[Mau Nikah?] — Calon Menantu Keluarga Adinata
Wangi dan elegan. Itu kesan pertama yang Abi dapatkan ketika pertama kali masuk ke mobil Kendra. Kedua deskripsi itu tidak hanya cocok untuk mobilnya yang tampak rapi dengan desain interior serbahitam, tetapi juga penampilan Kendra hari ini. Meski hanya dalam balutan celana jeans terang dan kemeja putih yang dibalut vest rajut biru gelap, “aura konglomerat” Kendra sepertinya memang tidak bisa lepas, selalu menempel seperti jati diri pria itu.
Perbedaan mencolok antara Abi dan Kendra juga tampak jelas ketika tadi Abi hampir saja salah masuk. Ia sudah sempat berjalan menuju pintu penumpang depan tanpa mengetahui bahwa Kendra ternyata sudah membukakan pintu penumpang belakang untuknya. Abi sempat melongo. Dikiranya ia akan duduk sendirian di belakang layaknya majikan, namun ternyata hari ini Kendra memang tidak menyetir mobilnya sendiri, ia didampingi oleh sopir keluarganya.
Waktu Abi tanya apa alasan Kendra tidak mengemudikan mobilnya sendiri, pria itu hanya menjawab agar bisa lebih leluasa mengobrol dengan Abi, jawaban yang sebenarnya membuat Abi sedikit heran. Emangnya kalau nyetir mobil sendiri terus nggak bisa ngobrol gitu? Bukannya kalau ada orang lain malah jadi nggak bebas ngomongin hal-hal sensitif kayak… hubungan kita yang baru sebesar tunas toge ini?
Namun itu belum seberapa. Abi makin dibuat terheran-heran ketika setelah setengah jam berada di mobil Kendra, pria itupun hanya diam saja, sama sekali tak mengajak Abi mengobrol atau setidaknya berinisiatif sedikit menceritakan soal keluarganya yang akan Abi temui. Abi hanya melihat Kendra memalingkan tatapan ke luar jendela, seakan pemandangan di luar lebih menarik daripada Abi sendiri. Agaknya, Abi sedikit merasa tersinggung karena diabaikan.
Tak tahu saja Abi sesungguhnya Kendra sedang gugup dan berpikir keras bagaimana caranya memulai pembicaraan yang lebih akrab dengan “calon istrinya” tersebut. Sebenarnya Kendra berkali-kali melirik tangan Abi yang polos, menimbang-nimbang apakah sopan sekiranya ia meminta izin agar boleh menggenggam tangan Abi di depan keluarganya nanti. Namun ketika pikiran Kendra masih sibuk dipenuhi dengan pertimbangan tersebut, Abi sudah keburu buka suara.
“Pak?”
Kendra berhenti mengusap dagunya bimbang dan buru-buru menoleh. “I — Iya, Abi?”
“Keluarga Bapak tuh kayak gimana?” Pandangan Abi turun, melihat tangan Kendra yang kini tergeletak di atas paha lelaki tersebut sebelum kembali menatap wajah pria tersebut.
“Ya… kayak keluarga pada umumnya,” jawab Kendra seraya berdeham. Bola matanya mengarah ke langit-langit mobil. “Ada Papa, Mama, sama Kakak dan Kakak ipar saya.” Kendra menganggut-anggut sambil tersenyum simpul. “Oh, tahun ini saya juga bakal punya ponakan pertama,” tambahnya yang tetap saja membuat Abi melongo mendengar jawaban Kendra.
Bukan cerita semacam ini yang Abi harapkan. Kendra malah terlihat seperti anak usia lima tahun yang diminta menceritakan jumlah anggota keluarganya.
Abi tersenyum seraya meringis. “Oh… ya sama, Pak. Saya juga punya ayah sama ibu, tapi nggak punya saudara kandung lain.”
Kendra menganggut-anggut. “Saya tahu. Saya lihat di database pegawai kamu.”
Abi ikutan mengangguk, lalu keduanya kembali terdiam. Sepanjang perjalanan hingga mobil Kendra memasuki pekarangan rumahnya yang luas, keduanya tak lagi berbicara. Abi pasrah dengan nasibnya. Kalaupun ia nanti akan dicecar dengan berbagai pertanyaan dan berakhir tak direstui, Abi akan menerimanya. Toh sejak awal, hubungan ini memang hanyalah sebuah peruntungan.
Abi menatap takjub bangunan besar di hadapannya ketika turun dari mobil. Hanya sesaat. Setelahnya, Kendra langsung menggiring Abi masuk ke dalam bangunan besar itu yang isi di dalamnya semakin membuat Abi tak bisa berkata-kata. Lantai marmer yang licin mengilat, pilar-pilar rumah dengan ukiran rumit, langit-langit rumah yang tak bisa dijangkau dengan sembarang tangga, juga hiasan-hiasan dinding yang Abi taksir nyaris seharga sawah ayahnya — semua membuat Abi membisu, seakan dinding-dinding dalam rumah ini pun bisa berbicara dan siap mencemooh Abi.
Abi mengatupkan bibir rapat-rapat dan hanya bisa tersenyum kala kedatangannya disambut oleh seorang perempuan paruh baya dengan siluet rahang dan mata mirip dengan Kendra — Abi tebak, pasti ibunya — juga seorang perempuan tampak berusia beberapa tahun lebih tua darinya dengan kondisi perut membesar, serta seorang pria dengan tubuh hampir setinggi Kendra yang pernah Abi lihat dalam unggahan foto keluarga Langgeng Adinata di laman media sosial pejabat publik tersebut. Mamanya, Kakaknya, dan Kakak Ipar Kendra sudah hadir di sini. Hanya ayahnya saja yang belum Abi lihat.
Titiek Sari — Mamanya Kendra — mempersilakan Abi duduk. Wajahnya tampak semringah, terkesan dengan penampilan Abi yang rapi dan gesturnya yang tertata, terlihat tidak sembrono, persis seperti calon menantu yang Titiek harapkan. Namun, segala penilaian baik Titek terhadap paras dan sikap Abi perlahan luntur ketika ia memulai sesi interogasi berkedok obrolan santainya. Setelah meminta Kendra dan Rendi mengecek mobilnya — yang sesungguhnya baik-baik saja, Titek mulai mengajukan satu per satu pertanyaan mengenai latar belakang Abi.
“Sudah berapa lama kenal Kendra?”
Abi sengaja mengulas senyum lebih lebar di bibirnya sebelum menjawab, “Kalau kenalnya sudah lama, Bu. Dari awal saya masuk kantor, lima tahun yang lalu.”
Titiek mengangguk-angguk. “Kendra tiba-tiba saja cerita mau mengenalkan calon istrinya, saya dan Papanya kaget, soalnya anak ini memang tertutup. Kalian… akrab, kan?”
Abi hanya mengangguk singkat seraya melirik Nadira yang duduk di sebelahnya dengan anggun, menatap Abi dengan senyum ramah. “Lumayan akrab.”
“Jadi… kamu teman sekantornya Kendra, ya? Di bagian apa, Abi?” Titiek melanjutkan kembali kata-katanya.
“Saya sekretaris dari Direktur Utama, Bu. Sejak awal masuk kebetulan belum pernah ganti posisi.”
“Dulu kuliah di mana? Kok bisa sampai bekerja di perusahaan ini?” Cecar Titiek.
“Dulu saya kuliah di Universitas Dharma Bangsa, Bu.”
“Di mana ya, itu?” sela Titiek begitu saja.
“Di daerah Jakarta Barat, dekat rumah saya, Bu.”
“Oh…,” Titek bergumam dengan nada sedikit kecewa, merasa asing sama sekali dengan nama kampus tempat Abi menempuh pendidikan tinggi. Tiba-tiba saja Titiek mengulurkan tangan menunjuk Dira yang sedang menyesap teh yang disuguhkan di meja sejak awal kedatangan Abi.
“Kalau Mbak Dira ini lulusan dari UGM pas sarjananya. Lalu, lanjut pendidikan master di Australia, di Melbourne University. Kamu belum lanjut S2, Abi?”
Abi menggeleng seraya tetap memaksa senyum di wajahnya agar tidak pudar hingga akhir pembicaraan. “Belum, Bu. Kebetulan karena jam kerja saya cukup padat, jadi belum sempat melanjutkan pendidikan lagi.”
Abi kembali melihat Titiek menganggut-anggut, seperti tengah menilai jawaban Abi. Sorot matanya kini memandang Abi dengan cara yang berbeda, tidak semeringah seperti di awal kedatangannya. Rasa percaya diri Abi semakin lama pun semakin menciut.
“Kalau orang tua sibuk apa sekarang? Ada bisnis?” sambung Titiek tanpa memedulikan lagi span santun dari pertanyaan-pertanyaannya. Ini adalah masa depan Kendra, masa depan keluarganya, Titek harus menggali dalam sebelum bisa menerima Abi menjadi menantunya.
Abi menarik napas, mengisi lumbung kesabaran dalam dirinya yang sadar betul bahwa ini adalah pertanyaan paling menentukan apakah ia layak menjadi menantu dari keluarga Adinata.
“Ayah saya pensiunan guru, Bu. Sementara, Ibu saya ada bisnis kecil-kecilan, kadang menerima pesanan katering untuk acara,” jelas Abi dengan tenang. Ia sudah benar-benar pasrah sekarang dan ingin menyampaikan siapa dirinya apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi atau dilebih-lebihkan.
Setelah mendengar jawaban Abi, raut wajah Titiek jelas kecewa. Kesan baik yang ia berikan terhadap Abi di awal menghilang entah ke mana. Yang jelas, sekarang, Titiek tidak akan membiarkan Kendra menikah dengan Abi. Titek harus menyadarkan Kendra bahwa masih banyak perempuan yang lebih layak dijadikan menantu keluarga Adinata. Titiek sampai tak habis pikir bagaimana Kendra lebih memilih sosok Abi ketika sudah banyak perempuan “berkelas” yang Titiek coba kenalkan kepada putra bungsunya tersebut.
Tepat ketika Titiek tengah berpikir bagaimana cara meyakinkan Kendra, kedua putranya yang tadi ia beri perintah untuk mengecek mobil baru milik perempuan tersebut datang bersamaan. Rendi langsung mengambil tempat duduk persis di sebelah istrinya, sementara Kendra duduk di kursi sebelah Abi.
“Nggak ada apa-apa kok, Ma. Mobilnya baik-baik aja,” jelas Kendra yang setelah itu langsung menatap Abi, mencoba mencaritahu kondisi calon istrinya setelah ditinggal beberapa saat. Kendra tahu, ibunya pasti sudah sempat mengajak bicara. Namun dari raut Abi yang tenang, jujur saja Kendra tidak bisa menebak apakah pembicaraan mereka berjalan lancar atau tidak.
“Iya, tadi di-test drive juga aman-aman aja,” tambah Rendi. “Kalau nggak, minta Pak Dadang bawa ke bengkel aja buat dicek, Ma.”
Titiek hanya menggeleng. “Nggak usah. Mama percaya sama kalian. Kalau bermasalah lagi, ganti aja yang baru.”
Selanjutnya, Titiek tak lagi mengajak Abi bicara dan memilih sibuk mengobrol dengan Nadira dan Rendi, memastikan Rendi memenuhi asupan gizi istrinya dengan baik karena anak dalam kandungan Nadira akan jadi cucu pertama dari keluarga Langgeng Adinata. Sementara itu, Kendra dan Abi bertatapan. Keduanya tidak berbicara, hanya mengirimkan simpati melalui sorot mata masing-masing.
Ketika Kendra melihat Abi mengangguk, seakan ingin menyampaikan bahwa ia baik-baik saja, perasaan Kendra mendadak terasa muram. Seharusnya, ia tidak pergi dan menemani Abi saja di sini. Biar Mas Rendi saja yang pergi memeriksa mobil ibunya.
Kendra mengepalkan tangan, hampir saja refleks ingin menggenggam tangan Abi ketika tiba-tiba saja suara derap langkah menggema di seantero ruangan. Langgeng Adinata muncul dengan ponsel menempel di telinga bersama seorang lelaki bertubuh tegap di belakangnya — mungkin ajudannya, pikir Abi. Berkali-kali Abi melihat Langgeng Adinata mengangguk, lalu tak berapa lama memberikan kode kepada sang pria di belakangnya, memerintahkan agar tas kerja dan dokumen-dokumen pentingnya disimpan di ruang kerja. Tanpa menunggu satu kedipan mata, sang ajudan menurut lalu melangkah cepat menuju bagian dalam rumah sambil mengangguk meminta izin kepada Titiek.
Selama lima menit, seluruh keluarga Adinata hanya duduk terdiam di ruang tamu, menunggu Langgeng menyelesaikan panggilan pentingnya.
“Pak Menko, ini sudah saya tugaskan kepada tim untuk diperiksa, nanti segera saya follow up dan saya minta tim saya secepatnya kirim hasilnya ke tim Pak Menko agar bisa segera ditindaklanjuti. Kira-kira begitu, Pak. Matur nuwun.”
Langgeng Adinata menghela napas sambil menaruh ponselnya ke saku celana. Di akhir pekan seperti inipun, ia masih harus bekerja karena ada arahan penting dari Presiden dan terpaksa hadir terlambat pada acara kumpul keluarga yang sudah ia janjikan kepada putra bungsunya, Kendra.
Langgeng berkacak pinggang seraya tersenyum lebar. “Sori, Papa terlambat. Jadi, mana tamu spesial kita?”
Langgeng menatap satu per satu anggota keluarganya. Tak lama, ia menemukan watu paras ayu yang asing, duduk dengan tenang persis di sebelah Kendra. Tampak jelas di mata Langgeng bagaimana sang putra bungsu mencoba bersikap protektif terhadap “teman perempuan spesial” yang pertama kali ia perkenalkan kepada keluarganya tersebut dari cara duduk Kendra yang sedikit memblokir tubuh Abi.
Langgeng menatap Abi dengan senyum ramah. “Oh ini, satu-satunya perempuan yang berhasil menawan hati anak bungsu Papa?”
Abi melirik Kendra tersipu sebelum bangkit berdiri menyambut uluran tangan Langgeng. “Abi, Om — eh, Pak.”
Langgeng mengambil tempat duduk di sebelah istrinya. “Pantas kamu nggak mau dijodohin, Ken. Pacarmu cantik begini.”
Abi kembali terkekeh sementara Kendra berdeham salah tingkah. Keduanya sekilas bertatapan sebelum kembali membuang muka saking salah tingkahnya menjadi pusat perhatian keluarga Kendra.
Kemudian, tiba-tiba saja Titiek buka suara setelah menuangkan teh dari teko keramik ke cangkir untuk suaminya.
“Iya, Pap. Tadi Mama sudah sempat ngobrol-ngobrol. Abi ini anaknya sangat sederhana, begitu juga dengan keluarganya. Abi cerita katanya setelah lulus sarjana langsung sibuk bekerja dan belum sempat lanjut pendidikan master. Tadi apa nama kampus kamu ya, Abi?”
Titiek melirik dengan senyum sinis.
“Universitas Dharma Bangsa, Bu.” Abi mengangguk pelan sambil mencoba menjaga nada suaranya agar tetap terdengar penuh percaya diri.
“Iya, itu, Pap. Mama sih belum pernah dengar, tapi kalau sampai Abi bisa masuk di perusahaan yang sama dengan Kendra, mungkin almamaternya bagus.”
Langgeng mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan sang istri dengan mimik wajah serius, sementara Kendra sendiri terlihat dari ujung mata Abi tengah mengepalkan tangan, seperti sedang menahan emosi.
“Abi ini pegawai paling rajin di kantor, Ma. Prestasinya banyak, temannya juga karena Abi ini orangnya baik dan ceria. Dia langganan dapat penghargaan sebagai pegawai teladan. Jadi, almamater pun belum pasti menentukan kualitas seseorang. Abi jelas orang yang punya dedikasi tinggi,” jelas Kendra sedikit terlalu berapi-api membuat Titiek menatap putranya tidak senang.
“ Ya itu kan… hal yang wajar?” kilah Titiek mencoba mempertahankan penilaiannya terhadap Abi. Akan tetapi, ketegangan antara Titiek dan Kendra seketika padam ketika Langgeng mengambil alih pembicaraan.
“Kamu sudah berapa lama dekat dengan Kendra, Abi?”
“Belum terlalu lama, Pak,” aku Abi jujur.
“Tapi sudah yakin mau nikah? Tau kan anak saya ini pemalu luar biasa. Makanya susah sekali disuruh kenalan sama perempuan. Hebat kamu bisa naklukin si Kendra,” puji Langgeng bangga yang membuat Abi terkekeh pelan seraya melirik Kendra yang kini balas melirik Abi tersipu, malu karena rahasianya dibocorkan sang ayah.
“Kk — Kendra duluan kok yang dekatin Abi, Pap!” seru Kendra tak terima.
“Ya memang lelaki itu seharusnya begitu, Kendra. Papa senang kamu akhirnya bawa perempuan ke rumah. Papa sudah khawatir kalau kamu nggak mau nikah dan sibuk saja sama pekerjaanmu itu.”
Langgeng tersenyum melihat putra bungsunya bersungut-sungut seperti anak kecil di depan calon istrinya sendiri yang jelas tampak lebih bijaksana.
“Jadi, kapan mau nikahnya?”
Mendengar pertanyaan to the point Langgeng, Kendra dan Abi sama-sama terdiam. Keduanya hanya saling pandang dalam waktu cukup lama.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah Abi, pertanyaan Langgeng mengenai rencana pernikahan Kendra dan Abi pun belum mencapai mufakat. Kendra sudah memberi penjelasan bahwa ia akan menemui orang tua Abi lebih dulu sebelum menetukan tanggal pernikahan. Ketika Langgeng menyampaikan bahwa ia siap kapanpun untuk diminta datang dan melamar Abi, Kendra tahu, ibunya sudah tak berkutik karena apapun pendapat Titiek, yang terpenting tetaplah persetujuan Langgeng. Titiek tidak pernah berani membangkang keputusan suaminya.
Meski begitu, tetap saja Abi masih merasa ada yang mengganjal. Ia merasa perlu memastikan sesuatu kepada Kendra.
“Maaf, Pak, tapi kayaknya Mamanya Bapak kurang suka sama saya, ya?”
Kendra otomatis berhenti menatap jalanan dan melemparkan tatapan permohonan maaf kepada Abi. “Tolong maafin aja ya, Abi. Mama saya memang begitu orangnya.”
Abi mengangguk. “Tapi… memang Bapak beneran yakin mau nikah sama saya yang sangat biasa-biasa aja ini?” Abi menunduk, tersenyum getir. “Keluarga saya memang nggak melarat, tapi jelas bukan keluarga serbaada. Keluarga kami hanya berkecukupan aja untuk sekadar hidup. Nggak ada latar belakang menjanjikan. Selain itu…, saya juga cuma lulusan dari kampus biasa.”
“Saya bisa terima, Abi,” ucap Kendra yakin sebelum Abi mengucapkan lebih banyak fakta tentnag dirinya yang Kendra tahu hanya akan semakin menunjukkan jurang lebar di antara mereka. “Saya justru takut kamu yang nggak bisa nerima keluarga saya yang rumit dan Mama saya yang banyak aturan.”
Wajah Kendra seketika kembali muram, ingat bagaimana sikap Titiek kepada Abi tadi. Kalau bukan karena ada Langgeng yang ikut mengantar Abi sampai masuk ke mobil, Titiek mungkin akan lebih memilih berdiam diri di ruang keluarga sambil menonton serial tv kesukaannya sambil menyulam sarung tangan mungil untuk cucu pertama keluarga Adinata.
Melihat perubahan ekspresi di wajah Kendra, Abi perlahan tersenyum, lalu terkekeh untuk mencairkan suasana yang sempat kelabu di dalam mobil.
“Tenang aja, Pak. Saya udah khatam kok menghadapi Bu Indri. Semoga saya diberi kekuatan jadi menantu di keluarga Bapak.”
Senyum Kendra merekah kembali mendengar nada ceria di suara Abi.
“Makasih udah belain saya di depan keluarga Bapak tadi,” ucap Abi tulus sebelum mobil Kendra berhenti tepat di depan pagar rumahnya yang sudah lapuk.
“Sama-sama, Abi. Makasih, sudah mau jadi calon menantu di keluarga saya.”
Abi mengangguk. Sebelum membuka pintu mobil, ia sempat tersenyum simpul sambil menatap Kendra.
“Sampai ketemu lagi ya, Mas Kendra.”
Begitu pintu mobil ditutup, Kendra hanya bisa terdiam mematung, persis seperti habis disambar petir.
M — Mas Kendra???
— tbc.