[Kembaliannya Mana?] — Pengakuan
“Jadi siapa Gina dan Luna?”
Sadam yang sedang menusuk-nusuk kentang goreng berhenti memainkan garpu di tangannya. Matanya mendongak menatap Raya yang balas menatapnya dengan pandangan berkilat. Sadam sedikit terkejut mendapati pertanyaan tersebut di tengah-tengah makan malam mereka yang tenang.
“Kenapa tiba-tiba nanyain itu?”
Raya meraih garpu, menusuk kentang di piring yang sama dengan garpu milik Sadam menancap. “Penasaran. Kenapa mereka bisa sampe bikin lo sama Kak Ganda berantem.”
“Bukan mereka yang bikin kami berantem,” ralat Sadam cepat.
“Mereka siapa?” Raya menyuap sepotong kentang goreng ke mulutnya.
“Teman kuliah,” jawab Sadam singkat. Ia melepaskan garpunya dan beralih menenggak air mineral.
“Teman spesial?” Raya sengaja menekankan suaranya di akhir pertanyaan.
“Hm… tergantung buat siapa.” Nada suara Sadam masih tenang, berbeda dengan Raya yang jantungnya seperti meletup-letup mencoba bersabar menanti penjelasan Sadam.
“Buat Ganda, dulu Luna mungkin spesial. Buat gue, biasa aja. Gitu juga sebaliknya.”
“Berarti si Gina itu spesial buat lo?”
Sadam menatap Raya lurus-lurus, mencoba memahami arah pembicaraan ini. Ia takut malah membuat suasana makan malam mereka kacau dan suasana hati Raya berantakan.
“Dulu, iya,” jawabnya. “Lo juga pasti pernah punya mantan, kan?”
“Enggak. Gue nggak pernah dibolehin pacaran. Lo tau kakak gue.”
Peringatan pertama. Rasanya Sadam mulai bisa mendengar gemuruh di hati Raya. Mungkin suasananya sudah mendung. Ada baiknya ia tidak melanjutkan percakapan ini.
“Jadi, Gina mantan lo?”
“Bukan,” jawab Sadam cepat. “Kita pernah dekat aja.”
“Sekarang?”
Sadam menarik napas. Ia meraih satu tangan Raya dan menggenggamnya. “Terakhir yang gue tau, dia udah nyebar undangan nikah sama teman gue dan kakak lo, Riko. Dulu, gue, Ganda, Riko, dan Gina teman satu tim olimpiade.”
Raya menatap tangan kirinya yang berada dalam genggaman Sadam di atas meja. Ia tidak menariknya, meski Raya dapat merasakan hatinya sedikit sedih setelah tahu sedikit masa lalu Sadam.
“Kalau dia nggak nikah, lo masih bakal suka sama dia?”
Bukannya menjawab, Sadam malah tertawa melihat bibir Raya mencebik. “Kamu nih kenapa, Raya? Dari tadi nanyain Gina terus. Cemburu?”
Raya memalingkan wajahnya, menatap sungai di bawah mereka yang mengalir deras. “Pengen tau aja.”
“Meskipun nggak pernah pacaran, pasti pernah ada cowok yang deketin lo, kan?” tembak Sadam.
Raya hanya melirik sekilas. “Ya, ada. Tapi nggak ada sih kayaknya yang pernah naksir gue bertahun-tahun, sampe gak bisa move on sebelum dapat undangan nikah.”
“Lo nyindir gue?” tanya Sadam terang-terangan sambil tertawa lebar.
“Yang merasa aja sih.”
“Coba liat sisi positifnya. Artinya gue setia kan orangnya?” ucap Sadam percaya diri.
“Artinya elo positif bucin bodoh,” serang Raya kesal.
Alih-alih merasa tersinggung, Sadam malah tertawa makin kencang. Ada-ada aja istilah Raya ini. Baru kali ini gue harus berterima kasih sama si Gundam karena udah jagain Raya dari buaya-buaya di sekitarnya.
Di perjalanan pulang, Sadam sadar kalau suasana hati Raya belum membaik sepenuhnya. Perempuan itu nyaris diam kalau tidak ditanya. Seperti sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sadam jadi harus putar otak menanyakan berbagai topik mulai dari progres skripsi Raya yang langsung ditolak oleh Raya, ajakan nonton bioskop yang juga masih belum ada jawaba, hingga tebak-tebakan jayus yang membuat Raya justru semakin kesal kepada Sadam.
Semua usaha Sadam untuk menghibur Raya ditolak mentah-mentah, Sadam jadi pusing sendiri. Waktu Raya turun dari mobilnya, Sadam ikut turun dan mengantar Raya hingga depan pintu gerbang kosnya.
“Raya,” panggil Sadam sebelum Raya masuk ke dalam.
Raya berbalik, wajahnya tampak kusut. “Ya?” Tangan Raya meremas tali tas selempangnya erat sementara kakinya memainkan kerikil di bawah sepatunya.
“Gue udah nggak suka sama Gina. Kalo mau tau siapa orang yang gue suka, lo tinggal ngaca.”
Raya mendongak, menatap Sadam yang berdiri emnjulang di depannya sambil tersenyum. Pria itu mengambil satu langkah lebar sehingga nyaris tidak ada jarak di antara mereka.
“Keputusan gue masih sama. Gue bakal nungguin lo. Entah sampe kapan, mungkin sampe lo bosen dan ngusir gue.”
“Kalo gue ngusir lo, terus lo langsung bakal move on?” tanya Raya sewot. “Cih, cetek banget. Katanya setia.”
Sadam tertawa melihat wajah Raya yang cemberut, namun tak menyangka pada akhirnya gadis itu tersenyum juga bersamanya.
“Gue nggak bisa ngasih jawaban. Lo bener, banyak yang pengen gue lakuin. Tapi…, gue nggak bakal ngedorong lo menjauh.”
Raya menelan ludah berat sebelum kembali memberanikan menatap Sadam yang kepalanya kini nyaris berada tepat di atas kepala Raya.
“Lo boleh ada di sebelah gue. Enggak. Gue harap…, lo bakal selalu ada di sebelah gue,” ucap Raya tegas dan berani.
Sadam tidak menyangka, setelah menikmati wajah tertekuk Raya sepanjang jalan pulang, ia justru. mendapatkan kejutan di akhir perjalanan mereka hari ini. Sadam tidak merespons Raya dengan kata-kata. Lelaki itu hanya menarik Raya ke dalam pelukannya. Di punggungnya, Raya bisa merasakan telapak tangan besar Sadam mengusap-usapnya.
“Gue bakal nungguin lo, sampe kapan pun.”
Raya tersenyum dalam pelukan Sadam. Tangannya diam-diam pun bergerak membalas pelukan Sadam.
— tbc.