[Kembaliannya Mana?] — Menantang Maut
Raya terkejut waktu melihat Sadam berjalan menghampirinya dengan sebuket bunga di tangan. Begitu sampai di depan Raya, bunga itu langsung disodorkan Sadam kepadanya.
“Udah gue semprot parfum gue. Bisa lo cium kalo pas kangen.”
Wajah Raya otomatis mengernyit mendengarnya. “Rasa percaya diri lo oke juga, ya?”
Sadam hanya cengengesan sebelum menggandeng lengan Raya dan menuntunnya ke mobil. Sepanjang jalan, Raya pun tak hentinya menciumi aroma buket bunga pemberian Sadam. Baunya benar-benar seperti pria di sebelahnya. Segar dan sekilas seperti sabun, persis seperti habis mandi.
“Belum pisah aja udah dicium terus bunganya,” ledek Sadam. Raya buru-buru melempar buket bunga pemberian Sadam ke kursi penumpang tengah dan berpura-pura bersikap biasa saja.
Sesampainya di mall, usai mentraktir Raya makan steik hinngga Raya kekenyangan, Sadam pun membekali Raya beberapa barang seperti bantal leher, pewangi ruangan, dan juga beberapa camilan ringan.
“Buat bekal di rumah,” katanya. Padahal Raya cuma pergi seminggu, tetapi perbekalannya nyaris menyaingi para tentara di medan perang. Di rumah Raya pun barang-barang itu juga ada, tetapi Raya tak bisa menolak karena ini adalah pemberian Sadam.
Mereka menunggu Ganda di pintu lobi. Raya sebenarnya gelisah. Ia melirik Sadam yang hari ini berpakaian Rapi, mirip seperti saat mereka menonton konser jazz beberapa waktu lalu. Sebenarnya Raya sudah berusaha mengusir Sadam dengan berbagai cara, dari halus sampai kasar. Namun, Sadam bersikeras ingin menemani Raya sampai dijemput dengan dalih bahaya kalau ia meninggalkan Raya sendirian. Apalagi, kondisi kaki Raya belum benar-benar pulih.
Akhirnya, Raya hanya bisa pasrah. Ia duduk di tepian kolam sementara Sadam berdiri dengan melipat tangan di depan dada sambil memperhatikan orang-orang di sekitar mereka.
“Lo pulang aja dehhh…. Gue nggak apa-apa kok nunggu di sini sendiri,” ucap Raya kedua puluh kali. Sama seperti sebelum-sebelumnya, Sadam tidak menggubris.
“Itu kakak lo,” unjuk Sadam ke arah barat tempat mereka berdiri.
Raya otomatis menoleh dan mendapati Ganda berjalan separuh berlari ke arahnya bersama Tania, pacar Ganda. Raya refleks melambaikan tangan menyapa calon kakak iparnya.
“Hai, Kak!”
Raya terlalu sibuk bertukar sapa dengan perempuan yang sudah lebih dari dua tahun bersama kakaknya tersebut, sampai-sampai lupa dengan rasa terkejut dan herannya karena….
Bagaimana mungkin Sadam bisa mengenali sosok Ganda?
Raya melepaskan pelukan Tania dan mendapati Ganda dan Sadam sedang adu tatap. Keningnya mengerut melihat pemandangan tersebut.
“Peringatan gue di fotokopian lo kurang jelas, ya?” ucap Ganda jauh dari kata ramah.
Sadam memasukan kedua tangannya ke saku celana. “Sampe bangkotan pun, lo masih aja ambis jadi musuh bebuyutan gue, ya?”
Raya menatap bolak-balik Sadam dan Ganda berulang kali, merasa bingung. “Kok bisa kenal???”
Ganda menoleh, menatap Raya tajam. “Kakak kan udah bilang, kamu fokus kuliah. Nggak usah mikirin yang lain. Apalagi bergaul sama orang ini.”
Sadam tertawa sinis, membuang pandangannya dari Ganda. “Emang lo bisa nolongin waktu adek lo butuh bantuan darurat? Lo harusnya berterima kasih ke gue.”
“Makasih, tapi udah cukup. Jangan deketin Raya.”
Ganda menarik tangan Raya. “Ayo, Yaya. Pulang.”
“Loh, kak?”
Raya berjalan tergopoh-gopoh mengikuti langkah cepat Ganda diiringi Tania di belakangnya. Kepalanya tak berhenti menoleh melihat sosok Sadam yang tampak semakin jauh. Namun, samar Raya bisa melihat, wajah lelaki itu tampak dipenuhi amarah. Kedua tangannya juga mengepal di kedua sisi tubuhnya.
“Kamu pindah kos aja Raya,” ucap Ganda sambil terus menyeret adiknya.
“KAK SAKIT!” Raya melepaskan cengkraman tangan Ganda sekuat tenaga. “Aku udah gede, Kak. Kakak gak bisa ngatur-ngatur terus begitu.”
Napas Ganda menderu melihat perlawanan Raya. Ia melihat di balik tubuh Raya, perlahan sosok Sadam berjalan dengan derap cepat mendekati mereka.
“Bisa nggak jangan kasar ke adek lo?!” Sadam sudah hampir melayangkan bogeman, tetapi tubuh mungil Raya lebih dulu menahan pria itu dengan memeluknya.
“Bang udah, Bang. Jangan ribut di sini. Malu,” mohon Raya, nyaris terisak.
Otomatis, tangan Sadam balas memeluk tubuh Raya, berusaha menahan perempuan itu agar tidak terjungkal karena menahan berat tubuh besar Sadam.
Sadam pun kembali berhadapan dengan Ganda.
“Yaya, ayo pulang,” ajak Ganda tanpa melepaskan pandangannya dari Sadam.
Raya menarik napas, melepaskan pelukannya dari tubuh Sadam, lalu meraih kantung belanjaan miliknya yang tertinggal di tangan kiri Sadam.
“Makasih ya, Bang. Hati-hati pulangnya,” sahut Raya sebelum kembali berjalan terpincang-pincang, dibantu oleh Tania.
Raya pun terus berbalik sambil melambaikan tangan kepada Sadam hingga sosok pria itu tak terlihat lagi.
— tbc.