[Kembaliannya Mana?] — Kegigihan Sadam

soljaecruise
3 min readAug 19, 2024

--

“Kenapa milih jadi tukang fotokopian?”

Sadam yang sedang menunduk menyesap minumannya otomatis melirik Raya dari balik poninya yang sedikit menutupi pandangan Sadam. Sebenarnya tangan Sadam sudah gatal ingin menyibakkan rambut-rambut yang menganggu tersebut karena ia jadi kesulitan melihat wajah cantik Raya dengan jelas meski sudah sedekat ini. Sayang, ia sudah berjanji pada Kimi tidak akan menyentuh mahakarya adiknya tersebut.

Sadam menaruh minumannya. Beneran adek-kakak rupanya. Kenapa sama-sama penasaran perkara hal yang sama? Batin Sadam.

Ia tersenyum lebar, berusaha membuat suasana di antara mereka mencair karena demi Tuhan, hari ini Sadam merasa kurang percaya diri mengajak Raya pergi menonton konser. Ini kali pertama mereka pergi berdua tanpa bertemu secara kebetulan. Sadam jelas-jelas mengajak Raya pergi dan Raya — meski awalnya terpaksa — pada akhrinya menerima tawaran Sadam.

Bagi Sadam, ini adalah kencan pertama mereka. Makanya, hatinya berdebar sejak tadi. Telinga Sadam juga dilairi rasa panas yang menjalar hingga ke punggung.

“Kalo dikasih tahu, jadi pacar gue, ya?”

Blas. Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa sempat Sadam pikirkan. Kalimat spontan yang mewakili perasaan menggebu-gebu Sadam setiap kali melihat Raya — hal yang sudah lama tidak ia rasakan sejak beberapa tahun belakangan. Tepatnya, sejak ia mendapatkan undangan pernikahan Gina dan Riko di tahun yang sama dengan kepergian almarhumah ibunya.

Mengenang kembali pertemuan pertama di warung fotokopiannya dengan Raya, Sadam seakan diguyur air di tengah terik siang bolong kala itu. Sadam kira, Raya adalah mahasiswi baru, karena ia tak pernah melihat Raya sebelumnya berkeliaran di sekitar fotokopian Juragan.

Begitu mendengar niatan Raya untuk mengambil beasiswa S2, Sadam sadar ternyata Raya adalah mahasiswi tingkat akhir. Mengetahui hal ini, ada sedikit rasa kecewa dalam hati Sadam karena artinya, kesempatan pria itu untuk melihat Raya tidak akan terlalu lama.

Mahasiswa di sekitarnya selalu silih berganti, Sadam sudah terbiasa dengan hal ini. Namun waktu mendengar Raya yang mengatakannya, Sadam mendadak merasa gelisah. Mungkin itu yang mendorongnya selalu bertindak gegabah di depan Raya. Terlalu ugal-ugalan berujung alay, kalau meminjam istilah Pepet, sampai bikin Raya justru takut alih-alih naksir.

Sadam melihat wajah Raya tertekuk begitu mendengar pertanyaannya. Demi tidak merusak suasana sore mereka yang syahdu dan damai, Sadam akhirnya meminta maaf dan mulai bercerita dengan mimik serius tentang alasan sesungguhnya di balik fotokopian Juragan yang tak banyak orang ketahui.

“Sebenernya idenya udah ada dari sebelum gue lulus sarjana. Waktu itu masih warung fotokopian biasa, kecil-kecilan dan masih nyewa agak jauh dari kampus,” cerita Sadam.

“Pas gue balik dari Amrik, alhamdulillah makin gede dan bisa punya bangunan sendiri, jadi lebih leluasa buat ngestok barang dalam jumlah banyak. Di atas itu isinya gudang buat nyimpen stok.”

Mata Raya membulat. “Itu dua lantai di atas isinya gudang semua?”

Sadam mengangguk. “Alhamdulillah, perputaran stoknya cepet. Gue juga butuh tempat lebih banyak buat ngisi macem-macem barang. Nggak cuma ATK, peralatan olah raga juga ada,” jelas Sadam. Sejenak, ia tampak berpikir. “Bukan cuma itu sih, buku-buku bahan ajar kuliah, novel, seragam sekolah anak, alat-alat musik gitu juga ada. Tapi beberapa cuma dijual online.”

“Itu warung fotokopian apa kantong Doraemon?” tanya Raya dengan kening mengerut. Sadam hanya tertawa.

“Apa aja gue jual, yang penting halal dan bisa dikumpulin buat ngelamar lo. Ya, nggak?”

Raya mengembuskan napas sambil menarik diri dan memalingkan wajahnya yang sedari tadi terlalu lama melihat Sadam. Raya tahu pria itu sedang tersenyum, makanya ia menghindar. Takut. Dari tadi saja ritme jantungnya sudah tak keruan setelah mendengar cerita tentang orang tua Sadam.

“Terus… apa rencana lo ke depan?” tanya Raya masih enggan menatap Sadam.

“Ini gue lagi diinterogasi buat dinilai prospek sebagai calon, ya?”

Wajah Raya mendadak terasa panas dan memerah. “Ka — kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa kok. Gu — gue cuma berusaha nyari topik pembahasan aja. Habis dari tadi lo diem aja kayak orang lagi sariawan.”

Sadam terkekeh, sementara Raya menyuap sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya dengan salah tingkah.

“Rencana ke depan?” Sadam melirik ke atas, tampak berpikir keras, “Ngelamar lo?”

“SELAIN ITU,” omel Raya tak jelas setelah berusaha keras menelan makanan di mulutnya.

Sadam kembali terkekeh. “Ada rencana buka usaha konveksi dalam waktu dekat. Lagi nyari tempat.”

Raya melongo menatap Sadam. “Kenapa?” tanya Sadam bingung.

“Jiwa pengusaha lo kuat banget, ya?”

Sadam pun hanya bisa terkekeh sambil garuk-garuk kepala. “DNA babeh.”

tbc

--

--

No responses yet