[Kembaliannya Mana?] — Sadam Cengeng
Setelah bingung dengan beragam pilihan “sarapan unik” yang ditawarkan Sadam, akhirnya Raya memutuskan sarapan nasi uduk. Ia sudah duduk menanti Sadam di teras kosannya saat pria itu datang dengan motor hitam matic-nya. Motor Sadam melenggang masuk ke gerbang kos Raya dengan mulus hingga standar motor mendarat di atas batu-batu kerikil halaman kos Raya.
Sadam menarik bungkusan sarapan mereka berdua dari kaitan motor dan melangkah diayun-ayun menghampiri Raya, membuat pacarnya terheran-heran.
“Hepi banget kamu?”
Sadam mengangguk antusias dan menggelar sarapan mereka di atas meja. “Udah lama nggak sarapan bareng ayang.”
Tangan Sadam cekatan membuka bungkus nasi, meletakkanya di atas piring yang sudah disediakan Raya dan menaruh kerupuk berikut sendok di atasnya. Sadam mendorong satu bungkus nasi kepada Raya yang tampak masih sedikit mengantuk. Mereka pun mulai sarapan dengan khidmat.
“Semalem begadang sampe jam berapa?”
“Nggak lama banget, sampe jam 2.”
Sadam mengangguk-angguk. Ia mengambil sebuah kerupuk dalam potongan besar dan menyuapnya utuh-utuh ke dalam mulut.
“Aku pas pulang kemarin ngobrol sama Kak Ganda. Skripsi aku kan sebentar lagi selesai… Kayaknya mulai bulan depan aku udah nggak ngekos lagi.”
Sadam yang sedang semangat-semangatnya mengunyah kerupuk pun terdiam dengan kondisi mulut penuh dengan makanan.
“HUH KAN.”
Raya memukul lengan Sadam, memintanya menelan dulu seluruh makanan dimulutnya sebelum berbicara. Dengan sepenuh tenaga, Sadam cepat-cepat menelan seluruh makanan tersebut, bahkan separuhnya belum dikunyah sampai halus.
“Pasti si Gundam itu kan yang rese minta kamu pindah?” pikiran Sadam tak bisa berhenti berburuk sangka kepada saingan lamanya tersebut. Kedua tangan Sadam mengepal geram di atas kedua pahanya.
“Enggak… aku pikir ya bener… ngapain aku ngekos lagi kalo udah jarang ke kampus, kan? Bulan depan UAS juga udah selesai. Udah nggak ada kegiatan aku.”
“ADA LAH!” sahut Sadam heboh. “PACARAN! Emang kamu mau kita LDR-an?”
Kening Raya mengerut melihat wajah cemberut Sadam. “Emang Jakarta-Bekasi sejauh itu ya…?”
“JAUH! KEMAREN AKU MACET-MACETAN KE RUMAH KAMU DUA JAM! HAH!”
Sadam menaris-narik kaus lusuh yang ia kenakan, berusaha mengipas-ngipasi dirinya sendiri yang mendadak diliputi amarah.
“Kalo perlu, aku yang bayarin kos kamu juga nggak apa-apa,” ucapnya seraya menatap Raya serius. “Nanti aja pindahnya, abis lulus.”
Raya mengelus lengan Sadam pelan, berusaha menenangkannya. “Bukan gitu, yang… Kan Mama sama Papa aku juga pengen liat anaknya lebih sering di rumah….”
Air muka Sadam yang tadinya penuh emosi pun langsung melunak, melas. “Jadi… harus LDR nih kita?”
“Bekasi nggak sejauh itu kok… hehehe…,” Raya memeluk tubuh bongsor Sadam dari samping dan mengelus-elus punggungnya pelan. “Lagian ini baru LDR Jakarta-Bekasi, gimana nanti kalo kita LDR beda benua?”
“Maksud kamu?” Sadam menunduk, berusaha melihat wajah Raya yang berada tepat di bawah kepalanya.
Raya mengendurkan pelukannya dari tubuh Sadam. “Ya… kamu kan tau aku mau lanjut S2. Pendaftaran beasiswanya udah dibuka. Aku udah apply. Kalau diterima, termasuk pendaftaran kampus aku…. Pertengahan tahun depan aku berangkat kuliah ke Amerika. Sementara nunggu jadwal pemberangkatan nanti, rencananya aku juga bakal ngelamar lowongan magang aja buat nambah pengalaman.”
Wajah Sadam yang tadinya melas, cemberut, kini berganti sedih. Raya bahkan bisa melihat genangan air mata di mata pria itu. Sadam kembali memeluk tubuh Raya erat.
“AYAAANGGG… Hiks… Hiks….”
Raya mengusap-usap punggung Sadam, berusaha menenangkan pacarnya yang meski tubuhnya nyaris setinggi dua meter, tetapi kelakukannya tak bedanya seperti bocah berusia lima tahun.
“Kamu kan udah janji bakal nunggu kan?”
Sadam mengangguk di atas pundak Raya. Pelukannya pun jadi semakin erat. Raya melepaskan pelukan Sadam dan menghapus sisa-sia air mata yang membuat pipi Sadam basah.
“Jadi… anggap aja latihan dulu, ya?”
Sadam mengangguk sekali lagi, masih dengan sudut-sudut bibir tertarik ke bawah, siap meledakkan tangis kembali, tetapi keburu dilarang oleh Raya.
“Jangan nangis lagi ah! Udah gede!”
Sadam mengangguk lemah seraya tertunduk. Namun sebelum Raya sempat mengangkat sendoknya kembali, tubuh besar Sadam kembali menubruk tubuh mungil Raya. Sadam kembali memeluk perempuan kesayangannya tersebut dengan erat sebelum kembali terisak.
— tbc.