[Kembaliannya Mana?] — Nggak Jelas

soljaecruise
5 min readSep 9, 2024

--

Hari Minggu, pukul 8 pagi, Sadam sudah nangkring di rumah Raya. Padahal yang ditunggu belum bangun. Sementara Indra menemani Dewi ke pasar untuk belanja bahan makan siang bersama menyambut kedatangan “calon menantu kesayangan” — Sadam Januar, Ganda mendapatkan tugas dari Dewi untuk menemani Sadam. Bisa dibayangkan betapa gondoknya pria itu. Sudahlah ditinggal istrinya pergi berkumpul bersama kawan-kawannya, Ganda juga harus menemani Sadam mengobrol — yang sudah pasti akan berujung cekcok.

Kini keduanya duduk di ruang keluarga, menatap layar televisi dengan serius, bersaing memenangkan permainan balap mobil. Tangan Ganda dan Sadam sibuk menekan-nekan controller penuh ambisi.

“Bini lo ke mana?”

Ganda mendesis mendengar pertanyaan Sadam. “Hah. Lo mau sok-sokan ngalihin perhatian gue biar bisa menang?”

“ASTAGHFIRULLAH ORANG SUUDZON BENER YAK,” sahut Sadam. “Beneran nanya gue.”

“Arisan. Udah maen yang bener. Kalo kalah, gak gue restuin lu jadi calon ipar.”

Sadam menatap layar televisi kembali. Sejak awal main dia memang nggak semangat, kepalanya fokus menunggu Raya. Meski tidak melarangnya datang ke rumah dan selalu membalas pesan Sadam, ia tahu ada yang berbeda dari Raya sejak terakhir kali mereka membahas masalah Gina nyaris dua minggu lalu. Selama itu juga Sadam mencoba menerima dengan lapang dada semua pesan-pesan Raya yang terasa hambar dan ala kadarnya. Entah mungkin Raya sibuk dengan persiapan keberangkatannya, makanya jadi mengabaikan Sadam, pria itu hanya mencoba mengerti situasi Raya. Meski, kalau boleh jujur, hati Sadam juga terasa sangat berat dan sedih setiap kali mendengar Raya memanggilnya “Bang Sadam”, bukan lagi “Yang” atau “Ayang” seperti biasanya.

Setelah menerima kekalahan telaknya dari Ganda — yang kini berseru heboh, senang berhasil mengalahkan Sadam 2 ronde berturut-turut — Sadam berhenti bermain. Ia melihat Raya menuruni tangga dalam balutan pakaian rumahan. Rambutnya terlihat sedikit lembap, seperti habis keramas. Sadam buru-buru meninggalkan controller di tangannya dan menghampiri Raya.

Morning, hehehe….”

“Hai,” sapa Raya sambil lalu, duduk di sofa di belakang tempat duduk Ganda. “Mamah sama Papah ke mana, Kak?”

“Ke pasar. Beli bahan masakan spesial buat nyambut raja nih.” Ganda terang-terangan melirik Sadam dengan sinis, tetapi Sadam tak memedulikan Ganda. Sadam membiarkan Ganda melanjutkan permainan sendirian sementara ia memilih duduk di sebelah Raya yang sekarang sibuk memainkan ponsel.

“Habis makan siang nonton, yuk?” ajak Sadam. Raya hanya mengangguk. “Iya, boleh.”

“Mau nonton apa?” tanya Sadam makin bersemangat karena gayungnya disambut oleh Raya.

“Terserah kamu aja. Kan kamu yang pengen nonton.” Pandangan Raya masih tak teralihkan dari layar ponsel. Sadam cemberut. “Yang….,” Sadam mulai merengek lagi. “Yaudah, kalo kamu nggak mau nonton. Jalan-jalan aja, ya? Ke PIK mau?”

Raya mengangguk. “Aku ngikut aja kamu mau ke mana,” balasnya singkat. Ia kemudian menniggalkan ponselnya di sofa, beranjak ke dapur untuk minum susu. Sadam hanya bisa memandang Raya dengan pandangan memelas. Entah sampai kapan ia harus bersabar begini.

****

Di mobil, dalam perjalanan menembus jalanan Jakarta yang padat menuju Pantai Indah Kapuk, Sadam lagi-lagi mencoba peruntungannya. Raya yang sejak berangkat dari rumah tertidur dan baru terbangun lima menit lalu hanya melamun sambil sesekali melirik tangan Sadam yang sedang menyetir.

“Kenapa, Yang? Haus?” tanya Sadam. Tangannya yang panjnag meraba bagian belakang jok mobil, mengambil sebotol air mineral kemasan kepada Raya.

“Makasih, Bang,” ucap Raya begitu menerima air minum pemberian Sadam.

“Yang,” panggil Sadam lagi, menguji apakah kali ini nasib baik berpihak padanya.

“Hm?” Suara Raya terdengar pelan, matanya juga sibuk memandang kemacetan di depan mata. “Macet banget. Nggak mau pulang aja, Bang? Nanti kemaleman kamu nyampe rumah.”

“Yang,” panggil Sadam sekali lagi, tidak menanggapi pertanyaan Raya.

“Hm?” sekali lagi, suara Raya terdengar lesu.

“Seminggu lagi kamu berangkat, lho. Kamu mau sampe kapan kayak begini, Yang?”

Raya diam, bersandar pada pintu mobil sambil menyilangkan tangan di depan dada. Pandangannya tertuju lurus ke depan, seolah ada pemandangan menarik di sana selain barisan mobil yang tak bergerak sejak lima belas menit lalu.

“Yang… jawab,” pinta Sadam. Badannya condong ke arah Raya, menatap Raya dengan cemas.

“Aku — “ Namun sebelum Raya bahkan sempat membuka mulut, Sadam sudah kembali menyuarakan ketakutannya. “Jangan bilang kamu mau putus. Plis, Raya. Aku nggak bisa.”

Raya menarik napas, membuang kembali pandangannya dari Sadam setelah gagal berbicara.

“KAMU BENERAN MAU PUTUS, YANG?? SETELAH SELAMA INI??” Sadam menyambar tangan Raya, menggenggamnya erat, meminta Raya balas menatapnya.

“Enggaakk… Lepasin tangan aku. Kamu yang fokus nyetirnya,” omel Raya.

“Yang, aku harus jungkir-balik gimana lagi? Plis kasih tau aku. Jangan kayak gini. Kamu mau ngomelin aku 1000 hari juga boleh, Yang, tapi jangan begini. Aku udah sengemis ini, masa kamu tega sih?”

Raya menarik napas, mencoba tersenyum meski hatinya masih terasa berat. “Enggak, Yang….” Akhirnya, kata-kata itu keluar juga, membuat Sadam sedikit tenang.

“Apa yang bikin kamu berat? Bilang sama aku, aku harus ngapain?”

“Nggak ada. Nggak ada yang perlu diapa-apain. Jalanin aja.” Namun begitu mengatakannya, Raya mendadak terdiam, membuat Sadam bingung. “Kenapa, Yang?”

“Sejujurnya, aku ngerasa belakangan ini jadi nggak fokus dengan rencana kuliah aku. Aku nggak se-excited itu buat berangkat, malah jadi merasa terbebani. Aku nyoba mikir… mungkin karena emang aku baru sadar, berat rasanya jauh dari keluarga. Tapi nggak jarang juga aku merasa, yang bikin aku nggak fokus ya… masalah kita juga.”

Tangan Raya memainkan ujung kuku-kuku jarinya. Matanya menatap Sadam, mencoba tersenyum. “Aku tau, aku jahat banget ke kamu kaya gini. Tapi aku nggak bisa, aku juga bingung kenapa susah banget buat nerima kenyataan soal hubungan kamu dan Gina — yang justru pertama kali aku denger dari Gina sendiri — meski udah berlalu. Aku udah di fase mikir, kayaknya aku terlalu toxic buat kamu.”

Raya menarik napas, hatinya bergetar ketika mengatakan kalimat yang beberapa hari ini terus mengusiknya. “So if you wanna be free, I’ll let you be.

Tangan Sadam mendadak terasa dingin. Bukan karena suhu pendingin mobilya yang disetel terlalu rendah, tetapi karena darahnya seakan berhenti mengalir. Sadam benci di saat-saat seperti itu, ia masih harus mengemudikan mobil. Fokusnya jadi terpecah belah. Waktu mendengar kalimat terakhir Raya, otak Sadam mendadak seperti konslet, tak menyangka kalimat itu akhirnya keluar juga. Dadanya seperti dihantam truk tronton waktu melihat wajah pucat Raya mengatakannya dengan lesu.

Karena tak sanggup, Sadam diam lama sebelum menanggapi. “Jangan ngomongin itu, Yang. Aku nggak mau. Aku lebih baik kayak gini, daripada nggak ketemu kamu sama sekali.”

“Toh kita juga bakal LDR?” sambung Raya.

“Aku nggak bakal minta putus. Terserah kamu mau cuekin aku. Yang penting aku tetep punya kamu.”

Raya memejamkan mata. Pusing. Ternyata perkara ini jauh lebih rumit dari yang ia kira. Sekarang ia tak hanya harus menggeret koper-koper besarnya waktu ke Amerika nanti, tetapi juga harus memikul beban berat di dadanya meninggalkan Sadam dengan hubungan tak jelas seperti ini.

tbc.

--

--

No responses yet