[Kembaliannya Mana] — Serangan Lanjutan
Karena dibombardir panggilan oleh Sadam, Ganda akhirnya turun tangan membukakan pintu untuk teman lamanya tersebut. Ia mempersilakan Sadam masuk dan menuntunnya ke lantai dua, ke depan pintu Kamar Raya.
“Ketok aja,” ujar Ganda seraya bersandar panda dinding di sebelah pintu. Ia menatap Sadam yang tampak panik dan kusut wajahnya.
Sadam berdeham sebentar sebelum mengangkat tangannya, mengetuk pintu kamar Raya pelan. “Raya,” panggil Sadam seraya melirik Ganda yang masih memperhatikannya lekat. Sadam masih berusaha menahan hasratnya untuk memanggil Raya dengan berbagai panggilan sayang yang ia miliki.
Karena tak ada jawaban, Sadam mengetuk pintu kamar Raya sekali lagi.
“Ratu?” Masih tidak ada jawaban.
“Sayang…?”
Kali ini bukannya jawaban Raya yang Sadam terima, malah pandangan jijik dan semburan nafas kasar dari Ganda. Pria itu tak tahan dan akhirnya memilih meninggalkan Sadam berusaha sendirian. Barulah setelah Ganda pergi, Sadam mulai menggedor-gedor pintu kamar Raya dan memanggil-manggil nama kekasihnya tersebut seperti orang frustrasi.
“YAANGGGG…. AMPUN YANGGG… AYO PULANG….”
Terdengar sahutan Ganda dari lantai bawah. “SADAM GUE GIBENG LO YA NGAJAKIN ADEK GUE BALIK KOSAN. INI RUMAH RAYA!”
Sadam bersungut-sungut memaki Ganda pelan sampai tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka lebar, menampilkan sosok Raya dengan ekspresi dingin menatapnya. Pandangan Raya menusuk kepada Sadam.
“Kak Ganda ini temennya disuruh pulang aja nih!” teriak Raya. Mendengar pengusiran terang-terangan Raya, Sadam pun berlutut di depan perempuan itu.
“Yang, maafin sih…. Sumpah dulu aku biasa, nggak spesial-spesial amat ke Gina.”
Raya berkacak pinggang menatap Sadam. “Oh ya?” tanya Raya sangsi. “Gimana kalo kita tanya Kak Ganda aja?”
Raya melewati Sadam dan berjalan menuruni tangga. Ia menghmapiri Ganda yang sedang membuka pintu kulkas di dapur. Wajah Ganda tampak bingung saat melihat Raya — dengan wajah sarat emosi nan mengerikan — menghampirinya diekori oleh Sadam yang tampangnya sungguh melas.
“Kak Ganda, dulu emang Bang Sadam gimana sih ke Gina?”
Alis Ganda terangkat, bingung mendapat pertanyaan mendadak. “Kok kamu tau soal Gina?” Ganda melirik Sadam meminta jawaban, tetapi pria itu hanya mengatupkan kedua telapak tangan di depan kepalanya, memohon dengan frustrasi kepada Ganda agar menutupi kelakuannya di masa lalu kepada Raya.
Tapi mungkin Sadam lupa, mereka kan saingan? Melihat wajah Sadam sudah pucat pasi dan melas, tanduk di kepala Ganda pun keluar.
“Gimana, ya? Ya… udah kaya sopir sama kurier gitu lah. Kalo ketiduran pas belajar dikipasin, pulang kemaleman dianterin sampe depan pintu kos. Gina mau nonton konser sama temannya aja ditungguin walaupun dia nggak ikut nonton.”
Sadam mengepalkan tangannya di udara, posenya siap meninju Ganda yang kini tersenyum penuh kemenangan bak setan. Namun, tangan Sadam kembali ke sisi tubuhnya begitu Raya berbalik sambil menyilangkan tangan di depan dada.
“Oh… kayak gitu biasa aja, ya? Aku nggak pernah sih sampe ditungguin nonton konser gitu. Ditungguin bimbingan aja GAK PERNAH.”
Pandangan Sadam melunak saat menatap mata Raya yang berkilat-kilat. “Abang kan kerja Neng… Biar bisa ngumpulin duit buat ngelamar kamu. Nggak gabut kayak dulu…. Dulu mah masih pengangguran….”
“Alesan aja.” Tampak jelas emosi di wajah Raya tidak mereda. Sadam mulai kehilangan harapan membujuk Raya kembali ke kosan malam ini. “Aku gak mau balik. Mau di sini. S-E-M-I-N-G-G-U.”
Sadam mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan — furstrasi campur stress — saat Raya mencampakannya begitu saja kembali ke kamar. Berbanding terbalik dengan Sadam, wajah Ganda justru tertawa menikmati penderitaan yang dialami Sadam.
“Mang enak,” ucap Ganda seraya menenggak susu yang tadi tak sempat diminumnya.
— tbc.