[Kembaliannya Mana?] — Ketahuan!

soljaecruise
3 min readAug 25, 2024

--

Setelah semalaman nyaris tak bisa tidur karena membaca pesan terakhir Sadam, pagi ini Raya sengaja bangun lebih pagi. Tak peduli matanya terasa sepet karena baru tidur sekitar empat jam, Raya melangkah bersemangat menuju Juragan sambil membawakan nasi uduk untuk Sadam, Pepet, dan Tama.

Parkiran Juragan tampak sepi. Memang jam operasionalnya baru dimulai sekitar lima belas menit yang lalu. Raya mengira belum akan ada pelanggan yang datang, tetapi ia salah. Saat Raya mendorong pintu kaca fotokopian Juragan, ia melihat Sadam sedang sibuk membantu seorang pelanggan perempuan menyunting dokumen untuk dicetak di salah satu komputer. Sementara itu, Pepet dan Tama tampak sibuk membersihkan ruangan.

Masih dengan perasaan senang, Raya nyaris melambaikan tangan saat Sadam menoleh ke arahnya. Raya mendadak tersenyum salah tingkah. Ia berjalan menuju komputer tepat di sebelah komputer yang sedang digunakan Sadam dan sang pelanggan perempuan.

Tatapan Sadam terus mengikuti Raya. Pria itu tersenyum. Ketika melewati punggung Sadam, Raya sengaja melambaikan tangan. Uluran tangan Raya pun disambut sang juragan fotokopian. Tangan Sadam menggenggam tangan Raya hingga perempuan itu duduk di kursi sebelahnya, sementara kepalanya kembali fokus menatap layar komputer. Namun, ketika sang pelanggan perempuan memutar kepalanya, Raya cepat-cepat menepis tangan Sadam. Sesaat tatapan Raya dan sang pelanggan bertubrukan. Keduanya saling melempar senyum sopan sebelum Raya pura-pura kembali fokus membuka dokumen di komputer.

“Gitu gimana, Dam? Bisa nggak tabelnya dibuat nggak keputus ke halaman selanjutnya?”

Sebelas alis Raya sudah naik waktu sang pelanggan menyebut nama Sadam dengan akrab.

“Ya bisa sih, Gin.”

Gin. Selama tiga detik Raya terdiam. Dadanya terasa seperti ditonjok meski Raya tak pernah benar-benar merasakannya seumur hidup. Sadam sendiri ikut terdiam, mendadak menyadari kesalahannya. Ia keceplosan. Takut-takut Sadam melirik Raya. Perempuan itu tampak cuek dan tidak peduli. Sibuk menekan-nekan tombol tetikus dengan semangat.

“Gue tau dari dulu lo emang paling bisa diandelin, Dam.” Gina memutar tubuhnya, menatap Sadam sambil tersenyum.

Usai membantu Gina, Sadam pun beralih kepada Raya. “Mau dibantuin, Neng?”

“Nggak usah. Bisa sendiri,” jawab Raya singkat dan dingin.

Sadam beranjak mundur, berjalan kembali ke balik etalase kaca sambil sesekali memutar kepalanya, berharap Raya akan menoleh. Bukannya Raya, justru Gina yang bangkit dari kursi dan menghampiri Sadam.

“Gratis kan, Dam?” Canda Gina yang tidak disambut semringah oleh temannya tersebut. “Bercanda.” Gina mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan. “Nih. Sekalian sama yang kemarin. Nggak usah kembali. Buat deposit aja.”

Gina pergi tepat setelah Sadam memasukkan uang ke toples. Tak lama berselang, Raya ikut menghampiri Sadam ke depan etalase kaca dan merogoh selembar lima puluh ribuan dari dompetnya untuk diserahkan kepada Sadam.

“Itu Gina-Gina itu?” tanya Raya mengangsurkan uang kertas kepada Sadam. Sadam sendiri hanya menatap tangan Raya, kehabisan kata-kata, tak bisa menjawab.

“Nggak usah kembalian, Bang. Sekalian buat bayar soto kemarin.”

Raya membanting uang kertas tersebut di atas etalase, kemudian pergi tanpa memedulikan panggilan Sadam dan suara grasak-grusuk di belakangnya. Raya tak peduli apakah Sadam mengejarnya atau tidak. Ia cuma ingin segera menjauh Sadam.

Kepalanya terngiang-ngiang lagi kalimat Gina yang sempat ia dengar sebelum perempuan itu pergi.

Sekalian sama yang kemarin. Kemarin. Kemarin.

Hati Raya terasa panas. Kemarin, saat ditanya apa hal yang membuat Sadam murung, pria itu tak menjawab. Sekarang, Raya tahu alasannya.

Kemarin, bisa-bisanya pria itu masih menggoda Raya dengan sikap dan omongannya yang manis. Membuat Raya salah tingkah dan tak bisa tidur semalaman, hanya untuk dijatuhkan dan dikecewakan kembali dengan sikap tidak terus terang Sadam.

Balon hijau sialan! Maki Raya di atas tumpangan ojek sambil berlinang air mata.

tbc.

--

--

Responses (1)