[Kembaliannya Mana?] — Mengakui Perasaan Sendiri
Waktu Raya mendorong pintu kaca Juragan yang kini sudah dipindahkan ke lantai dua, Mata Sadam, Pepet, dan Tama tertuju padanya. Raya kaget. Ia melambaikan tangan menyapa ketiganya.
“Hai?” sapa Raya kaku.
Pepet dan Tama balas menyapa, hanya Sadam yang tampak tersenyum-senyum kesenangan mendapati kedatangan Raya di Juragan. Namun, kebahagiaan Sadam itu mendadak terinterupsi dengan kedatangan pelanggan yang hendak membayar.
Raya pun urung menghampiri Sadam. Ia duduk di salah satu komputer dan mulai menyunting dokumen yang ingin dicetak. Raya duduk lama di sana. Pura-pura sibuk mengatur tampilan dikumen sebelum dicetak, tetapi sesungguhnya ia hanya ingin memperhatikan Sadam. Apa yang lelaki itu lakukan selama di Juragan, bagaimana dia bekerja, apakah benar pria itu memang suka tebar pesona ke pelanggan perempuan?
Raya sibuk meneliti prilaku Sadam. Ia mendapat kesimpulan, Sadam bukannya centil, tapi memang iseng. Bukan hanya pelanggan perempuan saja yang jadi korbannya, pelanggan pria pun juga sama.
“Bang, gak ada duit kecil,” kata seorang pelanggan pria di belakang Raya.
“Di zoom-out aja bang kalo duitnya kegedean hehehe….”
Bukannya sang pelanggan, yang tertawa justru Raya. Raya menutup mulutnya untuk menyembunyikan rasa geli mendengar candaan Sadam yang tidak lucu, tetapi bahunya tidak bisa berhenti bergetar.
“Bisa aje lo, Bang. Gue tuker duit dulu ke warung depan, ya?”
“Aman udeh, nanti aja bayarnya.”
Raya merasakan sang pelanggan pergi. Ia pun kembali menatap layar komputer di depannya dengan (pura-pura) serius. Dari layar tersebut, Raya bisa melihat pantulan diri Sadam yang kini berjalan mendekat kepadanya. Tak lama, terdengar suara derekan kursi ditarik tepat di belakang Raya. Sadam duduk di sana.
“Ngeliatin terus dari tadi. Kenapa? Kangen, ya?”
Raya memejamkan matanya merasa malu tertangkap basah memperhatikan Sadam. Raya diam, tidak menjawab. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan mengelak apapun yang ia rasakan terhadap Sadam.
“Udah makan belum?” tanya Sadam lagi.
Raya memutar kepalanya untuk melihat Sadam yang kini mendorong kepalanya lebih dekat kepada Raya. Di belakang Sadam, Raya melihat Pepet dan Tama berdiri di belakang etalase sambil berkacak pinggang dan menggeleng-geleng.
“Kerja woii… Malah pacaran,” sindir Pepet. Raya terkekeh merasa malu sementara yang disindir dengan tak tahu malunya malah berteriak, “SIRIK AJA.”
“Jawab lah. Udah makan belum?” ulang Sadam kepada Raya.
Raya mengalihkan tatapannya kembali kepada Sadam. “Belum.”
“Mau makan di luar?”
Raya mengangguk.
Sadam mengangguk. “Itu mau dicetak nggak?”
Raya menggeleng.
“Jadi ke sini cuma mau ketemu gue?”
Raya mengangguk, lalu menggeleng. Sadam tertawa melihat ekspresi Raya yang tampak panik dan kebingungan. Ia menarik tangan Raya agar bangkit berdiri dan mengajaknya pergi dari Juragan.
“Gue pacaran dulu,” teriak Sadam, mengumumkan kepada Pepet dan Tama. Untungnya, tidak ada pengunjung lain saat itu.
Sementara tangan kirinya ditarik Sadam, tangan kanan Raya sibuk melambai dengan cepat, menyanggah ucapan Sadam.
“Bohong. Kita belum pacaran!” elak Raya.
“TUH DENGER SADAM SOMPLAK!” teriak pepet sewot, tapi Sadam sudah keburu kabur ke lantai satu dan tak mau menggubrisnya.
****
Alih-alih mengajak Raya ke restoran, Sadam justru mengajak Raya pergi ke Puncak. Benar-benar di luar dugaan. Makanya Raya bingung waktu Sadam tak langsung membawanya makan begitu pergi dari Juragan, tetapi malah mampir dulu ke rumah orang tuanya untuk berganti pakaian.
Di rumah Sadam, Raya sempat mengbrol dengan Babeh Sultan saat menunggu Sadam selesai. Seperti biasa, Sultan menyuguhkan Raya banyak sekali makanan sehingga Raya keburu kenyang memakan camilan sebelum diculik Sadam “pergi jauh” katanya.
“Neng, kabarin kalo udah siap dilamar sama anak babeh yah.”
Raya yang semula hendak menyuap kue ke dalam mulut mengatupkan kembali mulutnya. “Ehehe… I-Iya, Pak.”
“InshaAllah anak babeh mah baek. Udah mapan juga. Dia mah gayanya doang begitu kaya gembel. Duit simpenannya banyak itu di bank,” kisah Sultan Januar. “Belom lagi duit dari kos-kosan warisan gueh. Apa lagi yak? Oh… dia juga kadang suka rentalin pick up. Beberapa gue pake buat angkut panen durian di kebon sik. Gatau juga tuh anak, disuruh kerja kantoran kaga mau.”
Sultan terkekeh-kekeh sendiri. “Pokoknya, nggak usah takut. Hidup neng mah terjamin sama anak babeh.”
Raya tertawa demi menjaga sopan santun. Untungnya, Sadam lekas muncul dan menyelamatkan Raya dari percakapan yang membuat Raya bingung, terkejut, dan tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Boro-boro mikir ke sana, Pak. Ini saya mau pacaran aja mikirnya lama banget, batin Raya.
Meski begitu, Raya sama sekali tidak merasa tertekan dan hanya menganggap omongan Sultan sebagai sekilas informasi tentang Sadam.
Di mobil, nyaris sepanjang jalan, Raya tertidur. Mungkin karena lonjakan asupan gula dari makanan-makanan yang disuguhkan di rumah Sadam tadi. Bukannya rakus, makasalahnya babehnya Sadam sendiri yang mengeluarkan setiap kue dari toples dan menaruhnya ke tangan Raya.
“Ayo, cicipin semua. Ini bikinan adeknya babeh.” Mana berani Raya menolak kalau sudah begitu?
Tak heran kalau Raya langsung terpejam sesaat setelah memasang sabuk pengaman. Ketika terbangun, betapa kagetnya ia ternyata mereka sudah pergi lebih jauh dari bayangan Raya hanya untuk sekadar makan.
“Kok udah sampe puncak aja?” tanya Raya bingung. “Kan gue nggak bawa bantal leher hari ini?”
“Bantal lehernya buat ke tempat lain aja nanti,” jawab Sadam seraya tersenyum.
“Kita mau makan di mana?” tanya Raya penasaran seraya emlihat pemandangan di luar yang mulai dipenuhi kabut.
Sadam menunjuk salah satu restoran tak jauh di depan mereka.
“Itu, salah satu restoran punya babeh.”
Raya pun hanya bisa melongo.
— tbc