[Kembaliannya Mana?] — Sama-Sama Belajar
Raya bergerak gelisah di kamar, menanti kedatangan Sadam yang kabarnya sebentar lagi akan sampai — dilihat dari live location WhatsApp yang ia berikan. Kimi duduk di sofa, menggigiti kuku dengan cemas. Satu jam yang lalu ia menerima panggilan Sadam, mengabari kalau kakak satu-satunya itu sudah meminta Sammy untuk menjemput mereka pulang ke hotel. Sementara, Sadam sendiri sudah separuh jalan menuju Bandung.
Kimi sengaja meminta Sammy menunggu Sadam di lobi hotel. Agar kalau tiba-tiba abangnya datang sambil mengamuk, paling tidak ada yang bisa menahannya karena sudah pasti, baik Raya maupun Kimi yang tubuhnya sangat jauh dari tandingan Sadam, tidak akan sanggup.
“Tadi di telepon dia marah banget, nggak?” Raya duduk di kasur, menatap kimi yang berselonjor di sofa.
“Nggak marah. Tenang. Tapi justru gue jauh lebih takut,” aku Kimi jujur. Jemarinya menyapu helaian rambut hitam yang ia biarkan tumbuh panjang hingga ke pinggang, menyisirnya pelan untuk melancarkan aliran darah di kepalanya yang sepertinya membeku, membuat Kimi mulai pusing.
Raya melempar tubuhnya ke belakang. Posisinya kini berbaring di kasur. Mata Raya nyalang menatap langit-langit kamar hotel. Kepalanya sibuk menyusun berbagai alasan pembelaan yang akan disampaikan ke Sadam, itupun kalau pria itu masih mau mendengar. Raya menelan ludah, memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa ia bayangkan.
Nggak mungkin kan… kalau tiba-tiba Bang Sadam kecewa dan batalin pernikahan kita?
Mendadak perut Raya terasa melilit memikirkannya. Tangannya juga terasa dingin meski suhu pendingan ruangan disetel sehangat mungkin. Raya bangkit duduk, menatap Kimi dengan napas tak beraturan. Pikirannya kacau sekarang.
“Bang Sadam… nggak bakalan mutusin gue, kan?”
Tetapi Jawaban Kimi tak memuaskan Raya sama sekali. “Gue mau jawab nggak, tapi jujur nggak pede.”
Sebelum Raya kembali membuka mulut, pintu kamar mereka diketuk perlahan. Raya dan Kimi saling tatap, tegang. Kimi yang mengambil inisiatif lebih dulu bergerak membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, muncul sosok Sadam memenuhi ruang sela tersisa di antara kusen pintu, di belakangnya, Sammy berdiri dengan wajah tak kalah tegang.
“Samsul, lo tunggu di luar dulu. Gue mau bicara sama Raya dan Kimi.”
Mata Sadam menatap tajam dua perempuan sebaya di dalam ruangan bergantian. Ia menutup pintu di belakangnya dengan satu tangan dan mulai menunjuk Raya dan Kimi satu per satu.
“Raya, Kimi, berdiri di situ.” Telunjuk Sadam mengarah pada ruang kosong di depan kasur yang cukup luas. Begitu Kimi dan Raya sudah berada di posisi masing-masing. Sadam — masih dengan suara yang tenang namun tegas dan dingin — mulai mengeluarkan perintah-perintah lainnya.
“Berlutut.” Kimi dan Raya patuh mengikuti. “Berdiri. Jongkok. Berdiri. Berlutut. Berdiri. Hormat!”
Terus begitu selama hampir lima belas menit hingga napas Raya dan Kimi mulai ngos-ngosan.
“Bang! Yang bener aja! Mending diomelin daripada suruh latihan militer begini!” Tubuh Kimi terkapar lemas di lantai.
Yang diprotes langsung berkacak pinggang. “Ini baru pemanasan. Gue udah bilang Babeh, besok lu ikut nyangkul di kebon!”
“Bang! Tega banget!” rengek Kimi nyaris menangis. “Kalo kulit gue kebakar matahari dan gosong gimana? Gue mau ada pemotretan!”
“NGGAK USAH NGOMONG TEGA-TEGAAN. UDAH BERAPA KALI LU NGEGOCEK GUE SAMA SI RAYA, HAH??”
Bibir Kimi mengerecut. Kalah telak, tak bisa menjawab.
Raya yang dari tadi sibuk mengatur napas sambil menjadi penonton mendadak menegakkan tubuh begitu mendapat perhatian Sadam.
“Kamu,” tunjuk Sadam. “Siapa kamu namanya?”
“Ra-Raya,” jawab Raya gagap. “Ra-Ratu Soraya.”
“Emang kalo namanya Ratu nggak terima disiksa begini?” omel Sadam tanpa ampun. “Mau protes?”
“E — enggak, Bang.”
“Bagus. Sekarang ikut ke bawah.” Sadam memutar tubuh, tangannya meraih kenop pintu, namun tertahan begitu mendengar pertanyaan Raya. “Ma-Mau ngapain?”
Kepala Sadam berputar ke arah Raya, matanya memicing galak. “Siapa yang bilang boleh nanya? Kalau diperintah, nurut aja.”
“Si-Siap!”
Raya melambaikan tangan kepada Kimi yang masih tergeletak frustrasi memikirkan nasibnya akhir pekan ini harus berkutat belepotan tanah di kebun duren. Dengan langkah kecil, seperti berjingkat, Raya mengekori Sadam. Mulai dari keluar pintu hotel, masuk ke dalam lift, hingga keluar menuju sudut ruang tunggu lobi hotel yang luas dan sepi saat tengah malam.
Sadam duduk di salah satu sofa panjang. Ia lalu menepuk bagian kosong di sebelahnya, meminta Raya duduk di sana. Lagi-lagi, Raya hanya bisa menurut.
“Yang, aku — ”
“Kamu nih kenapa?” Sadam menyela perkataan Raya. Tubuhnya membungkuk, tangannya bertaut dengan posisi lengan kekarnya bersandar di atas paha Sadam. Mata Sadam menatap Raya lekat.
“Maksudnya?” Raya tampak bingung. Bola matanya bergerak mengikuti pandangan Sadam.
“Kita udah mau nikah, tapi kamu masih sering main kucing-kucingan begini. Padahal kalau kamu bilang, aku temenin, Yang, kalau cuma penasaran. Kenapa harus sembunyi-sembunyi?”
Raya tertunduk, merasa bersalah. “Maaf, Yang….”
Sadam menarik napas melihat Raya tertunduk lesu. Tangannya bergerak mengusap rambut Raya yang tergerai di punggung. Untungnya, Raya dan Kimi masih cukup tahu diri untuk berpakaian sopan, sehingga tidak menambah emosi Sadam.
“Apa-apa itu bilang. Jangan sampe berantem karena miskom. Emang nggak capek apa?”
“Capek,” jawab Raya pelan.
Tangan Sadam menangkup wajah Raya, meminta kekasihnya menaruh perhatian penuh pada dirinya seorang. Sadam memang marah, tapi tenaga dan waktunya sudah habis kalau harus mencak-mencak selarut ini. Dan lagi, ada hal yang jauh lebih penting ketimbang itu, yaitu hubungan mereka.
“Mulai sekarang harus lebih terbuka satu sama lain, ya. Mau baik-buruk, bagus-jelek, harus jujur, diomongin.” Raya mengangguk dalam genggaman tangan Sadam.
“Janji?”
“Iya, janji.”
Barulah setelah itu, Raya bisa melihat senyum di wajah Sadam. Sadam mengecup bibir Raya sekilas dan menghapus setitik air mata di pelupuk mata perempuan itu. Ia lalu menarik Raya mendekat, memeluknya erat.
“Minggu depan kamu udah jadi istri aku. Istri abang, Neng. Kata orang, rumah tangga itu nggak ada yang mulus licin kayak kepalanya Om Deddy Kokbuset, pasti ada aja masalahnya. Tapi apapun itu, harus dilalui bareng-bareng, ya. Nggak boleh nyimpen duri sendiri-sendiri. Cerita aja, aku pasti dengerin.”
Raya balas memeluk Sadam erat. Kepalanya bergerak mengangguk di pundak lelaki itu. Mendadak hati Raya terasa tenang dan hangat. Air matanya kembali menumpuk karena rasa syukur dan bahagia.
“Iya. Aku janji kalo mau aneh-aneh bilang dulu.”
“Tapi kalo bisa nggak usah aneh-aneh lagi.”
“Iya….”
Sadam mempererat pelukannya sampai Raya nyaris tak bisa bernapas. “Sayang banget aku sama kamu, Ratu. Sampe takut kamu sama si Kimi dibawa kabur om-om tadi, makanya aku ngebut.”
“Maafin, Yang….”
“Hm… Tapi nanti cium ya di mobil?”
Raya melepaskan pelukannya. “Beneran jadi pulang?” Bibir Raya manyun, ngambek.
“Masih mau nawar?” tanya Sadam kembali ke mode (sok) galak. Raya menarik napas, seraya menggeleng.
“Aku diskon. Pulangnya abis solat subuh. Kamu balik ke kamar aja. Aku tidur di mobil.”
Mendadak sebuah ide muncul di kepala Raya. Ia menyeringai menatap Sadam seperti serigala betina. “Aku temenin tidur di mobil?”
Sadam yang terkejut mendengarnya mendadak jadi gugup, panik, dan salah tingkah.
“Sabar-sabar dikit, Yang. Nunggu minggu depan aja. Enggak enak nanti di gerebek belum punya buku nikah.”
Sadam buru-buru mendorong Raya ke lift, memintanya segera kembali ke kamar sebelum Sadam sendiri berubah pikiran dan tergoda dengan tawaran Raya barusan. Sesampainya di mobil, boro-boro bisa tidur. Yang Sadam lakukan justru melakukan panggilan video dengan Raya dan Kimi sampai nyaris tak tidur sama sekali menjelang azan subuh.
— tbc.