[Kembaliannya Mana?] — Tempat Bersejarah
Raya tengah duduk di bawah pohon rindang. Mengamati air danau yang tenang sambil menyuil sedikit demi sedikit roti tawar isi selai coklat yang disiapkan ibunya ke dalam mulut. Karena terburu-buru, Raya tak sempat sarapan di rumah.
Pandangan Raya kosong. Kalau bukan karena sudah terlanjur janji kepada Uta, Raya mungkin memilih tetap bergelung di balik selimutnya sampai siang. Sialnya, yang minta ditemani datang ke reuni — Uta — malah meninggalkannya, mengingatkan Raya pada acara reuni beberapa tahun silam. Bedanya, waktu itu Raya tidak ditinggal sendirian. Ada seseorang yang menemaninya, yang namanya sampai sekarang belum berani Raya sebut.
Raya menarik napas. Jam di tangannya menunjukkan pukul 9.30 pagi. Suasana sekitarnya ramai dengan prang-prang dengan pakaian berwarna kuning-putih — seragam para peserta lomba maraton — saling berbicara dengan satu sama lain. Hanya Raya yang terdiam, duduk sendiri menunggu Uta menjemputnya. Pasalnya, Raya juga sudah janji akan mengantar Uta pulang karena batal menjemputnya tadi pagi. Semacam penebusan dosa.
Raya menanti dengan sabar. Aneh rasanya di antara banyak wajah manusia di sekitarnya, tidak ada satupun yang ia kenal. Kebanyakan temannya mungkin berkumpul di fakultas mereka dulu.
Raya bersenandung pelan, mengamati bangunan perpustakaan di belakangnya. Tempat yang paling sering ia kunjungi selain gedung perkulihannya sendiri. Banyak kenangan di sini yang Raya ingat. Sudut bibirnya terangkat, mengingat masa-masa di mana akan selalu ada orang yang menunggunya di depan pintu perpustakaan ketika Raya ingin pulang. Sosok yang sudah lama tidak Raya lihat, dan sejujurnya, ketika datang ke reuni hari ini, Raya sempat memikirkan bagaimana jika… mereka bertemu kembali?
Raya terkekeh, menertawakan skenario pertemuan dalam kepalanya tersebut yang sama sekali tidak terjadi. Acara reuni sebentar lagi selesai. Begitu Uta datang, Raya akan segera pulang.
“RAY!”
Kepala Raya berputar cepat mencari sumber suara teriakan yang meski terdengar jauh, namun tetap bisa Raya dengar. Raya bangkit berdiri dan melambaikan tangan saat melihat Kimi berjalan setengah berlari menghampirinya. Tubuh mungil Kimi langsung memeluk tubuh Raya yang sama mungilnya dengan erat.
“Gue kangen banget sama lo!”
Raya balas mengusap-usap punggung Kimi. “Gue jugaa. Ah, ya ampun. Kalo tau lo dateng, gue bawain sekalian oleh-oleh yang buat lo!”
Kimi melepaskan pelukannya. “Kok lo makin cakep aja sih? Hawa NY emang beda, ya?”
Raya tertawa. “Lo harusnya ngomong gitu ke diri lo sendiri. Gimana? Makin sibuk ya sekarang? Gue kemarin liat iklan lo di tv! Keren banget!”
“Hehe… thanks. Eh, bentar.”
Kimi mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku celana. Ia segera menempelkan benda pipih tersebut ke telinga seraya melirik Raya sebelum berbicara.
“Halo? Iya?”
Raya mengedarkan pandangannya, tak berniat menguping percakapan Kimi.
“Gue di sini, danau depan perpus. Lo di mana? Nih, gue angkat tangan.”
Kimi memutar tubuhnya berhadapan persis dengan Raya. Tangannya terangkat tinggi-tinggi sambil melambai. Entah siapa yang Kimi beri isyarat, namun seseorang itu sepertinya sudah ketemu dan berdiri tak jauh di belakang Raya, di tengah kerumunan peserta maraton.
“BANG!”
Tarikan nafas Raya sesaat terhenti mendengar Kimi meneriakan panggilan tersebut. Raya bisa mendengar suara langkah kaki mendekati mereka. Dengan cepat Raya memutar tubuh.
Di sanalah ia berdiri, sosok pria jangkung yang familiar sekaligus asing. Terasa dekat tapi juga jauh. Sosok yang membuat Raya seketika merasa senang sekaligus sedih.
Pandangan mereka bertemu. Nampak keduanya terkejut, sama sekali tak menyangka akan benar-benar bertemu secara kebetulan.
“Raya,” panggil Sadam lirih dengan suara bergetar.
Tangannya hampir saja menyambar lengan Raya, ingin memeluk perempuan itu erat. Namun, tubuh Sadam seakan tak bisa bergerak. Kakinya seperti dipaku di tanah dengan paku beton.
Ia berkali-kali harus mengingatkan dirinya sendiri, perempuan itu — Raya — bukan lagi miliknya. Dan mungkin…, malah milik orang lain sekarang.
Sudut-sudut bibir Raya tertarik ke atas perlahan, menampilkan senyum simpul yang mencetak jelas lesung pipit di kedua pipinya. Perasaan rindu, senang, sekaligus sedih mengaduk-aduk emosi Raya. Percuma saja ia pergi bertahun-tahun, kalau hanya mendengar namanya keluar dari bibir lelaki itu saja sudah membuat Raya kembali uring-uringan. Panggilan yang Raya tunggu, tiga tahun lalu, di bandara, pada malam ia akan berangkat ke kota yang tak pernah tidur, New York.
“Hai, Bang Sadam.”
Di belakang Sadam dan Raya, Kimi memperhatikan keduanya sambil tersenyum bahagia. Hari ini, misinya berhasil.
— tbc.