[Kembaliannya Mana?] — Perhatian Sadam
Redup cahaya lilin menjadi satu-satunya penerangan di beberapa sudut fotokopian Juragan. Sadam, Pepet, dan Tama menggelar karpet di dekat jendela lantai dua yang menghadap ke jalanan. Mereka merebahkan diri di sana sambil mengipas-ngipas diri masing-masing karena suasana sumpek bercampur debu gudang yang mengusik. Namun ketiganya hanya bisa menerima dan tak punya pilihan lain.
Jalanan di luar tampak gelap,nyaris tidak ada penerangan sama sekali selian dari lampu-lampu petromaks yang digantung di beberapa warung. Di tengah kesunyian, saat ketiganya mencoba tertidur, perut Tama berbunyi nyaring.
“Laper banget gue,” keluh Tama. “Belom makan dari siang gara-gara sibuk mindahin barang.”
“Bikin pop mie gih,” saran Sadam. “Di rak dapur masih ada beberapa seinget gue.”
“Takut Bang ke bawah.”
Sadam dan Pepet pun sama-sama menoleh seketika menatap Tama yanghanya terlihat siluet wajahnya saja di tengah kegelapan.
“Yang bener aja lu,” sahut Pepet.
“Temenin Bang Pet.”
“Sadam aja tuh,” balas Pepet. Ia pura-pura kembali tidur.
“Kalo gue turun, nanti Raya gimana?” Sadam menunjuk pintu kamar Raya yang terbuka lebar-lebar atas permintaan Raya dan demi keamanan perempuan tersebut.
Sebelum Tama kembali bersuara, Sadam bisa mendengar suara Raya dari kamar. Gedebug. Gedebug.
Sadam buru-buru mengusir Tama dan Pepet ke lantai bawah, sementara ia pergi mengecek kondisi Raya. Dilihatnya posisi Raya sudah bergeser jauh dari karpet bulu yang Sadam sediakan sebagai alas tidur perempuan tersebut. Raya berbaring meringkuk di lantai. Wajahnya tampak gelisah dan penuh keringat.
“Gerah… mamah… ih… nyamuk… haahhh….”
Tubuh Raya berguling-guling mencari posisi yang lebih nyaman, tapi seakan tak pernah ketemu. Sadam pun akhirnya memberanikan diri masuk dengan selembar koran di tangan. Ia duduk bersandar pada dinding, tak jauh dari posisi Raya berbaring. Tangannya pun mulai bergerak mengipas-ngipasi wajah Raya. Setelah mendapat tiupan angin, barulah kerutan gelisah di wajah Raya sedikit berkurang. Agaknya, Sadam sedikit merasa lega.
Sadam terus mengipasi Raya sampai tak lama kemudian, ia pun ikut tertidur masih dalam posisi duduk bersandar pada dinding. Tak lama, sekitar sepuluh menit. Saat mata Sadam mengerjap, ia hampir teriak melihat sosok Raya yang juga duduk di hadapannya dengan rambut menutupi wajah. Dikiranya hantu.
Sebelum Sadam sempat teriak, Raya buru-buru menyibakkan rambut.
“Ini guee…,” rengek Raya. Perempuan itu kembali mengeluh rewel. “Gerah… gak bisa tidur.”
Masih dalam kondisi setengah sadar pun, tangan Raya bergerak menggeser kaki Sadam. Tanpa meminta izin, Raya mendaratkan kepalanya di paha pria tersebut. Tangan Raya juga menepuk-nepuk koran di tangan Sadam.
“Kipasinnn geraahhh….” Suara nada Raya terdengar seperti bocah perempuan yang nyaris menangis karena kegerahan.
Dalam kondisi terkantuk-kantuk, tangan Sadam kembali mengipasi wajah Raya. Perempuan itu mulai sedikit tenang. Ia tertidur dalam kondisi mulut separuh terbuka.
“Hmm… kakinya juga gerah.” Tangan Sadam berpindah mengipasi kaki Raya.
“Nyam… nyamm… Bang Sadam, kenapa sih lo alay bangeett… tapi baik hehe… tapi gue mau lulus kuliah dulu… lo… jangan bikin gue galau.”
Sadam terenyak dalam kondisi separuh sadar. Ia mendengar Raya mengigau dan tertawa setelah mendengar kata-kata Raya yang lucu.
“Tidur aja tetep lucu,” ucap Sadam pelan.
Setelah memastikan Raya tertidur pulas, Sadam keluar kamar, menyusul Pepet dan Tama yang sedang menikmati mie instan di dapur.
“Si Raya udah tidur?” tanya Pepet. Sadam merebut sendok plastik di tangan Pepet dan menyuapkan mie ke dalam mulutnya.
“Hudah….”
“Terus mau lo apain tu anak?” tanya Pepet lagi, kembali merebut mie instan kemasan di tangan Sadam yang memang semula miliknya.
“Diapain apanya?” tanya Sadam bingung.
“Beneran mau lo ajak kawin?”
Sebelum Sadam sempat menjawab, listrik pun menyala. Ketiganya kompak mengucapkan syukur.
“Alhamdulillah….”
“Woi, ayo nonton bola,” ajak Tama.
Obrolan tentang Raya pun terlupakan.
— tbc