[Mau Nikah?] — Calon Suami ̶C̶e̶m̶b̶u̶r̶u̶ Siaga
“YASSALAM!”
Kendra terlonjak begitu musik di panggung — persis di hadapannya — makin kencang. Sang biduan menari makin heboh, turun dari panggung menghampiri satu per satu penonton. Kendra mengeratkan lingkaran tangannya pada lengan Abi, takut. Posisi duduknya pun di kursi plastik biru tanpa lapisan kain dan hiasan pita — seperti kebanyak pesta pernikahan yanhg Kendra hadiri — kian lama kian dempet dengan sang calon istri yang kini tengah sibuk mengobrol dengan Lulu dan Irfan.
Abi menoleh, merasa Kendra sedikit gelisah. “Kenapa, Mas?”
Kendra menggeleng cepat, tetapi wajahnya tampak meringis tak nyaman. Demi mempertahankan harga dirinya di mata Abi — yang entah tinggal seberapa sekarang — Kendra tak sudi mengaku kalau ia takut digoda sang biduan. Tubuh Kendra bergidik setiap kali sang penyanyi dengan pakaian kelewat nyentrik dan terbuka melayangkan pandangan ke arah para penonton, seakan sedang mencari mangsa.
“Kebelet pipis?” tanya Abi lagi sambil berbisik. Kendra kembali menggeleng sambil mencoba tersenyum cemas, meyakinkan Abi. Tangannya tetap meremas lengan Abi kencang, membuat Abi melihat keadaan sekeliling mereka, mencaritahu sumber kengerian Kendra hingga membuat tubuh pria itu tegang. Atau jangan-jangan tubuh Kendra mendadak kaku karena berdempetan dengan Abi? Pikir Abi gusar.
“BILA INGIN MELIHAT IKAN DI DALAM KOLAM. TENANGKAN DULU AIRNYA SEBENING KACA~”
“BILA MATA TERTUJU PADA GADIS PENDIAM. CARANYA TAK SAMA MENGGODA JANDA LINCAH~”
Nyali Kendra kian ciut ketika pandangan matanya tertangkap oleh sang biduan. Ia memejamkan mata dan menyembunyikan sebagian tubuhnya — meski sia-sia saja — di balik tubuh Abi. Ketika sang penyanyi berdiri persis di sebelah Kendra, mencoba mengajaknya menyanyi, barulah Abi paham apa yang membuat Kendra bersikap seperti anak kecil yang sedang ketakutan.
Abi terkikik melihat mendengar rintihan Kendra.
“To — tolongin aku, Bi….”
Dengan kedipan mata, Abi memberi kode kepada sang penyanyi untuk meninggalkan mereka. Ketika sang biduan pergi ke barisan belakang — cukup jauh hingga Kendra yakin ia tidak akan kembali menjadi incaran sang biduan, barulah ia bisa kembali menegakkan tubuh.
Sambil melirik Abi, Lulu, dan Irfan yang kini menatapnya sambil menahan tawa, Kendra tersenyum malu-malu.
“Sa — saya baik-baik aja,” ujarnya tanpa ditanya, membuat tawa Irfan pecah seketika. Lulu sontak menyikut pacarnya dengan kencang, tak enak kepada Kendra yang kini jelas tampak salah tingkah dengan wajah merah padam menahan malu.
“Bapak nggak pernah datang ke acara nikahan di kampung, ya?”
“Y — ya? Oh…” Kendra melirik Abi serba salah, takut ucapannya terkesan sombong dan menyinggung. “Ini pertama kali sih….”
“Kan aku udah bilang, Mas nggak usah ikut. Aku sebentar aja,” timpal Abi sambil menikmati kembali es puter yang sudah mulai mencair di wadah plastik tipis dalam tangannya.
Ia ingat tadi, saat Kendra baru sampai di rumahnya, Abi memang sempat memperingati. Acara-acara pernikahan semacam ini kurang cocok untuk Kendra yang terbiasa dengan lingkungan elit. Terlalu ramai, ribut, dan pasti asing. Namun, setelah diperingati berkali-kali pun Kendra masih saja berkeras ingin mendampingi Abi. Keteguhan niat Kendra itu jelas mendapatkan apresiasi dari Basuki dan Mustika.
“Kamu ini, Bi… Calon suamimu niat baik mau nemenin malah dilarang-larang.”
“Bukan gitu, Bu…” Abi mendesah, melihat Kendra yang menatapnya memelas, minta ikut. “Ya udah, tapi jangan nyesel, ya?”
Kendra mengangguk antusias. “Nggak akan,” jawabnya yakin, yang kini ia sesali.
Sejak awal, tujuan Kendra datang ke acara pernikahan tersebut memang lebih dari sekadar ingin mendampingi Abi saja, tetapi juga mencari tahu… siapa pria yang pernah menjadi kekasih calon istrinya. Mana bisa Kendra membiarkan Abi datang sendiri ke pernikahan mantan kekasihnya?
Lulu yang mendengar kalimat keras kepala Abi langsung menyenggol kaki temannya. “Ah, lo ini, Bi. Nggak pengertian banget. Pak Kendra kan nggak mau lo datang ke nikahan mantan lo sendirian.”
“Yaelah, mantan zaman SMA doang, cinta monyet. Berkesan juga nggak,” sungut Abi sambil melirik Kendra yang kini sibuk mengangguk-angguk, membenarkan argumen Lulu sambil melipat tangan di depan dada.
“Be — betul itu,” ucapnya dengan kedua alis bertaut. Abi menatap Kendra dengan kedua alis terangkat.
Dia cemburu? Tanya Abi penasaran dalam hati, diam-diam merasa senang.
“Nggak berkesan apanya ya, Nyet. Gue inget banget lo nangis bombay nggak nafsu makan tujuh hari tujuh malem gara-gara diputusin si Akbar. Pergi ke sekolah juga kalo nggak gue jemput lo nggak bakal berangkat,” kisah Lulu berapi-api, tanpa gadis itu sadari, alis Kendra bertaut semakin rapat mendengar setiap cerita yang keluar dari bibir Lulu. Bibirnya merengut tak suka tanpa bisa ia kendalikan. Wajah Kendra jelas tampak cemburu.
Abi tertawa meringis, menyikut Lulu sambil melirik tajam. “Haha… itu kan udah lama… Nggak perlu dibahas juga kali, ya…?”
“Nggak bisa. Gue masih inget lo nangis-nangis, nggak rela diputusin gara-gara si Akbar udah nyuri ciuman pertama lo — “
“Di pipi!” sahut Abi cepat lalu membekap mulut Lulu sebelum semakin banyak aibnya dibeberkan oleh sahabat kecilnya tersebut.
Ia menatap Lulu memelas, memohon gadis itu untuk berhenti dan memintanya melihat raut Kendra yang jauh dari kata senang mendengar cerita tersebut. Ekspresi calon suaminnya dingin, tampak kesal. Kalau saja Abi dan Lulu bisa melihat, Kendra mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Garis-garis kebiruan menonjol di sepanjang lengannya yang kekar.
“Kita salaman yuk sama pengantinnya, sekalian pamit pulang,” ujar Kendra yang membuat Abi terkesima untuk dua alasan; pertama, karena cara bicaranya yang begitu lancar ketika kesal. Kedua, karena Kendra tiba-tiba saja mengambil langkah inisiatif — dan mungkin — impulsif karena dorongan kuat egonya.
“Ayo.” Kendra meraih tangan Abi, menggenggamnya kembali dengan erat.
Lutut Abi terasa lemas. Tubuhnya seakan ikut tertarik waktu Kendra bangkit dari kursi. Melewati para tamu yang menyapa mereka satu per satu, Kendra membawa Abi menuju bagian dalam rumah, ikut mengantre untuk bersalaman dengan pengantin yang berbahagia hari ini.
Dengan tinggi tubuhnya, dari tempat ia berdiri, Kendra bisa melihat dengan jelas sosok pria yang “kabarnya” pernah membuat Abi menangis berhari-hari. Menurut pengamatan Kendra yang sudah terlatih bertahun-tahun memantau ribuan pegawai Subeom Makmur, pria itu memang terlihat tidak cocok untuk Abi. Terlalu mendominasi.
Beberapa kali Kendra melihat sang mempelai pria memberi perintah-perintah kecil kepada mempelai perempuan. Bahkan untuk gaya berfoto saja harus diatur. Posisi berfoto pun tidak boleh di sebelah pria. Mungkin penilaian Kendra terlalu subjektif karena didominasi oleh faktor cemburu, tapi jelas dibandingkan Akbar, Kendra merasa dirinya lebih cocok menjadi pasangan Abi.
Kening Kendra masih mengerut, menatap tak senang. Meski seharusnya, ia juga bersyukur. Kalau Akbar tak membuat Abi patah hati, mungkin sekarang status Abi belum tentu menjadi calon istri Kendra.
“Mas… ini tangan aku… pinjem sebentar. Mau betulin baju….”
Kendra melirik pakaian Abi yang sedikit terlipat di bagian lengannya. Dengan tangannya yang lain, Kendra sigap membetulkan. Abi sampai termenung melihat sikap Kendra kali ini. Tidak biasanya pria itu bersikap tanggap. Malah, jadi Abi yang sekarang gagap.
“M — Mas… marah, ya?”
“Enggak,” jawab Kendra (sok) santai. Ia memasukkan tangannya yang bebas ke saku celana. Bibirnya menyunggingkan senyum formal kepada tetangga Abi yang menyapa mereka.
“Beneran cuma dicium di pipi kok, Mas….” Kendra hanya mengangguk-angguk, berusaha bersikap tenang meski hatinya terasa dioles dipanggang dalam oven.
“Pipi… sebelah mana?” tangan Kendra mulai berpindah mengusap tengkuk pria itu dengan gelisah.
“Sini….” Abi menunjuk bagian lesung pipitnya.
“Hm….” Di saat yang bersamaan, Abi merasa tangan diremas semakin kencang. Walaupun Kendra tersenyum tenang, Abi merasa ada yang tidak beres dengan calon suaminya.
Giliran mereka bersalaman dengan pengantin tiba. Kendra merangkul Abi tanpa aba-aba. Entah dari mana keberaniannya tiba-tiba datang. Mungkin muncul seketika ia melihat Akbar tersenyum lebar menyambut kedatangan Abi.
“Kamu dateng, Bi?? Aku kira kamu sibuk kerja… Ibu kamu selalu cerita ke Bunda aku katanya kamu kalau kerja selalu pulang malam.”
Abi terkekeh sambil tersenyum meringis, berdoa semoga Akbar tak berbicara panjang lebar agar Abi bisa segera pulang.
“Gue udah nggak kerja, Bar. Udah resign.”
“Oh… Terus sekarang sibuk apa?”
“Sibuk nyiapin pernikahan,” jawab Kendra lantang, mendadak mengambil peran sebagai juru bicara Abi.
Akbar dan istrinya sontak menoleh, menaruh perhatian pada sosok jangkung nan tampan di sebelah Abi. Saking “bersinarnya” sosok Kendra, sang pengantin sampai termenung selama beberapa detik. Dari cara berpakaiannya saja, Akbar dan Rini — sang mempelai wanita — jelas tahu Kendra bukan tetangga kampung mereka.
“Ini calon suami gue, Bar hehe…” Abi menatap Kendra penuh rasa bangga. “Kita nikah dua bulan lagi.”
Akbar dan Rini sama-sama terkesiap.
“Iya, Abi calon istri saya, Kendra,” timpal Kendra seraya mengulurkan tangan dan menjabat para pengantin bergantian penuh rasa bangga — juga dengan sedikit “tekanan khusus” ketika menjabat tangan Akbar.
Meski belum terlalu puas, setidaknya setelah bersalaman dengan pengantin, Kendra bisa mengantar Abi pulang ke rumah dengan perasaan sedikit lebih lega. Walaupun, tetap saja ia belum rela menerima fakta bahwa Abi sudah pernah dicium pria lain, tidak seperti dirinya yang benar-benar belum tersentuh oleh wanita manapun selain ibunya sendiri. Ada perasaan sedih dalam diri Kendra dan ia tahu betul, Abi tidak bersalah akan hal itu. Perasaannya saja yang aneh.
“A — aku weekend ini touring, ya,” ucap Kendra, memecah sunyi yang sudah menemani perjalanan mereka pulang ke rumah Abi dengan berjalan kaki. Abi tak berani buka suara menimbang suasana hati Kendra tampaknya kurang baik. Baru pertama kali ini Abi melihatnya.
Abi berdiri tergugu di depan pagar rumahnya. Ia tersenyum hati-hati, mencoba mencairkan suasana.
“Ng… Nggak mau pacaran?” Namun begitu melihat kening Kendra mengerut, Abi langsung mengatupkan bibir rapat-rapat.
“Pa — pacaran?” Abi bingung ketika melihat wajah Kendra tampak panik. “Sama siapa? Aku kan udah tunangan sama kamu. SUMPAH aku gak punya pacar!”
Kendra mengacungkan dua jarinya kepada Abi. Wajahnya tampak ikutan bingung kala melihat Abi terkikik menahan tawa.
“Maksudnya sama aku, Mas. Kita kan belum sempet pacaran. Dari kemarin juga mau dinner belum jadi-jadi, keburu Mas sakit.”
“Oh… hehe….” Kendra mengusap kepalanya sambil tersenyum malu, merasa bodoh dengan reaksi berlebihannya barusan.
“Touring ke mana?”
“Ke Anyer.”
“Nginep?”
Kendra mengangguk pelan, takut Abi kecewa, tetapi tunangannya tersebut hanya mendesah pasrah.
“Ya udah, nggak apa,” ucap Abi, mengalah. “Tapi jangan capek-capek. Senin kan ke pelantikan Papa.”
“Iya, Abi. Aku pamit, ya. Selamat istirahat, Abi… um… calon istriku.”
Abi ikut tersenyum melihat senyum malu-malu di wajah Kendra. Perasaannya jauh lebih tenang mengetahui suasana hati tunangannya sudah kembali membaik. Sebelum Kendra melangkah masuk ke mobil, sebuah ide — sedikit menantang— terlintas di kepala Abi.
“Mas?”
“Iya?” Kendra memutar tubuh, batal menarik gagang pintu mobil.
“Mau… dicium pipinya?”
Mata Kendra sontak melebar. Di bawah sinar dari tiang lampu gang rumahnya yang cukup terang, Abi bisa melihat wajah Kendra menyemburat merah.
Ketika Abi maju selangkah, mendekat kepada Kendra, pria itu sontak berjengit mundur.
“N — nanti aja,” jawab Kendra panik seraya mengulurkan tangannya, menahan gerak tubuh Abi. “Nanti aja, kalo udah nikah.”
Kendra buru-buru membuka pintu mobilnya. “A — aku pulang dulu ya, Abi. Selamat istirahat!”
Abi pun hanya bisa memandang kepergian mobil Kendra sambil melongo. Gue beneran ditinggalin, nih?? Sepanik itu cuma mau di-sun pipinya???
— tbc.