[Mau Nikah?] — Arti Sepotong Bakwan Jagung
Tidak disangka, tidak bisa ditebak. Mata Abi membelalak kala melihat taksi alphard hitam berhenti di depan lobi kantor — persis di depan tempatnya berdiri. Abi tidak akan pernah tahu itulah taksi jemputannya yang dikatakan Kendra kalau saja pintu mobil — yang belum pernah Abi naiki seumur hidup itu— tidak tiba-tiba saja terbuka dan menampilkan sosok Kendra di kursi penumpang dalam. Tak berapa lama, sang sopir taksi juga turun, lalu dengan senyum lebar menyapa Abi ramah, mempersilakan gadis itu masuk.
Abi tersenyum meringis seraya mendelik sebal kepada Kendra. Siapa yang bakal percaya seorang pegawai biasa sepertinya — yang jelas pulang-pergi ke kantor saja naik bus transportasi umum — mampu memesan taksi premium sekelas burung perak di tengah rintik hujan yang makin deras dan membuat tarif taksi naik berkali-kali lipat?
Abi menggeram kesal, tapi mau menyalahkan Kendra pun juga bingung. Mungkin memang ini layanan taksi yang biasa pria itu nikmati. Detik itu Abi baru sadar, betapa jomplangnya status sosial dan gaya hidup mereka. Namun di momen yang sama juga Abi merasa, dengan berbagai fasilitas mewah yang pria itu miliki selama ini, Kendra mau mengantar Abi pulang ke rumah menggunakan Transjakarta adalah sebuah pengorbanan dan perjuangan yang patut dihargai. Rasa geramnya terhadap Kendra agaknya sedikit berkurang.
Sedikit, kalau saja momen itu tidak diperburuk dengan kemunculan mobil Indri persis di belakang taksi burung perak yang hendak Abi naiki.
Belum sempat Abi melangkahkan satu kakinya masuk ke mobil, sosok Marco keluar dari pintu penumpang depan mobil Indri, dengan tergopoh-gopoh membukakan pintu untuk atasannya. Indri — dengan tas tangan mewah dan tablet di tangan — keluar. Raut wajahnya dingin. Tatapannya bertubrukkan dengan tatapan Abi yang kini hanya bisa mematung dengan tubuh menegang, takut ketahuan. Mau menutup pintu taksi, masalahnya Abi tak mengerti bagaimana caranya.
Abi cepat-cepat mengangguk dan merapatkan tangan, bibirnya tersenyum sopan sebelum menyapa sekaligus berpamitan kepada Indri.
“Sore, Bu. Saya izin pulang lebih dulu karena ada keperluan mendesak.”
Indri bahkan tidak mau repot-repot menjawab. Ia hanya melengos dengan tatapan dingin yang tak berubah. Tetapi, Abi sadar, bosnya itu juga sempat melirik taksi yang hendak Abi tumpangi dengan satu alis terangkat sebelum meninggalkan Abi dengan perasaan terguncang karena sapaan penuh sopan santunnya diabaikan sama sekali.
Untungnya, dari posisi Indri berdiri, ia tidak bisa melihat bahwa ada penumpang lain di dalam yang tengah menunggu Abi dengan rasa bingung dan penasaran: siapa yang disapa Abi dan kenapa perempuan itu tak kunjung masuk?
Sambil mengikuti langkah atasannya memasuki gedung kantor, Marco juga sempat menatap Abi penasaran, mulutnya bergerak mengajukan pertanyaan tanpa suara kepada juniornya tersebut, “Mau ke mana?”
Namun, kondisi Abi yang tidak baik-baik saja membuat perempuan itu tak bisa merespons dengan benar. Abi hanya memaksakan senyum seraya menggeleng, seakan memberi isyarat bahwa ia akan menjelaskannya nanti. Baru setelah itu, Abi masuk ke mobil, duduk di sebelah Kendra dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu nyapa siapa tadi?” tanya Kendra penasaran. Begitu menyadari wajah Abi yang merah-padam dan matanya yang berair, Kendra seketika diserang rasa panik.
“Ke — Kenapa?”
Kendra buru-buru meraih sapu tangan di balik saku jasnya dan memberikannya kepada Abi.
“Kenapa sih… Bapak harus jemput pakai taksi mewah begini?” ucap Abi lesu dan frustrasi sambil sesenggukan. “Pasti Bu Indri makin nggak suka sama saya yang terkesan banyak gaya dan borjuis….”
Abi tahu, ini bukan salah Kendra. Ia hanya melemparkan kekesalannya dan menjadikan pria itu sebagai samsak dari rasa emosinya yang tak tersalurkan kepada Indri. Tetapi, Abi tidak bisa menahannya sendiri. Ia benar-benar tak mengerti apa yang membuat Indri begitu tak menyukainya hingga Abi harus kehilangan pekerjaan yang ia impikan selama ini: menjadi pegawai di salah satu perusahaan sebesar SMFood.
Namun begitu, Kendra dengan sabar tetap meminta maaf. “Aduh, maaf, Abi. Sa — Saya kira, Bu Indri sudah tiba di kantor sejak tadi.”
Abi melirik sapu tangan yang masih bertahan dalam uluran tangan Kendra. Ia lalu mengembuskan napas pasrah, dan menerima niat baik Kendra tersebut. Abi memalingkan wajah ke jendela seraya menghapus air matanya dengan rasa bersalah, malu sudah mengomeli Kendra atas kekacauan perasaan Abi sendiri.
Suasana tak kondusif setelah pertengkaran kecil Abi dan Kendra membuat keduanya hanya terdiam nyaris sepanjang perjalanan. Abi lebih memilih memandang rintik hujan di luar, melihat anak-anak kecil — hingga usia remaja — dengan tubuh basah kuyup memayungi para pekerja kantoran yang hendak menuju halte. Anak-anak itu bergerak lincah, berlarian melalui trotoar tanpa alas kaki. Setiap selesai mengantarkan satu penumpang, mereka berlari gesit menghampiri penumpang lainnya.
Perasaan Abi seperti diaduk-aduk kembali ketika menyadari perbedaan luar biasa yang ia lihat dari pemandangan di luar dengan situasinya saat ini; Abi bisa duduk nyaman, tanpa merasa khawatir kehujanan. Entah kenapa rasa nyaman seperti ini justru asing baginya, Abi merasa lebih layak melalui apa yang terjadi di luar — seperti kehidupannya biasanya. Diam-diam, Abi bertanya-tanya, apa yang ada di benak para orang kaya itu ketika melihat pemandangan seperti ini di depan mereka? Apa ada sedikit rasa gelisah… seperti yang Abi rasakan?
“K — Kamu masih marah, ya?”
Lamunan Abi buyar ketika mendengar suara Kendra. Ia menoleh, mendapati Kendra tengah memperhatikannya — entah sudah berapa lama. Pria itu tampak sedikit resah.
Abi tersenyum masam seraya menggeleng pelan. Perasaan kesalnya kini sudah berganti dengan rasa iba yang sejak tadi mengusik nuraninya.
“Maaf ya, Pak. Saya numpahin kekesalan saya ke Bapak. Lagipula, kalau dipikir-pikir lagi, ngapain saya masih mikirin apa pendapat Bu Indri? Saya kan udah dipecat.”
Meski sedikit merasa lega mendengar permintaan maaf dan penjelasan Abi, Kendra tetap tak berani menanggapi, takut salah bicara. Ia hanya diam, ikut menatap pemandangan di luar jendela Abi.
“Kita mau makan di mana, Pak?”
Kendra menoleh kepada Abi kembali. “Ada, di resto langganan keluarga saya.” Ia lalu tersenyum samar, mengingat ini adalah kencan pertama mereka — kalau masuk hitungan. “Te — Tenang, ruangannya privat, kok. Nggak bakal ada yang liat kita,” ucap Kendra berusaha meyakinkan. Abi hanya mengangguk sebelum kembali melemparkan tatapannya ke luar jendela.
Sesampainya di restoran yang dimaksud Kendra, Abi celingkukan. Lagi-lagi, ia dibuat tak bisa berkata-kata karena dibawa oleh Kendra ke sebuah restoran mewah, sementara Abi merasa pakaiannya tak cukup pantas. Ia seharusnya tidak datang hanya dengan kemeja putih berbalut vest rajut serta celana kantor yang ia beli grosiran di Tanah Abang. Jauh terbanting dengan penampilan Kendra — yang seperti biasa, rapi, elegan — dan meski tak terlihat mereknya — sudah pasti mahal — atau paling tidak, pasti hasil jahitan para desainer kondang.
Ketika seorang pramusaji datang menuangkan air mineral ke gelasnya, Abi memajukan tubuh, berbisik kepada Kendra.
“Pak, tau gitu saya pulang dulu, ganti baju di rumah. Ya, walaupun baju saya nggak ada yang mewah juga sih… tapi, seenggaknya, saya bisa pakai setelan yang lebih formal.”
Mengikuti cara Abi, Kendra pun ikut menarik kursi dan tubuhnya maju agar bisa mendengar suara Abi dengan jelas.
“Nggak apa-apa, kok.” Kendra menatap Abi sebentar, “baju kamu baik-baik aja. Nilai kerapian seratus.” Ia kemudian tersenyum lebar seraya mengacungkan jempol kepada Abi sebelum keduanya kembali duduk tegak di posisi masing-masing.
Kok beliau ini bisa-bisanya malah ngasih penilaian di saat-saat begini? Sungut Abi setelah mendengar tanggapan Kendra yang membuatnya kehabisan akal.
Tak lama, hidangan pembuka mereka datang; sepiring bakwan jagung berukuran kecil-kecil yang kalau digabungkan sekalipun, masih lebih besar ukuran bakwan jagung yang biasa dibuat ibunya Abi. Abi menggeleng-geleng begitu mengingat berapa harga kudapan di hadapannya ketika melihat buku menu tadi; nyaris setara dengan anggaran makannya sehari.
Orang kaya ternyata makan bakwan jagung juga, ya? Batin Abi. Matanya menatap terpukau gerakan tangan luwes Kendra memindahkan satu buah bakwan mini ke piringnya dengan menggunakan pisau dan garpu. Dengan gerakan isyarat mata, Kendra melihat Abi yang sudah ikutan memegang pisau dan garpu di masing-masing tangan kanan dan kirinya, mempersilakan Abi untuk memakan hidangan yang sudah tersedia. Namun, melihat cara Kendra memakan secuil bakwan jagung seolah sedang memotong steak seharga lima juta, Abi mendadak jadi ragu.
“Pak, sopan nggak kalau saya makan bakwannya langsung pakai tangan aja?”
Kendra buru-buru mengangguk. Ia lalu menaruh garpu dan pisaunya di sisi piring makannya sendiri, dan ikut memakan sisa bakwan jagung miliknya dengan tangan, mengikuti langkah Abi.
Abi tersenyum kecil, merasa dihargai karena tindakan Kendra tersebut membuat Abi merasa perbedaan status mereka nyaris tak kasatmata. Kendra tak berusaha mempertahankan predikat “kelompok kelas atasnya” di depan Abi, ia mau menanggalkan tata krama yang ia pahami selama ini agar mereka bisa menikmati makan malam itu dengan lebih nyaman dan akrab.
“Suka makanannya?” tanya Kendra girang melihat Abi melahap makanannya dengan semangat.
Abi mengangguk. “Sejujurnya, saya belum sempat makan dari siang karena sibuk nyiapin makan siang Bu Indri.” Sudut bibir Abi sedikit tertekuk ke bawah, “Bu Indri minta dibelikan pizza yang lagi viral itu, Pak. Saya ngantri dua jam. Balik-balik, langsung disuruh ikut rapat hehe….”
Abi mencuil sebulir jagung dan memakannya perlahan sambil menerima tatapan iba Kendra. Bukannya menanggapi cerita Abi, pria itu malah menusuk sisa bakwan terakhir di piring dengan garpu, lalu menaruhnya ke piring Abi.
“Habisin aja, saya nggak terlalu lapar sebenarnya. Cuma mau makan sama kamu aja,” ucap Kendra sedikit berbohong.
Sebenarnya, ia juga belum makan siang. Lunch meeting-nya tiba-tiba saja batal karena Indri mendadak ada agenda di luar. Kendra hanya sempat memakan sisa buah yang ia simpan di kulkas ruangan HRD karena tiba-tiba saja diminta menemani Pandu ke kolam koi tepat ketika Calvin datang, ingin mengajak Kendra pergi ke kafe di seberang kantor.
Abi memandang bakwan pemberian Kendra dengan mata berbinar. “Beneran boleh saya makan, Pak?”
Kendra tersenyum, lalu mengangguk. Ia pura-pura meminum air — untuk mengganjal perutnya yang masih lapar selagi menunggu hidangan utama mereka datang. Meski begitu, Kendra merasa senang bisa melihat Abi menghabiskan bakwannya dengan tenang dan terlihat sangat menikmati bossanova jawa yang mengalun pelan dan menggaung di seluruh penjuru restoran.
Kendra berdeham pelan setelah hidangan utama mereka datang. Sambil melihat Abi menikmati semangkuk sop buntutnya dengan khidmat, Kendra menanyakan pertanyaan yang sudah ia simpan beberapa hari ini.
“Mi — Minggu ini kamu sibuk nggak, Abi?”
“Kenapa, Pak?”
Kendra menunduk, kebingungan mengutarakan pertanyaannya. “Um… Papski — M — Maksud saya, Papa saya ngundang kamu datang ke acara pelantikan beliau di istana negara.”
Mata Abi mengerjap cepat. “Kapan?”
“Akhir bulan depan, sepertinya.”
“Terus, kenapa nanya sibuk atau nggaknya minggu ini?” tanya Abi bingung. Keningnya mengerut meski tangannya masih sibuk memotong daging di piring.
Kendra yang tadi lapar kini merasa nafsu makannya perlahan kembali menghilang, digantikan rasa cemas yang mulai menggulung.
“Anu… itu… mau diajak ketemu desainer buat jahit kebaya, biar seragaman sama Mama dan kakak ipar saya.”
Abi berhenti makan sejenak. Sepertinya percakapan ini tidak bisa dilanjutkan sambil melakukan kegiatan lain, mengingat, ada penjelasan serius yang harus ia dapatkan.
“Tapi, kenapa saya diundang di acara sepenting ini, Pak?”
Kendra tampak semakin gelagapan. “Soalnya kamu kan ca — calon istri saya, calon anggota keluarga kami. Momen pelantikan ini jarang terjadi, jadi menurut Papski — Papa, sebaiknya kamu ikut biar bisa sekalian fo — foto keluarga.”
Kendra menelan ludah berat usai menyampaikan kalimat panjangnya yang kini membuat Abi termenung. Napasnya terasa lebih cepat sekarang.
“Tapi gimana… kalau saya nggak jadi anggota keluarga Bapak? Bukannya… momen spesial ini… malah jadi rusak nantinya?” tanya Abi hati-hati, takut melukai perasaan Kendra meski memang, itulah yang terjadi sekarang. Hati Kendra terasa menciut setelah mendengar perkataan Abi.
“Ke — Kenapa? Saya kan udah ketemu orang tua kamu, meski belum melamar,” ucap Kendra dengan nada sedikit bergetar yang membuat Abi bimbang seketika.
Momen ketika Kendra datang memperkenalkan diri sebagai “pasangan” Abi kepada Basuki dan Mustika memang sedikit memberi keyakinan kepada Abi akan keseriusan pria tersebut. Namun, Abi rasa, masih terlalu cepat untuk menghapus seluruh keraguan yang ia miliki. Abi masih butuh waktu untuk berpikir, sedikit lagi. Sedikit lagi saja.
“Kasih saya waktu sampai besok ya, Pak?” ucap Abi Akhirnya.
Tidak ada yang bisa Kendra lakukan selain mengangguk pasrah. Ia kira, setelah berkenalan dengan orang tua Abi dan mendapatkan sambutan baik di keluarga perempuan itu, hubungannya dengan Abi akan langsung membaik. Ternyata, nasibnya masih saja digantung.
Dengan usaha terakhir malam ini, ketika Kendra berdiri di depan pagar rumah Abi saat mengantar gadis itu pulang, ia kembali bertanya,
“Gimana caranya biar kamu mau nerima saya?” tanya Kendra frustrasi.
Abi menghela napas sebelum beranjak masuk rumah. “Pak — “
Kendra ikutan menghela napas, ia lalu menunduk, tak ingin menunjukkan wajah murungnya kepada Abi.
“Ma — Maaf, saya nggak maksud menekan kamu, tapi — “
“Kita omongin lagi nanti, ya?” ucap Abi tenang. “Sekarang udah malam. Nggak enak kalau diliat tetangga.” Kendra mengangguk pelan, masih enggan menunjukkan wajahnya kepada Abi.
“Makasih ya, sudah ngajak saya makan. Goodnight, Mas Kendra,” ucap Abi yang langsung berhasil membuat Kendra menengadah, perasaannya sedikit membaik melihat Abi tersenyum manis kepadanya.
“Ma — Malam, Abi.”
— tbc.