[Kembaliannya Mana?] — Kapal Terombang-Ambing
Sadam menuangkan saus sambal ke piring Raya. Biasanya, Raya pasti sudah merengek manja minta dituangkan saus ke piring setiap kali mereka makan ayam goreng di restoran cepat saji dekat kantornya. Sekarang aneh, sejak dijemput dari bandara tadi, Raya lebih banyak diam. Hingga sekarang, saat diajak makan malam pun sikapnya seperti ogah-ogahan. Sadam jadi bingung. Padahal selama sebulan ke belakang, mereka hanya sempat bertemu beberapa hari. Sadam sudah kangen berat.
“Kenapa sih, Yang? Sakit gigi? Diem aja dari tadi.”
Raya berhenti menguliti ayam di piringnya dan melirik Sadam. “Hah? Enggak kok.”
“Lagi banyak kerjaan?”
Raya mengangguk, lalu tersenyum. “Lagi banyak pikiran aja.”
“Mikirin persiapan buat berangkat?” tanya Sadam lagi. Ia mulai memakan ayamnya sendiri, namun pandangannya tetap fokus kepada Raya. “Apa lagi yang masih kurang? Nanti aku temenin beli.”
Raya mengangguk. “Makasih, ya.”
Wajah Sadam mengerut mendengar ucapan Raya. Aneh. Raya tidak pernah mengatakan terima kasih. Raya biasanya hanya memberikan pujian kepada Sadam dengan manja. Kali ini, tidak.
“Kaku banget kamu… Udah lama kayaknya aku nggak denger kamu manggil sayang. Coba, mana sayangnya??”
Raya otomatis tersedak. Sadam buru-buru menyodorkan minuman Raya dan menepuk-nepuk punggung perempuan itu. “Pelan-pelan, Yang.”
Raya kembali melanjutkan acara makannya, pura-pura lupa dengan permintaan Sadam barusan. Hatinya merasa gelisah, ingin bertanya tapi takut. Jika tahu lebih banyak, Raya tidak yakin masih bisa berdiri dengan tegak di atas kapal yang terombang-ambing ini.
Raya berdeham, sebelum mengajak Sadam berbicara. “Soal Gina — ”
“Nggak usah bahas Gina lagi lah, Yang,” Sadam menyela cepat. “Males aku nanti berantem lagi. Kamu udah mau berangkat, aku pengen kita nikmatin waktu bareng, bukan berantem.”
Raya menarik napas, menatap Sadam yang kini tampak asyik makan. Mungkin memang kelaparan setelah menunggu Raya setengah harian di kantor.
“Kamu tau waktu itu dia dateng ke nikahan Kak Ganda?”
“Iya, tau. Tapi aku nggak ngobrol sama sekali sama dia. Udah lah, Yang. Aku udah nggak ada apa-apa sama Gina.”
Ini bukan masalah kamu masih ada apa-apa sama Gina atau nggak. Ini masalah kamu yang nggak pernah mau terbuka soal masa lalu kamu sama dia. Semua yang kamu lakuin ke aku, Sadam, apa pernah juga kamu lakuin ke Gina yang bahkan bukan pacar kamu?
Raya menaruh kembali ayam goreng yang baru setengah dimakan ke piringnya. Nafsu makannya hilang. Raya melarikan pandangan ke sekeliling restoran yang sepi di penghujung waktu operasionalnya.
****
Mobil Sadam tiba di depan gerbang rumah Raya pukul sepuluh lewat sedikit. Saat Raya melepaskan seat belt, tiba-tiba ia mendapatkan pelukan erat dari Sadam.
“Aku bakal kangen banget sama kamuu… Bulan depan udah nggak bisa begini lagi.” Tangan Sadam mengusap-usap punggung Raya dengan sayang.
Sadam mendorong tubuhnya menjauh dari Raya hanya untuk melihat ekspresi kekasihnya yang termenung. Sadam tersenyum, wajahnya mendekati wajah Raya, ingin menciumnya. Raya membiarkan bibir Sadam menyapu lembut bibirnya, sedangkan ia sendiri membeku. Bibirnya tak bergerak membalas ciuman Sadam di saat hatinya merasa bergetar ingin meluapkan rasa kecewa yang sudah beberapa lama tertahan dan menumpuk. Demi mencoba mempertahankan hubungan mereka, Raya rela menelan pil pahitnya sendirian.
Sadar tak mendapatkan respons dari Raya, Sadam menarik tubuhnya kembali. “Kenapa? Kamu nggak suka, ya?”
Raya menggeleng, mencoba tersenyum. “Aku capek. Mau cepet istirahat.”
“Yaudah, aku turun dulu keluarin koper kamu. Kalo capek, besok aku anter aja ya ke kantor?”
“Ini hari terakhir aku magang. Besok aku udah nggak perlu ke sana,” ucap Raya cepat, menggagalkan gerakan Sadam yang hendak membuka pintu mobil.
“Oh? Kok kamu nggak bilang?”
Bukannya aku yang harusnya bilang gitu, Sadam? Kenapa kamu nggak pernah bilang?
Namun lagi-lagi Raya hanya — memaksakan— tersenyum. “Lupa.”
— tbc.