[Mau Nikah?] — Calon Pengangguran
“Pak Kendra sama Pak Calvin, minta ucapan perpisahannya dong buat Abi.”
Calvin yang baru saja sampai di ruang rapat Fresia hendak menjemput Kendra menoleh, melihat dua orang pegawai menghampirinya, Monica — tim divisi HRD, bawahan Kendra — dan satu lagi Evan — tim divisi Pemasaran, bawahannya sendiri yang memang “dipinjam Kendra” untuk membuat video acara perpisahan Ani.
Pintu ruang rapat baru saja terbuka, sosok Kendra — disusul pegawai tim HRD lainnya berhamburan keluar, Calvin sama sekali tidak siap tiba-tiba saja ditodong ucapan perpisahan untuk Abi yang sekarang notabene adalah calon istri Kendra. Calvin melirik Kendra yang kini berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celana.
“Bapak kan minta kita berdua siapin video ucapan perpisahan dari seluruh pegawai untuk Abi. Biar cepet selesai, gimana kalau Pak Calvin dan Pak Kendra duluan yang take video ucapan perpisahannya?” usul Monic kepada bosnya, Kendra.
“Kebetulan, Ruang rapat habis ini kosong, Pak, nggak ada yang pakai,” tambah Monic. “Mumpung Kak Evan juga lagi nggak banyak tugas dari Pak Calvin.” Evan mengangguk membetulkan.
Kendra menatap Calvin meminta persetujuan yang hanya dijawab oleh sahabatnya itu dengan kedikan bahu dan anggukan singkat.
“Oke, boleh,” sahut Kendra.
“Oke, Pak Kendra dan Pak Calvin tunggu di dalam aja dulu sama Kak Evan, saya ambil properti di ruang perlengkapan sebentar.”
Monica meninggalkan ketiga pria lawan bicaranya tersebut ketika Evan berhasil membujuk Calvin dan Noah masuk kembali ke ruang rapat. Monic baru kembali beberapa saat setelahnya dengan berbagai macam aksesoris kepala, ketika Kendra dan Calvin tampak serius menyimak penjelasan konsep video perpisahan yang dipaparkan Evan.
Kendra dan Calvin sama sekali tidak menyangka bahwa “properti” yang dimaksud oleh Monic adalah beragam bando-bando aneh — bando ayam, bando pita, bando topi sirkus, bando tanduk banteng, bando telinga kelinci dan anjing, dan berbagai macam bando lainnya yang sama sekali tidak terlihat normal di mata Calvin. Pria itu otomatis berjengit menatap hamparan benda-benda unik tersebut di atas meja.
“Pak Kendra duluan, ya,” tukas Monic sambil menyiapkan kursi tempat Kendra duduk.
Kendra menatap bando-bando di hadapannya horor. “Sa — Saya harus pakai ini?”
Monic mengangguk yakin. “Biar nggak formal banget suasananya, Pak.” Ia lantas meminta Kendra segera memilih bando yang akan ia kenakan.
Ketika Kendra masih menatap bimbang benda-benda di atas meja, Calvin terkikik sambil menaruh kepalan tangan di depan bibirnya yang tertarik lebar. Ia lalu memilihkan bando berbentuk telinga anjing untuk Kendra dan tanpa aba-aba langsung memakaikannya di kepala sahabatnya tersebut.
“Udah, ini aja. Lo kan penurut, kayak anjing.”
Kendra melemparkan tatapan tajam kepada Calvin. “Kok lo ngatain gue?”
Tanpa mau repot-repot menanggapi Kendra, Calvin segera mendorong tubuh besar rekan baikknya tersebut menuju kursi yang sudah disediakan Monic. Kendra duduk di sana sambil merapikan pakaiannya.
“Sudah siap, Pak?”
Kendra memberikan isyarat “Ok” dengan jarinya kepada Monic. Begitu lampu softbox dinyalakan, dan Evan siap diposisinya membidik dengan kamera canggih, Kendra duduk tegak seraya tersenyum selebar-lebarnya meski jantungnya berdegup tak keruan.
“Ready, camera roll, action!”
“Buat calon istri saya, Abi — “
“Loh, Pak? Jadi calon istri Bapak itu, Abi?” seruan Monic menggema ke seluruh ruangan, menyela proses pengambilan video ucapan perpisahan yang sedang berjalan.
Tetapi, tidak ada yang berani protes, karena semua orang di ruangan tersebut kini diserang rasa terkejut bersamaan meski untuk hal yang berbeda; Monic dan Evan yang seakan tertampar fakta baru, sementara Calvin dan Kendra sendiri terkejut dengan ucapan spontan Kendra yang malah membongkar rahasia Kendra sendiri.
Kendra melambai-lambai dengan panik. “Ca — Calon pengangguran, maksud saya. Iya, calon pengangguran.”
Evan dan Monic hanya bisa bertatapan dengan mulut separuh terbuka, masih terkejut. Ketika akhirnya kesadaran kembali, keduanya hanya bisa mengulum tawa melihat wajah Kendra seperti maling yang tertangkap basah.
Sementara itu, Calvin berdiri diam di tempatnya sambil mengusap wajah dengan frustrasi dan memaki dalam hati,
Kendra gobloookkk!!
“HAHAHAHAHA….”
Wajah Abi mengernyit sekembalinya ia dari pantri untuk membuat teh dan melihat Tina terbahak keras-keras hingga nyaris terdengar ke ruangan lain. Saat itu, di ruang sekretaris — persis di depan ruang Bu Indri — memang hanya ada ia dan Tantina saja. Marco sedang bertugas diluar, mengawal Indri menghadiri acara yang diselenggarakan oleh salah satu kolega perusahaan.
Meski sudah lama mengenal Tantina, Abi tahu Tina adalah tipikal perempuan yang sangat menjaga citranya di depan orang lain, kecuali Abi sendiri — ia tidak pernah masuk hitungan. Tina yang Abi tahu tidak akan berani tertawa keras-keras seperti orang lupa diri kalau saja ada orang lain di sekitar mereka, bahkan Marco sekalipun.
Namun tetap saja, ini bahkan belum waktu makan siang. Melihat Tina terbahak sampai tak sadar bahwa Abi sudah berdiri di sebelahnya karena penasaran, Abi jadi takjub sendiri.
“Ngetawain apa sih lo, Kak? Nggak pernah-pernahnya gue ngeliat lo ketawa kayak orang kesurupan begini.”
Tantina menghapus bulir air mata di sudut matanya. Saking gelinya, Tina bahkan tak bisa menahan air matanya sendiri. Ia pun melambai, meminta Abi mendekat dan menatap layar ponselnya bersamaan.
“Liat nih kelakuan calon suami lo!”
Tantina membekap mulutnya sendiri, menahan tawa, selagi Abi menonton dengan saksama video yang dipaparkan rekan kerjanya tersebut. Wajah Abi seketika memerah — marah, malu, dan kesal meihat sosok Kendra di dalam video dengan gelagapan menyebutnya sebagai “calon pengangguran”.
Abi mengembuskan napas kencang. “HAH! Calon pengangguran??? BISA-BISANYA!”
Tawa Tina semakin kencang kala Abi menggebrak meja kerjanya penuh kekuatan. “Ini dari siapa? Kapan?”
“Dari Monic, barusan banget.” Tantina mulai meredakan tawanya melihat amarah di wajah Abi semakin berkobar. “Dia nanya, emang bener lo calon istrinya Pak Kendra? Gue jawab aja nggak tau,” sahut Tina santai.
Kemudian, Abi menutup wajahnya lalu menginjak-injak lantai dengan keras saking kesalnya.
“Kak! Aduh. Bener-bener ya Pak Kendra ini!” Abi berkacak pinggang, napasnya mulai menderu dan matanya terasa sedikit panas. Saking banyaknya emosi meluap memaksa untuk ditumpahkan, Abi malah jadi ingin menangis.
“Lo bayangin deh, gue udah manis-manis, belajar manggil dia ‘Mas Kendra’, tapi apa balasan gue? Dipanggil sayang? Diajak sleep call? Enggak! Malah dibilang calon pengangguran!”
“Sabar-sabar, lo kan tau Pak Kendra emang grogian orangnya.” Tina mencoba menenangkan, tapi sepertinya tidak berefek sama sekali pada Abi.
“Ya tapi nggak calon pengangguran juga, Kak!”
Tiba-tiba saja Abi merasa sakit hati karena panggilan Kendra tersebut melukai egonya, mengingatkannya bahwa memang ia akan segera menjadi pengangguran dan hanya bisa menggantungkan hidupnya pada Kendra setelah menikah nanti. Rasa marah kembali menyerang Abi seperti pukulan telak berkali-kali disisipi oleh prasangka buruk yang merusak penilaian baiknya kepada Kendra selama ini. Abi selalu membenci karakternya yang mudah overthinking, tetapi kali ini, ia tidak berusaha menahannya.
Apa memang Pak Kendra menganggap kalau gue ini memang cuma “alat” aja ya buat mulusin karir dia? Kok tega banget dia nyebut gue begitu?
Makan deh tuh ‘saya mau menikah layaknya pasangan normal lainnya. Ayo, nikah, hidup sama saya sampai tua’ Cih!
Nggak ada ya pasangan normal itu calon istrinya cuma di-chat pas jam kerja. Sori, ini hati, bukan kantor pemerintah!
“Ee — ehh… loh kok nangis beneran?”
Tina lantas bangkit berdiri ketika dilihatnya bibir Abi mulai mencebik ke bawah dan telapak tangan rekan kerjanya tersebut terangkat, menutupi matanya. Tina bisa melihat dengan jelas bahu Abi bergetar. Suara isakan kecil juga samar terdengar dari bibir mungil Abi.
“Aduh gimana, nih?” seru Tina panik. Ia meraih beberapa lembar tisu dan membantu menghapus bulir air mata yang membasahi pipi Abi. “Sabar ya, Bi, sabar. Sori, gue nggak maksud ngetawain lo, gue ngetawain Pak Kendra habis dia lucu banget kalo panik.”
Abi menurunkan telapak tangannya sambil menghapus sisa-sisa air di matanya yang sedikit memerah. Ia membiarkan Tina membantunya layaknya seorang kakak perempuan yang sedang berusaha menghibur adik kecilnya yang sedang sedih.
“Udah lah, Kak. Memang bener kok, gue ini calon pengangguran.”
“Tapi kan lo bakal jadi istri konglomerat, Bi. Kalaupun lo sedih, lo tetap bakal punya duit buat hepi-hepi.”
“Ucapan lo nggak menghibur sama sekali, Kak,” ucap Abi datar, tanpa ekspresi yang hanya bisa membuat Tina menyengir lebar, merasa makin bersalah.
“Sori hehe….”
Abi tersenyum kecut sebelum membalikkan tubuh, meninggalkan Tina begitu saja.
“Eh, mau ke mana?” seru Tina sebelum Abi menghilang di balik dinding pembatas ruangan sekretaris. “Jangan dilabrak si Pak Ganteng!”
“Mau cuci muka!” sahut Abi tanpa mau repot-repot menoleh. Diam-diam, ia pun mempertimbangkan ucapan Tina barusan.
APA GUE LABRAK AJA YA SI MAS-MAS GAGAP ITU???
— tbc.