[Kembaliannya Mana?] — Pakaian Lama
Raya sedang merapikan lemari pakaiannya. Memilah beberapa pilihan setelan pakaian formal yang akan ia kenakan besok, untuk memenuhi panggilan interview kerja di sebuah perusahaan multinasional.
Matanya memang sibuk menatap pakaian yang tergantung di lemari, tetapi pikirannya jelas jauh dari sana, menjelajahi runtutan adegan pertemuan singkatnya dengan dia — yang ternyata jangankan menyebut, mengingat namanya saja kembali menggetarkan hari Raya, persis seperti yang terjadi siang tadi.
Raya mengembuskan napas. Tangannya tergantung pada sebuah terusan hitam yang dulu ia kenakan pada saat sidang skripsi. Pikiran Raya semakin hanyut dalam nostalgia, ingat betapa bahagianya ia hari itu. Tidak menyangka kalau momen bahagia itu tidak lagi ia miliki sekarang. Raya memandangi pakaian lamanya dengan saksama, memperhatikan serat-serat kainnya yang masih halus dan rapi, masih sangat layak dikenakan.
Tanpa sadar, Raya tersenyum, pahit. Ia kemudian menutup lemari pakaiannya dengan perasaan hampa. Perlahan mulutnya mulai menyenandungkan lagu yang belakangan ini sering berputar di kepala Raya.
Naskah Tuhan tak pernah Salah
Walau atap kita telah terpisah
Kau tetap rumahDulu bagaikan bulan dan bintang
Selalu bersama terlihat mereka dari bumi
Tapi kini kita telah berubahMenjadi bulan dan matahari
Tidak bersama, tapi setidaknya tetap sinari
Di langit itu kita tetap satu
Bersatu dalam bentuk yang baru
Raya merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang masih tetap sama. Begitu juga lemarinya, kasurnya, meja riasnya, hingga pernak-pernik hiasan kamarnya. Tidak ada yang berubah, tetapi Raya tidak mengerti mengapa suasananya terasa berbeda.
Ketika mata Raya terpejam, wajah Sadam tadi siang kembali terbayang. Ah, malah kesebut lagi, maki Raya pelan. Kali ini Raya tidak mengusir bayangan itu, membiarkannya tetap tinggal beberapa saat sambil menikmati rasa sesaknya sendiri. Air mata yang menumpuk di pelupuk mata Raya tidak mengalir.
Gimana kalau tadi gue nggak buru-buru pulang? Kira-kira…, dia bakal ngomong apa ke gue? Mungkin nggak dia jelasin kenapa dia dulu nggak datang ke bandara? Ah, tapi buat apa? Udah lewat. Jangan-jangan dia malah udah punya pacar baru.
Tangan Raya meraba kasur, mencari ponselnya yang tadi ia lempar entah ke mana setelah membuat pengumuman melalui status WhatsApp bahwa nomor lamanya sudah ia gunakan kembali. Raya menarik napas sebelum menatap layar ponselnya. Hanya ada satu orang yang membalas statusnya. Dia — yang tidak Raya sangka masih menyimpan nomornya. Mata Raya mengerjap berkali-kali membaca pesan yang dikirimkan Sadam.
I wish you all the happiness in the world. Selamat.
Dada Raya mencelos membaca pesan terakhir Sadam. Dengan ibu jari gemetar, Raya membalas pesan tersebut. Sambil menunggu balasan Sadam, Raya membuka foto profil pria itu yang ternyata sudah diganti. Rambut Sadam tampak lebih panjang dalam foto barunya, seperti yang Raya lihat langsung tadi siang.
Tak lama balasan-balasan pesan Sadam datang. Raya terhanyut dalam percakapan yang meski masih kaku, namun tetap membuatnya tersenyum. Sadam dengan tingkah anehnya, masih tetap sama. Yang tidak sama hanya status hubungan mereka sekarang.
Masih pacar kan, ya?
Raya menatap lama kalimat tersebut sambil membacanya berulang. Meski tidak pernah mengucapkan kata perpisahan secara resmi, buat Raya hubungan mereka sudah berakhir sejak malam di mana Sadam memilih tidak hadir pada pertemuan terakhir sebelum Raya mengejar impiannya ke negeri Paman Sam. Raya yakin, Sadam juga seharusnya paham dan mengamini pemikiran yang sama. Apalagi, dengan upaya Raya memblokir segala saluran komunikasi dengan lelaki itu setelah pergi.
“Don’t push your luck, Sadam Januar,” ucap Raya pelan sambil melempar ponselnya kembali ke kasur.
— tbc.