[Kembaliannya Mana?] — Kamu
Raya sedang merapikan rambut dan mengoles lipgloss saat pintu kamar kosnya diketuk. Tanpa perlu memastikan, Raya tahu tamunya pasti Sadam. Meski begitu, Raya tetap terkejut waktu melihat tubuh jangkung Sadam berdiri menjulang di depan kosnya dalam balutan pakaian olah raga yang separuh basah karena keringat. Alih-alih merasa jijik, Raya justru merasa penampilan Sadam sangat… ehm, seksi.
Sadam menyapu rambutnya ke belekang sebelum berkacak pinggang dan memperhatikan Raya meninggalkan kruknya di kamar.
“Udah bisa jalan pelan-pelan,” ujar Raya malu-malu seraya menghindari tatapan Sadam.
Sadam mengangguk dan langsung menggandeng tangan Raya untuk membantunya berjalan.
“Abis dari mana?” tanya Raya basa-basi. Jelas kelihatan Sadam baru saja selesai berolah raga.
“Lari muter kampus. Sori ya kalau bau.”
Raya mengendus udara di sekitarnya. “Nggak bau. Wangi. Lo pake parfum apa?” Satu alis Sadam terangkat mendengar pertanyaan Raya. Melihat raut Sadam yang terkejut, Raya pun buru-buru menjelaskan. “Gue… mau beliin buat kakak gue.”
“Gak boleh!” timpal Sadam cepat campur panik. Malas bangaatt gue samaan parfum sama si Ganda Gundul. “I-Ini parfum custom. Ngeracik sendiri.”
“Ooh….” Raya menganggut-anggut.
Keduanya pun kembali berjalan menyusuri gang kosan Raya menuju ke jalan utama akses kampus di mana banyak pedagang makanan kaki lima di sana. Tangan Sadam menggenggam erat tangan Raya, membuat Raya menyesal telah menggerai rambut panjangnya yang kini membuat tubuhnya semakin gerah setelah mendapatkan perhatian Sadam.
Sementara Sadam sibuk tolah-toleh mencari pilihan sarapan, Raya jadi sibuk terus membetulkan rambutnya yang baik-baik saja.
“Mau sarapan bubur, kan?”
Raya mengangguk. “Sebenernya gue udah bisa jalan sendiri kok,” ucap Raya sambil menatap tangannya yang tenggelam dalam tangan besar Sadam.
“Iya, tau. Gue pengen aja gandengan. Lo juga nggak keberatan, kan?”
Raya otomatis menepis tangan Sadam. “Modus.”
Sadam terkekeh sebelum kembali meraih tangan Raya dan menggenggamnya lebih erat. “Bercanda. Di sini motornya ngebut-ngebut. Bahaya.”
Raya pura-pura cuek, tetapi pada akhirnya tak bisa menahan senyum dan semakin mengikis jarak antara dirinya dengan Sadam hingga hampir berhimpitan.
Begitu sampai di lapak tukang bubur, keduanya duduk di bawah tenda yang sepi. Sang tukang bubur langsung menyapa Sadam gembira.
“Pacar lu, Dam?”
Sadam dan Raya saling tatap. Bukannya menjawab pertanyaan sang tukang bubur, Sadam malah terus memandangi Raya sambil tersenyum hingga Raya menyikut pinggang pria tersebut, membuat Sadam mengaduh sedikit kesakitan.
“Mesra bener gandengannya,” tambah sang tukang bubur. “Truk gandeng juga kalah eni mah….” Sambil mengelap mangkok bubur, pria di depan Sadam dan Raya terkekeh-kekeh sendiri.
“Ni mau pesen bubur dua porsi apa sepiring berdua?”
Sadam kembali menoleh menatap Raya. “Kamu mau gimana?”
Mata Raya melebar mendengar kalimat Sadam. Kamu lagi.
“Du… Dua porsi,” jawab Raya gagap.
“Banyak banget kamu dua porsi. Emang habis?”
Raya menatap Sadam Gemas. “Satu-satu maksudnya.” Raya pun sekali lagi mencubit pinggang Sadam hingga pria di sebelahnya itu kembali memekik kesakitan.
“Kecil-kecil cubitannya pedes banget!”
“Apa Dam? Bubur lu mau dibikin pedes?” sahut sang tukang bubur.
“Jangan, Bang. Cukup si neng aja yang pedes mulutnya,” sahut Sadam sambil tersenyum-senyum kembali menatap Raya.
Tak lama, bubur pesanan mereka pun datang. “Nih. Gue tinggal dulu, yak. Lu pacaran deh. Suap-suapan bedua jangan sungkan.”
Begitu sang tukang bubur pergi, Raya langsung berbisik kepada Sadam. “Lo kenal banyak pedagang di sini, ya?”
“Lumayan.” Sadam mendongak setelah menyuap beberapa sendok bubur ke mulutnya. Ia melihat sekitaran bibir Raya yang belepotan sisa kerupuk, lalu meraih selembar tisu dan membersihkannya. “Perasaan yang sakit kakinya. Kenapa makannya ikut belepotan? Tangannya tremor? Mau disuapin?”
Raya mendelik menatap Sadam. “Sembarangan ya mulutnya!”
Sadam kembali terkekeh. Setelah memastikan bibir Raya sudah bersih, ia kembali melanjutkan acara makannya.
“Minggu depan lo bebas tugas bantuin gue.”
Sadam yang baru saja mengangkat sendok, hendak menyuap bubur ke mulutnya jadi urung. “Kenapa?”
“Hari ini gue dijemput pulang sama abang gue. Disuruh tinggal di rumah seminggu ke depan.”
“Lama banget.” Dari nada suaranya, jelas Sadam merasa keberatan.
“Lo gak kenal kakak gue.” Raya kembali fokus pada buburnya, hendak lanjut makan.
“Dijemput jam berapa?”
“Habis makan siang.”
“Yaudah. Nanti gue jemput. Makan siang bareng dulu.”
— tbc.