[Kembaliannya Mana?] — Yang Terjadi Hari Itu
Raya duduk canggung di sebelah Sadam yang sedang menyalakan mesin mobil. Pandangannya meneliti interior mobil Sadam, tidak ada yang berubah. Sudah sangat lama Raya tidak duduk di sini, ia terkejut mengetahui bahkan ia juga merindukan aroma mobil Sadam yang lembut sekaligus menenangkan.
“Yang, seatbelt.”
“Hm?”
Alis Raya naik begitu mendengar kata-kata Sadam. Namun sebelum sempat ia mencernanya, tubuh Sadam sudah lebih dulu condong ke arahnya, menarik tali sabuk pengaman dan memasangkannya untuk Raya. Raya otomatis menahan nafas saat jarak wajah mereka hanya tersisa beberapa senti. Tak lama, Sadam kembali duduk tegak di kursinya.
“Kamu manggil aku apa, tadi?” ulang Raya setelah bisa mengatur napasnya kembali.
Sadam tampak berpikir sejenak sebelum cengengesan. “Sori, refleks.”
Raya memutar bola matanya. Pandangannya sekuat tenaga ia edarkan ke seluruh penjuru mobil, ke manapun, selain ke Sadam yang fokus menyetir, siap menyambut jalanan kota Jakarta yang padat pada jam sibuk.
Ketika mobil Sadam berhenti karena terjebak kemacetan mengular, tangan Sadam terulur ke belakang. Ia menyambar sebuah jaket dan memberikannya kepada Raya.
“Kalo masih ngantuk tidur aja. Ini paket jaket, dingin. Di luar mendung.”
Raya tak tahu kenapa ia menuruti perkataan Sadam. Raya menerima jaket pemberian Sadam dan merentangkannya tepat di atas pahanya.
“Kamu mau ngapain ke Bali?” Raya mencoba membuka percakapan.
“Awal tahun ini Babeh buka cabang restoran di sana. Sekarang masih proses pembangunan. Tapi karena Babeh udah gak sanggup pergi jauh-jauh, jadi aku yang diminta tolong cek ke sana.”
“Babeh kenapa gak bisa pergi jauh?” tanya Raya penasaran.
“Asam urat, mulai akut,” jawab Sadam sambil tersenyum getir. “Udah beberapa tahun sebenernya, dari pas kamu pergi.”
Otomatis kepala Raya menoleh ke arah Sadam. Ia menunggu Sadam melanjutkan kalimatnya.
“Itu makanya kenapa aku nggak bisa nepatin janji nyusul kamu ke sana. Karena Babeh nggak bisa ditinggal. Selain karena aku tau kamu udah punya pacar bule di sana.”
Raya melihat raut muka Sadam mendadak kesal. “Ganda sialan,” makinya.
Raya memelototi Sadam. “Kenapa kamu marahin Kak Ganda?”
“Ya karena dia nipu aku lah! Bikin aku mikir yang enggak-enggak aja. Sampe aku mau mukbang ayam geprek. Untung keburu ditoyor Pepet.” Wajah Sadam tampak penuh emosi, jelas tidak bercanda akan hal itu. “Untung kamu bilang, kamu nggak beneran pacaran sama bule.”
“Ya emang nggak,” potong Raya. “Emang bukan bule.”
“Maksudnya?” tanya Sadam tak tak mengerti. Kepalanya mendadak sulit mencerna perkataan semudah itu.
“Pacar aku bukan bule,” ucap Raya gamblang.
Tangan Sadam refleks menekan tombol klakson dengan kencang karena terkejut sekaligus marah. Di tengah kemacetan yang tak bergerak, sungguh aneh dan mengesalkan bagi para pengemudi lain mendengar suara klakson yang begitu kencang dari mobil Sadam.
Sadam memutar tubuhnya sehingga lurus menatap Raya. “Jadi, kamu beneran punya pacar?”
Raya balas menatap Sadam dengan wajah tenang dan satu alis terangkat. “Kenapa?”
“Kamu kan belom putus dari aku??” ucap Sadam tak terima yang dijawab Raya dengan tawa sinis.
“Heh, istri yang gak dinafkahi 3 bulan berturut-turut aja udah berhak ngajuin gugatan cerai. Apalagi kita yang cuma pacaran dan gak berkomunikasi selama 3 tahun?” Raya memelototi Sadam galak. “Sekalian menjawab pertanyaan kamu. Enggak. Aku udah bukan pacar kamu.”
Air muka Sadam yang semula marah mendadak mencair, berubah pucat dan mendung. Air matanya siap turun seperti hujan di langit yang ribut dengan gemuruh halilintar.
“Yang….” Sadam mulai merengek. Tangannya terulur hendak menyentuh tangan Raya, tetapi Raya sudah lebih dulu menyilangkan tangannya di depan dada, menolak disentuh Sadam.
“Kok bisa kamu punya pacar di sana, Yang?? Siapa, Yang?? Putusin aja… huee….”
Raya mengembuskan napas lelah melihat mata Sadam yang mulai berair. “Udah lah, Bang. Nangis terus kayak anak kecil. Usia kamu udah kepala tiga!”
“Yang… maafin aku, Yang… Waktu itu… hiks… hiks… Waktu itu Gina sekarat, Yang. Aku nggak mungkin nggak nolongin, Yang… Aku mau langsung nyusul kamu abis itu… tapi babeh sakit, Yang… Aku mau hubungin kamu, nggak bisa… Kamu gak bolehin orang-orang ngasih tau aku nomor kamu… hiks… hiks….”
Karena Sadam mengungkit kembali masalah kealpaannya hadir di bandara tiga tahun lalu, Raya jadi teringat sesuatu. Ia belum mendengar cerita sebenarnya tentang malam itu.
“Gimana kondisi Gina sekarang?”
“Waktu itu… hiks… tulang lengannya patah. Aku nungguin… sampe keluarganya dateng dari Banten… hiks… hiks… Sekarang aku nggak tau, Yang… Aku udah nggak ada apa-apa sama Gina, Yang… beneran… Udah aku blok, Yang….”
“Berhenti manggil aku, Yang.” Raya geregetan kesal melihat Sadam. Tapi bukannya berhenti, rengekan Sadam justru makin menjadi.
“YANGGG….” Akhirnya Raya hanya bisa pasrah. Ia mendiamkan Sadam sampai tangisnya reda sendiri begitu mereka sampai di gedung tempat calon Raya bekerja.
Wajah Sadam masih cemberut waktu Raya hendak turun. “Yang, nanti malem aku jemput, ya?”
“Aku kan interview nggak selama itu? Lagian, kamu kan mau ke Bali?”
“Aku sebentar aja di sana, Yang. Sore udah terbang balik lagi ke sini. Kamu main aja dulu deket sini, nanti aku jemput, Yang.”
“Stop call me ‘Yang’, Sadam Januar,” Raya kembali memperingati dengan galak.
Sadam yang tadinya mau mendorong tubuhnya, refleks, hendak memberikan ciuman perpisahan di pipi Raya langsung beringsut mundur ketika Raya mengacungkan jari telunjuk ke depan wajahnya.
Dengan begitu, Raya turun dari mobil Sadam dengan langkah mengentak, terburu-buru memasuki bangunan pencakar langit di hadapannya. Sementara, Sadam terenyak di mobilnya. Bingung apakah sebaiknya ia tidak pergi ke Bali sama sekali?
— tbc.