[Kembaliannya Mana] — SuperSadam to The Rescue

soljaecruise
4 min readAug 10, 2024

--

Raya mendorong pintu kaca fotokopian Juragan di depannya pelan. Seperti yang ia duga, ada Sadam di sana, sedang memakan semangkok bubur sambil berbicara dengan dua orang pria yang Raya kenali sebagai penjaga fotokopian lainnya. Mereka mengobrol akrab dan heboh, sampai-sampai Sadam tak sadar kalau Raya sudah berdiri di depan etalase sambil mengeluarkan buku catatannya.

Tama yang lebih dulu melihat Raya buru-buru memberi isyarat kepada Sadam, tetapi yang diberi kode tidak juga sadar dan malah asik melanjutkan makan.

“Apa sih, Tam? Layanin dulu, gue makan dulu ini sebentar. Lapar banget tadi nyangkul kebon bareng babeh dulu sebelum ke sini.”

Raya bisa mendengar ucapan Sadam di tempatnya berdiri. Ia melirik sekilas sebelum kembali pura-pura sibuk memilah halaman yang ingin digandakan. Dalam hatinya sedikit gondok karena diabaikan oleh ketiga penjaga fotokopian.

Pepet berdecak seraya geleng kepala, akhirnya berbalik badan dan melihat Raya yang wajahnya sudah mulai tertekuk. Ia pun terkejut dan buru-buru menggebuk punggung Sadam hingga bubur yang hendak disuapkan ke mulut Sadam tersembur ke wajah Tama.

“Apaan sih lu, Nyet? Kasar amat. Mubazir kan makanan gue kebuang!” omel Sadam kesal. Ia pun segera bangkit dari kursinya dan mencari tisu. Tepat saat ia memutar tubuh, ia menemukan Raya yang sudah nyaris pergi dari fotokopian karena tak kunjung di layani.

Sadam berjalan setengah berlari mendekat ke etalase dan menarik tas Raya yang ada di atas etalase kaca, mencegah perempuan itu pergi.

“Kok gak ngabarin mau ke sini?” tanya Sadam.

Raya melirik Sadam sinis. “Sejak kapan mau datang ke fotokopian aja harus reservasi dulu?”

“Oh… kirain mau ketemu gue,” jawab Sadam cengengesan. Ia menoleh kepada Tama dan Pepet yang sedang berdecak seraya menggeleng melihat kelakuan Sadam. Dengan lirik maut, Sadam memerintah Pepet dan Tama untuk pergi dan mengerjakan tugas mereka sebagaimana direncakan tadi, sebelum Raya Datang, yaitu menyiapkan stok kertas dan alat tulis lainnya yang akan dikirim ke pelanggan mereka.

“Udah makan?” tanya Sadam lagi sambil memperhatikan Raya mengeluarkan kembali buku catatannya dari tas. “Nanti mau makan sama Uta.”

“Nanti aslam lagi. Gue temenin makan, ayo.”

Satu alis Raya menukik mendengar perkataan Sadam. Ia pun melempar tatapannya ke mangkuk bubur yang ditinggalkan Sadam. “Lo kan lagi makan? Lahap banget lagi makannya. Sayang tuh nanti mubazir bubur kalo gak dihabisin.”

“Makan lagi juga masih sanggup gue. Laper banget abis nguli tadi.” Sadam menunduk agar bisa melihat wajah Raya yang juga sedang menunduk memperhatikan kembali buku catatannya dengan serius. “Mau, ya?”

Raya tak menanggapi Sadam dan malah menyodorkan buku catatannya. “Tolong fotokopi A4, bolak-balik.”

“Capek dong?” ucap Sadam lagi, mengulang candaan lawasnya yang dulu tak berhasil menghibur Raya, pun sekarang juga masih sama. Raya hanya menarik napas lelah seraya menatap Sadam galak. “Buruan,” ketusnya.

Senyum di wajah Sadam lenyap. Bibirnya tertekuk ke bawah. Ia membawa buku catatan Raya dan melakukan permintaan perempuan tersebut. Selagi melakukan tugasnya, Sadam bisa mendengar Raya berbicara di telepon, sepertinya dengan teman kampusnya.

“SERIUSAN?” Sadam terkejut mendengar pekikan Raya. Ia memutar tubuh, melihat wajah Raya tiba-tiba berubah panik.

Ketika Sadam selesai dengan pekerjaannya dan hendak menghampiri Raya, ia melihat perempuan itu hampir saja pergi meninggalkan pesanannya.

“Eeh — mau ke mana?” tanya Sadam ikutan panik, berusaha mencegah Raya pergi.

Raya menatap Sadam, seakan baru sadar dan buru-buru kembali mendekat ke etalase. Ia mengeluarkan uang seratus ribu Rupiah dari dompetnya dan menyerahkan uangnya kepada Sadam. Namun, Sadam hanya bergeming menatap uang tersebut.

“Uangnya kegedean?” tanya Raya bingung. “Ambil aja, kembaliannya gampang nanti.”

“Ini bukan masalah duit,” ucap Sadam sedih. “Kok lo main pergi aja sih? Nggak pamit?”

Kening Raya otomatis mengerut mendengar ucapan Sadam. “Assalamualaikum?”

“Waalaikumsalam,” jawab Sadam masih tetap sedih, “tapi bukan itu maksudnya.”

Raya mengembuskan napas kesal. “Bang, gue buru-buru nih mau bimbingan. Gak ada waktu buat bercanda. Ini ambil cepetan duitnyaa. Kembaliannya nanti aja.”

“Gausah bayar,” ucap Sadam. “Lo mau gue anter?” tawar Sadam. “Nungguin bus kampus kadang lama, penuh lagi. Kalo jalan capek, lebih capek dari fotokopi bolak-balik.”

Raya memutar bola matanya, ia merapikan lembaran kertas pemberian Sadam dan memasukannya ke tas. “Terus bubur lo gimana?”

“Biar nanti dimasukin kulkas,” jawabnya. “Tunggu di depan, gue ambil kunci motor dulu.”

Raya menatap punggung Sadam yang menghilang di balik pintu bertuliskan, “Dilarang Masuk Selain Pegawai” dengan tatapan bingung. Seingatnya, iya belum bilang setuju, tetapi pria itu sudah punya asumsi sendiri.

Tak lama, Sadam keluar dan berjalan ke parkiran dengan tergesa-gesa. Dengan lihai, tubuh jangkung pria itu mengeluarkan motornya dari parkiran yang lumayan sempit sehingga Raya berpikir, mungkin Sadam juga punya bakat jadi tukang parkir.

Sadam membunyikan klakson, memberi isyarat kepada Raya untuk segera naik ke motor bebek matic hitamnya. “Ayo, neng. Katanya buru-buru?”

Sekarang bukan hanya juru parkir, setelah melihat Sadam menggunakan helm hitam standar bawaan pabrik motor, ia jadi berpikir pria itu juga cocok menjadi tukang ojek.

Tapi… mana ada tukang ojek se-glowing ini kulitnya? pikir Raya dalam perjalanan melalui gerbang kampus yang cukup padat dengan kendaraan-kendaraan lainnya. Ujung tangan Raya meremas ujung kaus putih Sadam agar ia tidak terjatuh saat Sadam mengerem mendadak.

“Bang, yang bener sih bawa motornya,” omel Raya.

“Iya ini motor depan ngerem mendadak. Makanya pegangannya yang bener. Peluk aja gausah ragu-ragu, kalo cuma ujung kaos mah yang ada bikin melar kaos doang, neng.”

Raya otomatis memukul punggung Sadam yang lebar. “Modus lo, ya.” Raya bisa merasakan punggung Sadam bergetar karena tawa. “Orang perhatian masih aja dituduh-tuduh.”

Raya mencibir, enggan menanggapi Sadam lagi hingga akhirnya mereka tiba di depan gedung fakultas Raya. Perempuan itu lekas turun.

“Makasih ya. Makasih banget deh, udah nolongin.”

Sadam mengangguk. “Mau ditungguin?”

“Ngapain? Gak usah lah.” Raya seakan teringat sesuatu. Ia pun memutar pandangannya ke sekitar mereka, berharap tidak ada temannya yang melihat ia turun dari motor Sadam.

“Kenapa? Malu, ya?” tanya Sadam terang-terangan. “Santai aja. Bilang aja dianter ojek.”

Raya menatap Sadam, merasa bersalah karena Sadam berhasil menebak pikirannya. “Udah lo balik gih, nanti bubur lo keburu berair.”

“Yah, bukan cuma bubur gue yang berair, nih lo liat mata gue.”

Raya menunuk tak berani menatap Sadam. “Gue duluan, ya.” Ia pun segera meninggalkan Sadam masuk ke dalam gedung perkuliahan, sementara Sadam masih menatap Raya sampai sosok gadis itu hilang, masuk ke dalam lift.

— tbc

--

--

No responses yet