kembali kaca jendela mobil Raya sehingga kepala Pepet nyaris terjepit. Di luar, makian Pepet kepada Sadam masih samar terdengar.
“Brengsek lu, Dam. Udah gue tolongin!”
Tanpa memedulikan Pepet lagi, Sadam pun segera melajukan mobil Raya perlahan menuju Juragan.
— tbc.