[Mau Nikah?] — Calon Menantu Kesayangan Ayah

soljaecruise
7 min readJan 19, 2025

--

Abi mulai merasa familiar dengan ruangan Kendra. Setelah bolak-balik berkunjung beberapa waktu terakhir, ia sedikit hafal benda-benda apa saja yang ada di dalamnya. Semuanya tertata rapi, terkesan formal, sangat menggambarkan sang penghuni ruangan yang kaku.

Dari buku-buku yang dipajang, orang akan langsung tahu sang pemilik ruangan pasti sosok yang cerdas dan senang belajar. Koleksinya jauh dari buku-buku yang biasa Abi baca; novel dan komik. Untuk satu seri buku yang sama, Kendra bisa memiliki beragam versi hingga cetakan yang paling baru — hal itu lagi-lagi menunjukkan sebuah privilese yang tak dimiliki sembarang orang; kemampuan untuk membeli buku-buku yang sama dan bahkan tak memiliki perbedaan terlalu signifikan.

Menurut Abi, hanya orang kebanyakan uang yang akan melakukan hal tersebut. Calon suaminya, contohnya.

Tentu rasanya tidak adil kalau hanya menilai seseorang dari koleksi bukunya. Abi kini menatap pajangan di kabinet sebelah lemari buku Kendra yang penuh diisi oleh koleksi piagam dan plakat penghargaan — bukti bahwa kerja keras yang selama ini Kendra lakukan membuahkan hasil.

Namun, deretan prestasi di depan mata saja ternyata tidak cukup untuk membuat seseorang tampil bersinar sebagai pimpinan level menengah di perusahaan ini, begitu juga di keluarga Kendra. Sebetulnya, Abi juga tidak paham apa batasan sukses dalam keluarga Adinata. Tapi jelas, kalau orang seperti Kendra saja dianggap belum mencapai batasan tersebut, pantas saja Bu Titiek memperlakukan Abi seperti keset kotor di musim penghujan; layak diinjak-injak.

Tiba-tiba saja Abi mengembuskan napas, persis ketika Kendra masih menjelaskan panjang-lebar mengenai rencana digitalisasi dokumen persuratan yang akan meringankan beban pekerjaan para sekretaris. Tindakan Abi otomatis mengundang perhatian rekan-rekannya yang lain, termasuk juga Kendra yang sedari tadi sebenarnya penasaran apa yang membuat Abi lebih memilih menatap seisi ruangannya dibandingkan dirinya sendiri.

Apakah Kendra terlihat tidak semenarik itu di mata calon istrinya sendiri?

“Ada yang mau disampaikan, Abi?”

Kendra mengetuk bagian meja di depan Abi, meminta perhatiannya. Kalau sedang mode serius bekerja begini, Kendra nggak akan segan menegur — walau tetap sopan, sekalipun Abi adalah calon istrinya sendiri. Kendra selalu ingat budaya perusahaan: profesionalitas harus diutamakan.

Abi tampak kelabakan, ia balas menatap Tina dan Marco yang kini juga penasaran melihat Abi sejak tadi tak fokus pada penjelasan Kendra, bukan seperti Abi yang biasanya. Meski memang topik pembahasan mereka sekarang tidak akan berguna untuk Abi ke depannya — toh, beberapa hari lagi ia juga akan segera angkat kaki dari perusahaan ini — tetap saja, ada sopan santun yang seharusnya dijaga. Biar bagaiamanapun, Kendra masih tetap atasan Abi.

“Kamu sakit?” Pertanyaan Kendra membuat Abi menoleh kembali pada pria tersebut sebelum menunduk lalu menggeleng.

Tidak ada alasan lain yang membuat Abi tak mau melayangkan pandangannya pada wajah Kendra selain karena ia merasa malu. Abi tak bisa menahan pikirannya sendiri yang mulai mengingkari keyakinannya selama ini; pria seperti Kendra mana mungkin memiliki pasangan biasa-biasa saja. Siapa sangka, Abi sendirilah yang pada akhirnya mematahkan asumsi tersebut.

“Maaf, Pak. Tadi hidung saya agak mampet,” bohong Abi, “silakan dilanjutkan.”

Kendra mengangguk, meski khawatir. Sepertinya Abi bukan cuma kram perut seperti yang disampaikan Tina. Mungkin saja, gadis itu terkena gejala flu karena kelelahan bekerja.

Kendra lantas mempersingkat penjelasannya. Matahari sudah terbenam sempurna kala diskusi di ruangannya berakhir. Tina dan Marco berjalan keluar ruangan sesuai urutan. Abi yang kebagian kursi paling pojok dapat giliran terakhir. Makanya Kendra sempat menahannya sebentar, hanya untuk memberikan obat flu dan vitamin yang selalu ia simpan di laci meja kerja pria tersebut.

“Mau pulang pakai mobil aja nanti?”

Abi menatap obat-obatan pemberian Kendra dengan alis bertaut. “Buat apa ini, Pak?”

Dilihatnya, Kendra malah melirik jam tangan. Tak lama, pria itu menyeringai, menampilkan deretan giginya yang rapi.

“M — Mas, nggak apa-apa,” ralatnya, “kan udah bukan jam kerja.”

“Aku — nggak, saya, maksudnya — “

“Pakai ‘aku’ juga boleh.”

Kendra mengangguk-angguk polos, seperti sedang memberi izin, sementara Abi memejamkan mata, berusaha mengendalikan perasaannya yang kini seperti sedang memainkan irama marching band. Sejurus kemudian, ia meneliti dengan saksama obat yang diberikan Kendra.

“Saya — aku, nggak sakit,” jelas Abi.

“Ta — tadi katanya hidungnya agak mampet?”

Kendra mendadak jadi ikutan salah tingkah mendengar Abi bicara dengan kata panggil “aku”. Hubungan mereka terasa jauh lebih akrab dalam waktu supersingkat dan Kendra siap-tidak siap merasakan detak jantungnya sendiri melompat-lompat hanya karena kata sesederhana itu.

Abi buru-buru menggeleng. “Suhu di sini dingin, makanya tadi agak pilek. Aku ambil vitaminnya aja. Makasih ya… M — Mas.”

Abi buru-buru keluar dari ruangan Kendra. Ketika ia sampai di mejanya sendiri, melihat Tina dan Marco sudah siap-siap mau pulang, Abi merasakan ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari Kendra yang kini nama kontaknya juga sudah berubah: Mas Kendra.

Tunggu halte ya. Aku turun sebentar lagi.

Jantung Abi rasanya benar-benar mau copot sekarang. EMANGNYA BOLEH AKU-KAMU SECEPAT INI??

“Tu — tumben busnya kosong, ya?”

Kendra menatap tas kerja Abi di kursi sebelahnya — kelima kali. Saking kosongnya bus malam itu, Abi bahkan tak perlu memangku tasnya sendiri walau isinya nggak berat-berat amat. Abi sengaja meletakknya persis di antara tempat duduknya dan Kendra hanya agar ia bisa berpikir dengan benar. Abi takut jantungnya benar-benar loncat kalau harus duduk bersebelahan dengan Kendra di bangku bus yang sempit. Meski bisikan setan terus menggodanya, toh nanti juga kalian bakal duduk berdua di pelaminan. Sekarang, apa bedanya?

Abi menggeleng kuat-kuat. Ia melupakan Kendra yang tadi sempat mengajaknya mengobrol.

“Kenapa…, M — Mas?”

Kendra hanya tersenyum sambil menggeleng kala Abi bertanya ulang. Kendra pikir, mungkin Abi mengantuk, makanya obrolannya dari tadi tak ditanggapi.

Kendra membiarkan Abi sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara, ia menikmati sapuan pendingin di dalam bus yang kian lama kian membuat kelopak mata pria itu terasa berat. Padahal setelah mengantar Abi nanti, ia masih harus kembali ke kantor, meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda sebelum memanggil para sekretaris Bu Indri ke ruangannya.

Mendekati pergantian tahun, bukan hanya bagian keuangan saja yang rajin mengajukan formulir lembur. Tim Kendra pun sama. Ada penilaian kinerja ribuan pegawai yang harus segera dirampungkan untuk menghitung bonus akhir tahun.

Kendra sempat mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terlelap. Kepalanya jatuh pada sandaran kursi bus yang keras. Saking lelahnya, hal itu tak jadi masalah sama sekali. Yang merasa kasihan justru Abi. Ia takut leher Kendra sakit ketika terbangun nanti. Oleh karena itu, Abi sengaja menyelipkan telapak tangannya di belakang kepala Kendra, berusaha menahannya agar leher pria itu tidak melengkung ke belakang.

Sekitar lima belas menit posisi itu tak berubah, sampai bus tiba-tiba saja mengerem mendadak tepat satu halte sebelum halte tempat Abi dan Kendra akan turun. Tubuh Kendra melonjak. Pria itu tiba-tiba saja meluruskan tangan dan punggungnya, persis seperti posisi duduk siaga seorang tentara. Abi tak tahan ingin menertawakan calon suaminya yang kini menatap keadaan di sekitarnya dengan linglung. Ia pun buru-buru menutup mulutnya dengan satu tangan.

“A — Aku ketiduran, ya?” tanya Kendra dengan mata mengerjap-ngerjap, berusaha mendapatkan kesadaran sepenuhnya.

Abi mengangguk. “Satu halte lagi kita turun, Mas. Pak Dadang di belakang, kan?”

Kendra balas mengangguk. “Aku balik ke kantor lagi habis ini,” ucapnya tanpa sadar sambil mengusap wajah.

“Ngapain?”

“Lembur.” Kendra menguap sebelum meregangkan tubuh. Ia merentangkan kakinya yang panjang tanpa ragu karena di bagian belakang bus itu memang hanya tersisa ia dan Abi.

“Kalau gitu kenapa Mas repot-repot nganter aku pulang? Kan capek.”

Kendra menoleh usai memeriksa jam di pergelangan tangannya. Nyaris pukul delapan malam. Targetnya, sebelum pukul dua belas nanti, ia sudah harus kembali ke apartemen.

Kendra tersenyum simpul berusaha menghapuskan rasa bersalah di wajah Abi. “Nggak apa-apa. Lumayan jadi bisa tidur sebentar.”

Begitu turun dari bus, Kendra mengantar Abi hingga bertemu Basuki.

“Pak, maaf ya, Abinya belum bisa diantar sampai rumah.”

“Nggak apa-apa, Nak. Nggak apa-apa.” Basuki menepuk-nepuk pundak Kendra selagi calon menantunya itu merunduk, meminta maaf. “Bapak justru senang. Nanti setelah kalian menikah kan… Bapak nggak bisa lagi ngantar-jemput putri kesayangan Bapak begini.”

Basuki menatap Abi melalui kaca spion. Abi yang sudah duduk di kursi penumpang langsung memeluk Basuki erat. “Abi mau tinggal sama Ayah-Ibu aja.”

“Idih, kok nggak malu bicara begitu di depan calon suamimu.”

Abi melirik Kendra yang kini balas menatapnya sambil tersenyum, persis seperti sedang menatap keponakannya yang merajuk. Ia lalu buru-buru memalingkan tatapannya ke arah lain, ke arah manapun asal tidak menatap Kendra yang bikin jantung Abi nggak bisa berdetak normal. Pandangannya lalu tertuju pada mobil Kendra yang sudah menepi.

“Mas, itu udah dijemput. Katanya buru-buru mau balik ke kantor?”

Kendra menarik napas dalam-dalam. Sejujurnya, masih ingin mengobrol dengan calon istri dan calon ayah mertuanya. Namun, bukan hanya panggilan kerja yang membuat Kendra akhirnya memutuskan untuk pamit, tetapi juga perkataan Abi yang terasa seperti usiran halus. Kendra mencoba memahami, mungkin Abi masih berusaha beradaptasi dengan perubahan hubungan mereka, begitu juga dengan Kendra sendiri.

“Saya pamit dulu ya, Pak.”

Basuk tersenyum bahagia kala kedua tangan Kendra menangkup tangan kanannya. Dengan penuh sopan santun, Kendra mencium tangan Basuki, seperti ia mencium tangan ayahnya sendiri. Di momen itu, Basuki merasa, ia sudah memilih jodoh yang tepat untuk putrinya. Seorang pria yang tidak hanya baik dan tulus, tetapi juga bisa menghargai orang tua, sama seperti Abi. Benar berarti, jodoh itu memang refleksi diri.

“Kamu nggak pamit sama calon suamimu?”

Kendra sengaja bergeser sedikit untuk mengintip Abi yang kini bersembunyi di balik tubuh Basuki. Wajahnya seketika terasa hangat melihat Abi mengulurkan tangan.

“Salim,” kata Abi.

Kendra bergerak maju seperti robot, lalu mengulurkan tangannya. Tubuhnya langsung merinding ketika Abi menaruh punggung tangannya di pipi gadis tersebut. Rasanya seakan ada semut-semut merayap ke seluruh tubuh, membuat Kendra ingin segera melepaskan tangannya dari genggaman Abi. Bukannya tak senang, tapi Kendra tahan dengan sensasi geli yang ia rasakan.

“Hati-hati ya, Mas. Jangan pulang malam-malam.”

Kendra mengangguk kaku sambil menyembunyikan tangannya yang masih gemetar di belakang tubuh. Ia lalu pamit masuk ke mobil dengan pikiran kosong. Tidak ada suara yang bisa ia dengar selain detak jantungnya sendiri yang ribut. Mentalnya terguncang hanya karena Abi bersedia pamit dan salim kepadanya yang bahkan belum berstatus resmi sebagai suami dari gadis tersebut.

Kendra membekap mulutnya sendiri.

“Ja — Jalan, Pak,” ucapnya kepada Dadang dengan napas memburu.

Begitu sedan hitam Kendra menghilang dari pandangan, Basuki berkata lirih, nyaris tak terdengar.

“Beruntung kamu punya calon suami kayak Nak Kendra, Bi.”

“Kenapa, Ay?”

“Kaya, ganteng, baik, perhatian. Apa kurangnya?”

Gagap, Ay. Dia sering gugup kalau di depan Abi. Tadi juga tangannya gemetar waktu Abi pegang. Ini gimana ceritanya mau pendekatan kalau kita sama-sama culun begini?

Abi menghela napas. “Udah yuk, pulang, Ay. Abi capek, mau istirahat.”

Basuki terkekeh sebelum menyalakan motor tuanya. Suara mesin yang lapuk mengiringi perjalanan pulang Abi dan Basuki menuju istana sederhana yang mereka cintai. Tidak megah, tapi penuh kehangatan. Keduanya sibuk menikmati momen tersebut dalam sunyi, mengenang kebersamaan yang beberapa bulan lagi mungkin akan menjadi hal yang langka.

tbc.

--

--

Responses (3)