[Kembaliannya Mana?] — Merenungi Kesalahan
Raya melirik Sadam yang sedang mengancingkan pakaian sebelum kembali menatap pantulan dirinya di cermin dalam balutan kebaya merah marun. Hari ini mereka melakukan fitting pakaian pengantin, tepat sehari setelah Sadam kembali ke Jakarta. Keduanya tampak serasi berdiri berdampingan meski terpaut tinggi tubuh yang berbeda. Sang pemilik sanggar pakaian pengantin sudah memuji berkali-kali, tetapi sepertinya itu saja masih belum cukup memperbaiki suasana hati Sadam.
Sejak dijemput di bandara kemarin, pria itu hanya sedikit berbicara. Kemungkinan besar masih merajuk perkara kealpaan Raya memberitahukan keikutsertaannya dalam konten testimoni kelas memasak Brandon Salim. Raya menarik napas, mencoba memperpanjang rasa sabarnya hingga acara fitting pakaian selesai. Ia bergerak mendekati Sadam, mencoba membantu pria itu memasangkan kancing di bagian leher yang sejak tadi meleset dari lubangnya.
“Nunduk sedikit,” pinta Raya. Sadam menurut, tetapi masih tak mengatakan apapun. Wajah mereka kini sejajar dan hanya berjarak beberapa sentimeter. Raya bisa merasakan dengan jelas hangatnya nafas Sadam di wajahnya.
Dengan wajah cemberut, Raya balas menatap Sadam setelah kancing pakaian Sadam berhasil terpasang. “Udah.”
“Makasih.” Sadam menegakkan tubuhnya kembali. “Makasih doang? Kaku banget.”
Sadam melihat keadaan di sekitarnya saat mendengar ucapan Raya. Karena ini adalah hari kerja, tak banyak pengunjung di sanggar. Para pekerja juga tampak sibuk merapikan pakaian, sementara pekerja yang seharusnya menemani Sadam dan Raya sejak sepuluh menit lalu pamit ke toilet dan belum kembali.
Sadam menarik napas, beranjak mendekati Raya dan menyodorkan wajahnya ke depan wajah Raya. “Ayo cepet.”
Kepala Raya refleks bergerak mundur, takut ada yang salah paham melihat posisi mereka. “Ngapain?”
“Kamu mau nyium, kan?”
Pede gila ni orang? Tapi tunangan gue? batin Raya setengah dongkol, setengah terkejut. Namun dengan posisinya sebagai terdakwa atas pelanggaran etika sebagai tunangan Sadam Januar, Raya memilih mengalah. Ia tersenyum memaksa, mencoba menjelaskan maksud perkataannya tadi.
“M-maksud aku, jangan kaku gitu dong, Sayang. Udah ya, ngambeknya? Lagian itu kan cuma konten…. hehe.”
Sadam mendelik cepat. Tubuhnya kembali tegak saat tangan Raya meggamit tangannya dengan manja.
“Maafin aku ya, Yang? Udah ya, marahnya? Pleaseee…?”
Sadam membuang napas, wajahnya terlihat malas. “Ya aku sih… kalo mau bikin konten ada gimmick-gimmick ‘terpesona’ sama si chef aloe vera itu minimal IZIN dulu ya ke TUNANANG AKU.”
Kening Raya mengerut bingung. “Aloe vera?”
“Iya, si lidah buaya,” ucap Sadam geram. “Segala ngomong, ‘untung kamu punya pacar, kalo nggak testimoninya bukan tentang kelas memasak lagi’. Maksudnya apa? Pacar apanya? Aku ni tunanang kamu, ya.”
Raya menunduk merasa bersalah. “Maaf, Yang… sebenernya aku udah minta dipotong bagian itu, tapi videonya udah terlanjur rame.”
“Iya, rame banget. Apalagi kolom komentarnya. Bilang, ‘sikat aja’, ‘gas aja’. Bukan malah ngomentarin kelas masaknya.” Napas Sadam mulai menderu keras seperti motor dua tak yang baru dipanasi setelah sekian lama.
“Maaf ya, Yang…. Lagian kalo aku izin pasti nggak bakal dibolehin sama kamu.” Bibir Raya mengerucut, kedua tangannya bertaut ganti merajuk kepada Sadam, sementara yang ditatap kini berkacak pinggang, siap menyembur Raya.
“Ya itu kamu tau nggak bakal aku bolehin. Kenapa masih dilakuin?” omel Sadam galak membuat Raya berjengit di tempat.
Melihat raut wajah Sadam kini mengingatkan Raya akan kesalahan yang ia lakukan bersama Kimi ketika liburan di Bali beberapa tahun silam. Kemarahan Sadam persis sebesar itu. Kalau waktu itu saja tubuh Raya mendadak terasa lemas, kali ini juga sama ditambah lututnya yang ikut bergetar. Ia memang bersalah dan tidak berniat membuat pembelaan akan hal itu.
Raya menunduk semakin dalam. “Maaf, Yang…,” cicitnya ketakutan nyaris tak terdengar.
Masih berkacak pinggang, Sadam melirik Raya yang tertunduk seperti seorang maling yang tertangkap basah. Emosinya menumpuk di kepala Sadam karena banyaknya pikiran yang bergumul di sana. Bukan hanya soal kesalahan Raya, tetapi juga persiapan pernikahan mereka yang semakin dekat, juga urusan-urusan pekerjaan yang harus segera diselesaikan sebelum Sadam dan Raya pergi berbulan madu.
Sadam menarik napas, membuang pandangannya dari Raya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Ayo pulang,” ajak Sadam, memilih tak lagi melanjutkan perdebatan.
— tbc.