[Kembaliannya Mana?] — Tumpah Ruah

soljaecruise
4 min readSep 8, 2024

--

Raya duduk di seberang Sadam. Diam mematung saat Sadam sibuk memesan makanan di kasir. Ia menunggu dalam diam, meski hatinya gelisah. Kepala Raya terasa pening karena hanya tidur beberapa jam.

Sebenarnya Raya sudah terbangun sejak pukul delapan pagi, tetapi sengaja membiarkan Sadam menunggu nyaris dua jam. Ia butuh bersiap, menghadapi apapun penjelasan yang akan diterimanya dari mulut Sadam. Jujur saja, Raya sudah tidak lagi merasakan amarah yang menggebu-gebu. Setelah lebih dari sebulan berusaha memendam sendirian, tidak ada lagi marah, kobaran api telah menghanguskan perasaannya menjadi debu. Yang tersisa hanyalah kekecewaan mendalam yang coba Raya kubur, di pemakaman dalam pikirannya sendiri.

Perasaannya campur aduk. Orang bilang, hubungan jarak jauh itu banyak sekali ujiannya. Tapi dalam kasus Raya, ternyata sebelum LDR-pun sudah ada pretest-nya.

Raya terperangah dari lamunan begitu Sadam menaruh sarapan mereka di atas meja. Sebenarnya Raya bingung, untuk makan saja, kenapa Sadam harus membawanya jauh-jauh ke kafe tempat mereka pertama kali makan bersama?

“Bubur, Yang,” Sadam menyodorkan mangkuk bubur milik Raya yang Raya terima dengan tatapan kosong.

Waktunya kurang dari tiga minggu. Kalau masalah ini masih terus berlarut, Raya tidak yakin bakal lolos pretest LDR.

“Mau disuapin?” Sadam menatap Raya intens, tetapi yang ditatap justru menggeleng. Raya menyambar sendok buburnya dan mengaduk-aduk butiran nasi halus di dalam mangkuk.

“”Gina cerita apa sama kamu, Yang?” tembak Sadam, tak sabar ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.

Raya memandang mangkuk bubur di hadapannya tak berminat. Kepulan asap menguap dari sana, sedikit menghalangi pandangan Raya ketika melirik Sadam.

“Kamu… dulu pernah bilang, bakal nungguin Gina?”

Sadam terdiam, sedikit terkejut. Bola matanya berputar, mencoba mengingat-ingat kenangan beberapa tahun silam. Kembali pada masa di mana ia masih seorang pria lugu dan naif, yang berharap akan tiba suatu saat di mana penantiannya berakhir dan perjuangannya terbayar.

“Itu sebelum aku nerima undangan pernikahan Gina dan Riko, Yang.”

“Jawab pernah atau enggak,” kecam Raya.

Sadam menunduk lesu. “Pernah.”

Raya mengangguk, menarik napas berusaha mengendalikan perasaannya yang kini kembali bergejolak.

“Kamu pernah nyium dia?”

Mata Sadam kembali melirik Raya cepat — kaget, tak menyangka mendapatkan pertanyaan seterang-terangan itu.

Mulut Sadam terbuka separuh sebelum kembali mengatup, tampak jelas panik. Bicaranya pun jadi terbata-bata. “Gina bilang gitu?”

“Kamu pernah nyium dia atau enggak?” ulang Raya dengan nada lebih ditekan. Mata Raya nyalang menatap Sadam. Yang ditatap tampak grogi dan serba salah.

“Yang, dengerin dulu — ”

“AKU TANYA, SADAM JANUAR,” sergah Raya nyaris meraung. “DID YOU KISS HER?

Sadam terdiam, termenung menatap Raya, membeku ditempatnya. Peluru yang dilemparkan pandanan Raya menusuk tepat ke jantung Sadam.

“Aku berharap bisa jawab enggak…,” ucap Sadam pelan dan lemah. “but I did.

DUAR. Raya bisa merasakan sesuatu meledak dalam dirinya. Menyadari semua yang diucapkan Gina adalah fakta yang dikonfirmasi langsung oleh Sadam.

Raya is dead. All my butterflies are dead.

Raya menarik napas, berusaha menahan air matanya yang mulai menumpuk namun tak kunjung juga mengalir. Dia kehilangan kata-kata. Tak tahu harus bicara apa.

Raya memilih tak menanggapi dan mulai menyendokkan bubur ke mulutnya. Panasnya bubur yang melepuhkan lidah Raya tampak tidak seberapa ketimang panasnya hati Raya mendengar pengakuan Sadam.

“Yang….” Sadam meraih tangan Raya. Raya tidak menepisnya karena tubuhnya lemas, ia tak lagi punya tenaga untuk berdebat.

Raya menerima kekalahannya. Kalah dari ekspektasinya sendiri terhadap Sadam yang ia kira… tidak akan pernah mengecewakannya sedalam ini.

“Yang, plis ngomong sesuatu…,” rengek Sadam. Sadam rela kalau Raya mengomelinya tujuh hari tujuh malam, atau menggebukinya sekalian, asalkan Raya masih mau bicara dengannya, bukannya diam dan bersikap tenang seperti sekarang.

“Kamu mau denger aku ngomong apa?” tanya Raya saat Sadam mengentikan gerakan tangan Raya yang hendak menyendokkan bubur ke mulutnya.

“Apapun, Yang. Kamu mau ngamuk-ngamuk juga aku terima. Kamu mau aku kemping depan rumah kamu sebulan pun aku jabanin. Tapi tolong… jangan diem aja, Yang. Aku takut.”

“Takut apa?” tanya Raya menantang. DItanya seperti itu, rasa panik Sadam semakin menjadi-jadi. “Yang, please… kurang dari tiga minggu lagi kamu pergi. Jangan kayak gini….”

“Aku nggak ngapa-ngapain.”

“Justru karena kamu nggak ngapa-ngapain. Aku takut.” Sadam menggeser kursinya mendekati Raya. “Aku minta maaf.”

“Minta maaf untuk apa? Kamu nggak salah, kok. Itu masa lalu kamu.”

“Terus kenapa kamu diem aja, Yang?”

“Karena sekarang aku tau, hubungan kamu dan Gina itu bukan hubungan dekat biasa kayak yang pernah kamu bilang ke aku. Dan aku… juga bukan orang yang pernah dapat perlakukan paling spesial dari kamu. It was her. Bahkan tanpa perlu jadi pacar kamu, Sadam.”

Raya tersenyum pahit. “Aku benci ngakuin ini, tapi aku kalah.”

“Yang, nggak ada yang lagi lomba. Apa sih kalah-kalah. Aku kan sekarang sama kamu.” Tangan Sadam mulai mencengkeram lengan Raya erat, takut perempuan itu tiba-tiba pergi meninggalkannya.

“Aku bukan kalah dari Gina. Aku nggak sudi saingan sama dia.” Tangan Raya melepaskan cengkraman Sadam yang mengendur perlahan, seiring tatapan nanar pria itu. Jelas Raya bisa melihat, betapa kalutnya Sadam dan matanya yang mulai berair.

“Aku kalah dari kamu. Kamu berhasil bikin aku percaya sama setiap kata-kata kamu, bahkan tentang Gina sekalipun.”

“Yang….”

Raya menaruh sendoknya kembali di sebelah mangkuk bubur yang isinya hampir tak tersentuh. Raya memaksakan seulas senyum di bibirnya, meski jelas tampak pahit.

“Pulang, yuk. Aku masih harus beresin barang-barangku buat dibawa pergi.”

Sadam langsung memeluk Raya saat perempuan itu berdiri dari kursinya. Tangisannya pecah di pundak Raya. “Yang, maafin aku, Yang… Aku bukannya nggak mau cerita atau nutup-nutupin, tapi emang itu udah nggak penting lagi, Yang….”

Raya balas mengusap-usap punggung Sadam. “Iya, aku percaya, kok….”

Bukannya mereda, tangisan Sadam justru semakin menjadi mendengar jawaban balasan Raya.

tbc.

--

--

No responses yet