[Kembaliannya Mana?] — Keseriusan Sadam
“Ratu masih tidur?”
Kimi yang sedang menguap urung meraih gelas berisi air mineral di atas meja makan. Keningnya mengerut menatap Sadam yang sedang melahap roti bersama babehnya.
“Raya?” tanya Kimi memastikan, aneh rasanya mendengar Sadam memanggil temannya tersebut dengan nama depannya. “Ratu, ratu… iye tauuu cinta banget lu bang sama temen guee,” nyinyir Kimi. “Masih tidur. Pules banget, gak berani bangunin.”
Sadam mengangguk-angguk. Di saat yang bersamaan, Sultan Januar melipat koran paginya dan memukul pelan punggung Sadam.
“Jadi lu kapan mau serius?” Mata Sultan menatap Sadam lekat. “Gausah mikir apa-apa. Mahar, biaya nikah, semua udah gue siapin. Gausah lama-lama, gak pake ragu-ragu. SIKAAT!”
Sadam menatap babehnya melongo. “Sabar beh. Itu anak masih sepantaran Kimi. Emang kalo ada yang tetiba ngelamar Kimi, babeh mau terima?”
“MAU LAH kalo orangnya kayak lu mah,” ucap Sultan Januar percaya diri sementara Kimi otomatis memuntahkan kembali roti dalam mulutnya sambil melirik Sadam jijik.
“Yang bener aja, Beh!” protes Kimi.
“Emang kenape abang lu?” Sultan memandang Sadam dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Ganteng kayak gueh. Duit ada, udah mapan. Otak cemerlang. Apa yang kurang?”
Sadam tersenyum mesem-mesem lalu menjulurkan lidah kepada Kimi karena untuk kali pertama setelah beberapa tahun terakhir, akhirnya babehnya membelanya di depan adik bungsunya.
Namun sebelum sempat Kimi protes kembali, Sadam mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Tak lama kemudian, sosok Raya yang sedang menjadi bahan pembicaraan keluarga Januar muncul di tengah-tengah mereka dengan sikap canggung sambil merapikan rambut.
“Se — lamat pagi…,” sapa Raya terbata-bata salah tingkah. Suasana yang tadi samar-samar terdengar ramai dari lantai atas kini mendadak sunyi.
Sadam buru-buru menarik kursi di sebelahnya dan mempersilakan Raya duduk di sana. Mendadak tubuh Raya terasa panas karena baik Sadam dan babehnya terus-terusan menatap Raya seraya tersenyum lebar.
“Maap ya neng, sarapan seadanya.” Sultan Januar langsung menyiapkan sepiring roti untuk Raya.
“I — Iya, nggak apa-apa, Pak.” Sadam dan babehnya otomatis sikut-sikutan waktu mendengar panggilan Raya kepada Sultan. Kimi di sebelah Raya turut menyodorkan segelas susu.
“Makasih. Sori, ya. Gue jadi numpang di kamar lo,” ucap Raya kepada Kimi.
Kimi hanya mengangkat bahu santai. “Tenang aja. Bang Sadam bayarin sewa kamarnya kok. Ya kan, Bang?” Kimi menaik-naikkan sebelah alisnya kepada Sadam langsung disambut dengan cibiran kesal kakaknya.
Usai sarapan, dan setelah menerima berbagai ajakan Sultan Januar — mulai dari mencicipi durian hasil kebun keluarga Januar, liburan ke puncak bersama, hingga undangan makan malam, akhirnya Raya pulang, diantar Sadam yang juga hendak membuka warung fotokopinya.
Di sepanjang jalan, Raya bingung kenapa Sadam tidak secerewet biasanya. Jangan-jangan, pria itu ilfeel karena Raya menumpang seenaknya di rumah keluarga Januar? pikir Raya panik. Namun, pikiran itu sirna ketika motor bebek Sadam berhenti tepat di depan gerbang kosan Raya.
“Makasih banyak ya. Sori banget gue ngerepotin keluarga lo. Janji nggak lagi-lagi,” ucap Raya seraya menggigiti bibirnya merasa bersalah.
Sadam — seperti biasanya — cengengesan. “Nggak usah sungkan lah, sama calon sendiri.”
“Calon apa ya?” tanya Raya bingung. Sadam tidak menjawab, hanya tersenyum lebar. “Jangan lupa itu undangan babeh.”
“Undangan makan duren?” tanya Raya ragu.
“Ya semuanya. Makan duren, makan malem, makan sepiring berdua juga boleh.”
Raya menarik napas lelah seraya memutar bola mata. “Bang, gue buru-buru mau ngampus nih. Bercanda aja lo.”
“Ya lagian diseriusin gak mau,” balas Sadam sewot. Raya tak lagi menanggapi Sadam dan masuk ke kosan.
Sadam masih tersenyum kegirangan setelah apa yang dilewatinya semalam. Bahkan ketika ia memutar balik motornya, hendak menuju warung fotokopian Juragan yang letaknya tak tak sampai 500 meter, Sadam tak sadar bahwa ada seorang lelaki — dalam jarak lima puluh meter — yang sedang memperhatikannya.
Pandangan mereka bertemu saat motor Sadam baru melaju beberapa meter. Keduanya saling tatap selama beberapa detik, sambil mengingat masa-masa beberapa tahun lalu, saat keduanya masih duduk di bangku kuliah.
Ganda Mahardika. Sadam masih ingat jelas namanya.
— tbc.