[Kembaliannya Mana?] — Support System
Usai memastikan Raya diperbolehkan rawat jalan, Sadam membopong tubuh Raya masuk ke mobilnya yang sudah menunggu di lobi rumah sakit. Dengan hati-hati Sadam memindahkan tubuh wanita mungil itu dari kursi roda ke kursi penumpang depan.
Saat mengemudi, Sadam pun jauh lebih hati-hati. Ia melajukan mobil dengan pelan sehigga perjalanan terasa sangat panjang di tengah kesunyian antara Sadam dan Raya.
Karena tak betah, akhirnya Raya melirik Sadam, melihat mimik lelaki itu tampak serius. “Lo masih kesel, ya?”
Sadam menoleh sesaat, melihat kondisi Raya. “Sori ya, gue nggak nepatin janji dateng ke Juragan,” Raya menarik napas panjang merasa bersalah. “Lo nggak nungguin gue, kan?”
Sadam menarik tuas rem tangan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. “Nungguin,” balas Sadam. Ia kembali menatap Raya yang juga balas menatapnya. “Gue minta Pepet beliin ketoprak juga biar sekalian makan siang bareng.”
Sadam menarik tangan kanannya bersandar pada belakang sandaran jok kepalanya. Tubuhnya berputar kembali menghadap depan untuk memeriksa berapa detik lagi ia harus menekan pedal gas.
“Taunya malah ke rumah sakit bareng,” sungut Sadam.
“Maaf ya, jadi ngerepotin.” Suara Raya terdengar lesu.
Sadam kembali menoleh. “Minta maaf mulu kamu. Kayak lagi lebaran.”
Raya mendongak cepat melihat Sadam. Keduanya bertatapan selama beberapa detik sebelum Sadam meralat kalimatnya.
“Minta maap mulu… lo,” ucap Sadam pelan. “Yang harusnya minta maaf kan si curut tadi.”
Tiba-tiba suara klakson bertebaran di belakang mereka. Sadam buru-buru kembali fokus pada kemudinya dan melajukan mobil saat sadar lampu lalu lintas telah berganti hijau selama beberapa detik.
Raya diam, masih sedikit kaget mendengar gaya bicara Sadam yang sedikit berbeda barusan. Terdengar sedikit lebih… manis? Raya menaruh tangannya di kedua pipi, memastikan apakah suhu tubuhnya naik sebagai reaksi terhadap sikap Sadam atau memang karena pantulan sinar matahari merebusnya dari kaca depan mobil.
Menyadari Raya yang mendadak bisu, Sadam berpikir keras membuka kembali obrolan. “Gi… Gimana skripsinya?”
Raya berdeham. “Udah dapat judul… Udah di-acc… Lagi proses. All good sih.” Raya menganggut-anggut sambil memaksakan seulas senyum. “Fotokopian lo gimana, Bang?”
“Yah… Alhamdulillah rame.” Sadam melongokkan kepalanya ke kaca depan mobil, merasa gagal membangun percakapan yang menarik. “Kayaknya mau hujan, ya?”
Raya ikut melirik ke langit di depannya. “Itu asep orang bakar sampah, Bang.”
“Oh…” Sadam menoleh, melihat Raya kembali. Keduanya langsung membuang muka saat tatapan mereka bertemu. “AC-nya kurang dingin, ya?”
“Enggak kok.”
“Sori, ya,” ucap Sadam lagi.
“Kenapa, Bang?”
“Sok akrab banget tadi manggil ‘kamu’.”
“Emang selama ini nggak?” sahut Raya. Keduanya pun memaksakan seulas tawa.
Untuk beberapa menit selanjutnya, keduanya diam untuk menikmati lagu yang mengalun di radio. Mata Raya tertuju pada kelihaian tangan Sadam memutar kemudi hingga akhirnya Sadam kembali bersuara.
“Nanti gue anter makan malam ke tempat lo, ya,” ucap Sadam lagi ketika mereka hampir sampai di kosan Raya.
Raya tersadar dari lamunannya. Lagi-lagi wajahnya terasa panas setelah tertangkap basah memperhatikan Sadam — meski hanya bagian tangannya saja.
“Ngapain?”
“Kaki lo kan sakit?”
“Kan bisa pesen lewat kurir?”
“Gue aja kurirnya,” tembak Sadam cepat. “Gue juga bisa jadi sopir antar-jemput. Kalo mau ke mana-mana bilang aja.”
“Jangan. Lo kan sibuk juga di Juragan.”
“Ini tanggung jawab gue sebagai kakaknya Kimi. Tadi kan lo keseruduk fans-nya sampe ngegelinding di tangga.”
“Nggak gelinding juga ya, Bang. Cuma kepelitek,” sanggah Raya yang langsung dibalas Sadam dengan, “Sama aja. Intinya, gue mau tanggung jawab sebagai pihak Kimi.”
“Ooh…,” sahut Raya sedikit kecewa. Ternyata cuma sebagai tanggung jawab… “Tapi kayaknya tetep nggak perlu deh, Bang.”
“Kenapa?” tanya Sadam tak setuju. Keningnya berkerut menatap Raya begitu mobil Sadam berhenti tepat di depan gerbang kosan berwarna cokelat yang sudah familiar bagi si pengusaha fotokopian tersebut.
Raya menarik napas, menatap pemandangan gedung kosan di depannya sebelum kembali balas menatap Sadam. “Gue nggak mau lo salah paham, tapi ada baiknya gue ngomong di awal.”
“Kalo lo berharap bisa ngambil hati gue dengan segala sikap baik lo ini, mending lo simpen aja tenaga lo. Gue nggak bisa.”
Tubuh Sadam terasa diguyur air es begitu mendengar kata-kata telak Raya. Tak menyangka suasana di dalam mobilnya yang masih damai beberapa menit lalu mendadak berubah sedingin es di Kutub.
“Nggak bisa apa?” tanya Sadam bingung.
“Gue nggak bisa nerimanya karena gue nggaka akan pernah bisa bales perasaan lo.”
Sadam bergeming di tempatnya. Untuk pertama kalinya setelah mengenal Raya beberapa minggu dan secara ugal-ugalan menunjukkan ketertarikannya kepada wanita itu, Sadam dan Raya berbicara secara serius mengenai apa yang terjadi di antara mereka.
“Cita-cita gue masih jauh. Masih banyak yang pengen gue kejar.”
“Emang apa cita-cita lo?” Sadam penasaran.
“Jadi orang sukses…?” Nada suara Raya terdengar ragu, bahkan di telinga Raya sekalipun.
“Orang sukses itu menurut lo yang kayak gimana?” Berbeda dengan Raya yang tampak tidak yakin, Sadam justru terdengar lantang dengan setiap pertanyaannya.
“…..”
“Kok diem?”
“Kok lo kayak dosen penguji skripsi, sih?” protes Raya.
Tatapan Sadam mendadak melunak melihat tensi di wajah Raya mulai naik.
“Gue bantuin lo tulus. Gak berharap apa-apa,” jelas Sadam, “Ya berharap, sih. Namanya juga manusia. Tapi gue nggak mungkin biarin lo berjuang sendiri dengan kondisi begini.”
Sadam menunjuk kaki Raya yang dibalut perban dan masih bengkak.
“Nggak apa-apa kalau lo nggak bisa nerima perasaan gue. Gue udah cukup seneng jadi support system lo. Paling nggak sampe lo lulus sarjana,” lanjut Sadam pelan yang berhasil menggetarkan perasaan Raya detik itu juga.
Hati Raya terasa mencelus. Jantungnya berdebar lebih kencang sementara pandangannya terkunci pada bola mata gelap Sadam.
“Jadi, jangan berjuang sendiri. Banyak yang peduli sama lo. Paling nggak, lo boleh ngandelin gue.”
— tbc.