[Kembaliannya Mana?] — Ngapelin Ayang

soljaecruise
3 min readAug 20, 2024

--

Setelah melalui percakapan melelahkan sarat emosi bersama kakaknya dan Sadam, Raya memutuskan menyalakan sebuah lilin beraroma lavender sambil menerapkan latihan pernapasan untuk meredakan stress yang ia pelajari dari YouTube. Beberapa kali memang terbukti manjur. Sayang, malam ini latihan yang sudah Raya praktikan selama bertahun-tahun itu sama sekali tidak bekerja.

Raya mengembuskan napas kesal. Pikirannya tak bisa berhenti penasaran memikirkan nama dua perempuan yang sedari tadi masih menjadi misteri di kepalanya. Baik Sadam maupun Ganda tak ada yang mau menjawabnya! Raya kesal sekali.

Raya merebahkan tubuhnya di kasur, masih mencoba menenangkan diri sebelum ponselnya berbunyi tuing tuing tuing, memberitahunya ada pesan masuk. Ternyata dari Sadam.

Gue di bawah

bawah mana? balas Raya malas.

Rumah lo

Keluar dong

Pegel nih berdiri

Kalau mau tega, sebenarnya Raya bisa saja membiarkan Sadam menunggu di luar selama pria itu mau. Raya tak peduli. Pura-pura atau berusaha tak peduli lebih tepatnya. Tetapi hati kecilnya — selalu menjadi musuh utamanya kalau sudah berurusan dengan Sadam.

Raya mengerang frustrasi sebelum turun dari kasur, mengenakan sandal rumah dengan hiasan boneka beruang berbulu lalu berlari kecil, meski terpincang-pincang, menuruni tanggah rumahnya menuju gerbang — dengan sedikit terlalu bersemangat kalau boleh ditambahkan.

Ia melihat mobil hitam Sadam terparkir tepat di depan gerbang. Sadam juga di sana, berdiri tepat di depan gerbang, sedang celingak-celinguk menantikan kedatangan Raya.

Sadam merentangkan tangan begitu sosok Raya mendekat ke arahnya — bersikap seolah siap merengkuh wanita tersebut dalam pelukannya, padahal boro-boro memeluk Sadam, Raya justru berhenti tepat setengah meter di depan pria itu sambil bersedekap, menolak kehadiran Sadam.

Kening Raya mengerut melihat benda-benda dalam genggaman Sadam. Tangan kanannya memegang buket bunga tadi siang, sementara tangan kirinya memegang parsel buah.

“Ngapain bawa parsel buah?” tanya Raya bingung.

“Kan ceritanya jenguk orang sakit,” Sadam memamerkan senyum lebar, berharap Raya luluh. “Gue nggak diajak masuk, nih? Jauh loh perjalanan ngapelin lo ke sini.”

“Emang gue minta?” sahut Raya ketus. “Orang rumah udah pada tidur.”

“Yaudah ngobrol di mobil gue aja.”

“Nggak ah. Gue ngantuk. Lo juga pulang aja, udah malem.”

Sudut-sudut bibir Sadam otomatis tertarik ke bawah. “Udah disamperin jauh-jauh, beneran nih nggak mau ngobrol dulu?”

Raya menatap Sadam angkuh, tangannya terlipat di depan dada. “Gak usah ngambek. Tadi gue dikacangin juga BIASA AJA,” tekan Raya penuh nada emosi, sangat jauh berbeda dengan apa yang diucapkannya.

Sadam menarik napas kecewa. Ia beranjak maju dan menyerahkan buket bunga berikut parsel buah ke tangan Raya. Bukan hanya itu, tangan Sadam juga tiba-tiba saja membuka telapak tangan Raya dan menyerahkan 3 buah permen coklat di sana.

“Makan yang manis, biar mulutnya nggak pedes terus.”

Otomatis, Raya melotot mendegar ucapan Sadam sementara yang ditatap malah cengengesan.

“Jangan ngambek lagi ya, Ratu.”

“Lo pikir gue bocah yang langsung seneng dikasih permen? Udah pergi sana,” usir Raya kasar. Tubuh Sadam kembali lesu.

Usahanya untuk meluluhkan hati ayang gagal. Raya sama sekali tidak tampak terkesan dengan perjuangan Sadam menerjang kemacetan ibu kota lebih dari satu jam hanya untuk menemui gadis pujaan hatinya tersebut.

Meski begitu, Sadam tetap senang karena bisa melihat wajah Raya lagi setelah merasa nyaris sesak napas akibat serangan rasa kangen sepanjang siang hingga malam ini.

Belum sempat mobil Sadam pergi, Raya pun sudah keburu berjalan balik masuk ke dalam rumah sehingga mau tak mau, Sadam harus berteriak dari dalam mobil.

“Besok mau diapelin lagi, nggak?”

Raya tak menjawab, hanya mengacungkan jari tengah kepada Sadam tanpa mau repot-repot berbalik.

tbc

--

--

No responses yet