[Mau Nikah?] — Go Public
Tok tok tok.
Abi sudah mengetuk ruangan Kendra tiga kali, tetapi tidak ada sahutan. Tadi pagi, Kendra memang mengirimkan pesan kepada Abi untuk datang ke ruangannya usai jam makan siang. Abi diminta untuk menandatangani kontrak akhir perjanjian kerja gadis tersebut dengan perusahaan yang sempat Abi pikir akan menjadi tempat pengabdian seumur hidupnya. Mungkin, Abi terlalu gegabah dalam berpikir. Karena nyatanya kelak, pengabdian terakhirnya justru adalah menjadi seorang menantu di keluarga konglomerat.
Maka di sinilah ia sekarang, mematung di depan ruangan Kendra dengan bingung karena tidak ada percakapan sama sekali terdengar dari dalam. Abi curiga, Kendra tidak ada di ruangan. Mungkin, mendapat “panggilan dadakan” seperti yang sering terjadi. Entah itu rapat one on one dadakan atau… rapat di kolam koi. Sampai sekarang, Abi juga tidak tahu kenapa para dewa sering berkumpul di sana.
Abi mengembuskan napas panjang. Sebelum memutuskan untuk kembali ke ruangannya, sosok Noah datang dari arah dinding pembatas ruang HRD dengan ruang divisi keuangan. Pria itu merapikan gulungan kemeja di lengannya sebelum pandangannya menemukan sosok Abi di depan pintu ruangan Kendra sedang celingukan. Keduanya sempat bertatapan, lalu Abi cepat-cepat menjelaskan maksud kedatangannya.
“Saya… dipanggil Pak Kendra untuk tanda tangan… Bapak ada di dalam nggak, ya?” Abi menunjuk ruangan Kendra dengan jempolnya sambil tersenyum salah tingkah, takut dikira sedang mengintip ke ruangan sang atasan.
“Dia nggak keluar kok dari tadi. Masuk aja.”
Bermodalkan anggukan dari Noah, tanda kalau sebenarnya ruangan Kendra kosong, Abi menekan perlahan gagang pintu di tangannya hingga pintu perlahan tersibak, menampilkan sedikit demi sedikit ruangan Kendra yang amburadul — sangat jauh dari situasi normalnya yang selalu tertata rapi.
Beberapa kardus berisi dokumen mengisi sudut-sudut di lantai, mempersempit ruang gerak dalam ruangan. Timbunan arsip membentuk gunungan di atas meja, nyaris menutupi wajah Kendra yang kini tertidur pulas di kursinya. Kepala pria itu bersandar pada kursi dengan kondisi leher bengkok ke kiri. Dengkuran halus terdengar tipis keluar dari bibir Kendra yang tak sepenuhnya mengatup.
Abi meringis menatap posisi tidur Kendra — jelas tidak nyaman dan akan menimbulkan rasa sakit di bagian leher ketika pria itu terbangun nanti. Dengan hati-hati, ia melangkahkan sepatu berhak rendahnya — yang belakangan sering Abi pakai karena solnya tak menimbulkan suara ribut atau setidaknya, tidak memancing perhatian Marlin — ke arah Kendra. Niat awalnya, Abi hanya ingin membetulkan letak posisi kepala Kendra. Namun, itikadnya itu bubar begitu kakinya menginjak salah satu kertas di lantai hingga menyebabkan gemeresik. Kendra lantas terperanjat. Matanya terbelalak melihat sosok cantik dalam mimpinya tiba-tiba saja muncul di hadapan pria itu dengan kondisi tubuh mematung.
“A — Abi?”
“Mas, eh, P — Pak….”
Abi menegakkan tubuhnya kembali, memasang sikap sempurna. Ia hampir saja lupa bahwa saat ini mereka masih berada di kantor. Posisi Kendra sekarang adalah atasannya, bukan calon suaminya. Abi lantas menunduk malu dengan wajah bersemu.
“Ma — Maaf, saya ketiduran, Abi. Silakan duduk.”
Mata Kendra mengerjap-ngerjap, berusaha mengembalikan kesadarannya secara penuh sebelum berbicara dengan Abi. Kehadiran gadis itu sudah Kendra tunggu-tunggu sejak pagi. Di hari terakhir Abi bekerja, Kendra ingin punya lebih banyak waktu untuk mengobrol dengan santai mengenai kesan yang Abi dapatkan selama ini sebagai pegawai SMFood.
“Mana berkas yang harus saya tanda tangan?” tanya Abi ketika melihat Kendra hanya diam memandangnya setelah ia duduk di hadapan lelaki itu selama lima menit. Kedua alis tebal Kendra menyatu mendengarnya. Rautnya tampak bingung dan tidak senang.
“Kontrak nikah?”
“Pemberhentian kontrak kerja,” jelas Abi, namun seketika wajahnya ikutan mengerut seperti wajah Kendra. “Bapak jadinya cuma mau nikah kontrak sama saya?”
Kendra dengan cepat membantah. “Eng — Enggak! Sa — Sama sekali nggak begitu!”
Rasa panik menyergap hingga membuat wajah Kendra pucat. Jangan sampai kesalahpahaman kali ini memicu kembali keraguan di kepala Abi. Kendra sudah siap-siap berlutut kalau sampai Abi marah sungguhan.
“Ni — Nikah normal. Pokoknya, nggak ada kontrak-kontrak!” tandas Kendra dengan wajah serius. Tubuhnya yang sempat menegang karena serasangan rasa cemas seketika mulai rileks melihat senyuman malu-malu di wajah Abi. Manis sekali, sampai Kendra nyaris hilang kesadaran kembali.
Abi terkekeh pelan. “Hehe… kirain….” Ia lalu menatap Kendra kembali setelah sempat melarikan tatapannya dari wajah pria tersebut. Tidak sanggup melihat wajah tampan Kendra terlalu lama, takut tersihir dan tidak mau pergi dari ruangan atasannya tersebut.
“Bapak sakit, ya?” raut wajah Abi berubah cemas.
Meski Kendra mengelak dan mengatakan bahwa kesehatannya baik-baik saja, Abi tetap skeptis. Lingkaran hitam di bawah mata calon suaminnya yang mulai nampak pada awal minggu ini, kian hari kian gelap. Wajahnya juga semakin kuyu, tampak jelas gurat-gurat kelelahan di sana. Abi ingin bilang bahwa Kendra terlalu memaksakan diri. Tetapi, siapalah dirinya sekarang? Jadi istripun belum. Mana berani Abi mengatur-ngatur?
Maka setelah menandatangani dokumen yang diberikan Kendra dan mengobrol sedikit mengenai kesannya selama bekerja di perusahaan, Abi tak lupa meminta Kendra untuk banyak istirahat dan mengonsumsi vitamin. Memang tak banyak yang bisa ia bantu. Tapi setidaknya, ia melakukan sedikit yang ia bisa lakukan: sekadar mengingatkan.
Kendra tidak protes. Ia justru senang karena Abi memperhatikan kesehatannya.
“Iya, nanti saya istirahat. Hari ini kan ada acara perpisahan kamu, saya mau datang.”
Abi terenyuh mendengar Kendra mengatakan hal tersebut dan benar-benar tertegun kala Kendra benar-benar menepati janjinya. Pria itu datang, meski dengan kondisi terkantuk-kantuk.
Debora mungkin tidak pernah tahu kejutan apa yang menantinya.
Pekan lalu, ia hanya diminta tolong Noah untuk menjadi pembawa acara perpisahan Abi. Seperti acara-acara internal perusahaan yang sudah ia pandu sebelumnya, Debora menganggap acara perpisahan Abi — salah satu rekan kerja yang ia kagumi karena kinerjanya yang luar biasa — tak ada bedanya dengan yang lain.
Semuanya terasa normal. Suasana sedih dan haru yang kental, potret-potret dan kilas balik yang mengingatkan momen-momen perjuangan kerja keras Abi selama ini, juga video ucapan perpisahan dari seluruh pegawai yang pada akhirnya membuat Abi tak bisa menahan air mata yang sudah ia coba bendung sejak awal acara.
Ini adalah mimpinya, berada di perusahaan ini. Bagi Abi, SMFood bukan hanya tempatnya mengais rejeki, mencari nafkah yang selama ini memenuhi kebutuhan hidupnya. Perusahaan ini sudah seperti bagian dari dirinya. Ke mana tujuan Abi setiap hari kalau bukan datang ke kantor ini? Siapa yang akan Abi ajak mengobrol kalau bukan para pegawai yang rasanya sudah seperti keluarga sendiri? Apalagi, Tina dan Marco.
Namun, malam ini, Abi harus melepas semuanya.
“Saya mungkin… bukan lagi bagian dari perusahaan ini setelah acara ini selesai. Tapi buat saya, rekan-rekan di sini sudah seperti keluarga sendiri. Terutama, Kak Tina dan Kak Marco… Saya belajar banyak di sini, dan luar biasa senang bisa bertemu orang-orang baik dan hebat yang memacu saya untuk terus memberikan dedikasi terbaik.”
Abi meremas lembaran tisu di tangannya. Ia berbalik sesaat, menghapus bulir-bulir air mata yang turun. Para peserta yang menyaksikan menyerukan semangat kepada Abi, tetapi hal itu justru membuat air mata Abi turun makin deras. Abi berusaha untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan pidatonya.
Ketika Abi memutar tubuh kembali menghadap para peserta acara, matanya kembali melirik Kendra yang duduk di sudut ruangan, diapit oleh Noah dan Calvin. Kepala pria itu bergerak naik-turun — sudah setengah jam begitu, seperti berusaha tersadar meski diserang rasa kantuk tak tertahankan. Noah dan Calvin sendiri tak berusaha membangunkan, karena memang keduanya sudah mengingatkan Kendra untuk istirahat saja di ruangan jika kondisi fisiknya terlalu lelah. Tetapi, Kendra tetap memaksakan diri untuk hadir.
Pandangan Abi berpindah ke kursi peserta di deretan paling depan, paling tengah. Marlene Indriana menatap Abi dengan angkuh. Meski sudut bibir perempuan itu tertarik ke atas, menampilkan senyum, Abi sangsi arti yang ingin ditunjukkan merupakan bentuk simpati kepadanya. Senyum itu lebih terlihat seperti ejekan untuk pegawai kelas bawah yang tak memiliki kuasa seperti Abi, harus menerima nasib apapun yang diputuskan oleh para pucuk pimpinan. Adil ataupun tidak, pendapat para pegawai kelas teri tidak akan didengar.
Abi menarik napas dalam-dalam, mengisi pundi-pundi keberaniannya yang menipis oleh tatapan kasihan dari para dewa yang kemungkinan tahu alasan dibalik pemecatan Abi. Sejak awal acara, Abi tak bisa menyingkirkan perasaan rendah dirinya karena “dibuang” begitu saja. Namun ketika melirik Kendra tadi, ia seakan yakin… mungkin ini cara Tuhan mengangkat derajat dirinya dan keluarganya, meski harus melalui momen yang menyedihkan.
“Terima kasih… untuk seluruh rekan-rekan SMFood. Semoga meski saya sudah bukan bagian dari keluarga SMFood lagi, kita tetap bisa menjaga silaturahmi dengan baik.”
Seluruh peserta bertepuk tangan. Abi yang sekali lagi melirik Kendra melihat pria itu ikut bertepuk tangan meski dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Kendra melakukannya sambil tetap menunduk. Tanpa sadar, Abi tersenyum kecil memperhatikan tingkah calon suaminya.
Sekarang, bolehkan dia berpikir begitu? Ini sudah bukan jam kerja. Dan lagi, Abi juga sudah bukan lagi pegawai di sini.
“Tadi kesan pesan selama kerja di sini udah, ya. Nah, rencananya habis ini mau lanjut kerja di bidang apa nih, Abi?”
Perhatian Abi kembali tertuju pada Indri mendengar pertanyaan Debora. Tatapan mantan atasannya itu masih belum berubah. Pandangan Indri tajam dan lurus kepada Abi seakan ingin segera menyingkirkan gadis itu dari atas panggung. Alasan Indri datang ke acara perpisahan ini sesungguhnya tak lebih dari sebuah simpati formal yang ingin ditunjukkan kepada para pegawai bahwa para pimpinan di atas “peduli” dengan pegawai kelas paling bawah sekalipun.
Namun, ketika Abi melirik Indri dengan tatapan membara, ada perasaan kesal kembali menggelitik ego sang pimpinan teratas. Rasanya momen kemenangan yang sudah dekat rusak seketika Indri melihat seringai tipis di wajah Abi tertuju kepadanya.
“Nggak kerja, mau jadi ibu rumah tangga aja.” Abi menjawab pertanyaan Debora dengan tenang, tetapi membuat yang mendengarnya justru jadi tidak tenang. Semua hadirin terkesiap heboh. Tak terkecuali Indri yang kini makin menyorot Abi dengan sudut bibir bergetar.
“Loh, sudah punya calon toh?”
Abi mengangguk pelan sebelum menoleh ke kiri, menghadapkan wajahnya kepada Kendra yang masih belum tersadar. Abi lalu mengangkat tangan, mengulurkannya dan menunjuk ke arah Kendra dengan sopan.
“Udah. Pak Kendra, calon suami saya,” jawab Abi dengan mantap.
Seruan keterkejutan kembali riuh meramaikan suasana. Tidak ada yang tidak terkejut. Bahkan Monic yang sudah sempat curiga pun tak menyangka kalau Abi akan membongkar hubungannya di momen perpisahan seperti ini. Tina pun sama. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala kala Marco menyikutnya, berbisik-bisik heboh menuntut penjelasan.
“Lo pasti tau, kan?” tuduh Marco. Tina hanya menjawab, “No comment. Tanya aja orangnya langsung nanti.”
Di bagian kursi penonton lain, di tempat Noah, Kendra, dan Calvin duduk, para hadirin memusatkan perhatiannya ke sana, menantikan reaksi Kendra. Meski sesungguhnya hanya Kendra yang menjadi sorotan, Noah dan Calvin ikutan merasa malu. Keduanya cepat-cepat menyikut Kendra, memaksa rekannya tersebut bangun dengan cara sedikit kasar dan akhirnya berhasil.
Saat Kendra membelalakan mata — karena dibangunkan secara paksa, ia tak tahu bahwa orang-orang kini menatapnya. Yang ia lakukan malah melirik panggung dengan pandangan berbayang lalu refleks bertepuk tangan kencang. Ia mengira Noah dan Calvin membangunkannya karena hanya ia sendiri yang sejak tadi tidak ikut memeriahkan acara.
Tetapi ketika menyadari suasana hening di sekitarnya, tepuk tangan Kendra perlahan makin pelan dan berhenti. Detik berikutnya, Kendra langsung salah tingkah sendiri dan tenggelam dalam kebingungan luar biasa melihat orang-orang menatapnya dengan penasaran. Pria itu celingkukan menatap Calvin dan Noah bergantian, memohon penjelasan.
“Pak Kendra seneng banget kayaknya?” Suara Debora memecah suasana canggung akibat tingkah konyol Kendra barusan. “Mau ikut nemenin calon istrinya duduk di depan?”
Jantung Kendra berdetak makin kencang sambil menatap ke panggung, melihat Abi yang balas menatapnya sambil tersenyum tenang. Ca — Calon istri?? Kendra terkejut karena tiba-tiba saja kini semua orang tahu tentang status hubungannya dengan Abi. Rasa panik menyerang seketika. Ujung-ujung jemari kaki dan tangannya terasa dingin. Kendra hanya bisa mencengkram lengan kursi sambil menjawab dengan gelagapan.
“Sa — Saya di sini saja.”
“Kasian loh, Pak, Abinya sendirian di sini.” Debora masih tidak menyerah. “Ayo sini, Pak. Jangan malu-malu.”
Bibir Kendra membuka-mengatup berulang. Ia mencoba membuat keputusan apakah seharusnya ia mengikuti permintaan Debora atau tidak di tengah situasi otaknya yang sedang macet, tak bisa berpikir dengan benar, sampai suara Abi memecah konsentrasi Kendra, memberikan kejutan lain pada jantungnya yang rasanya nyaris meledak.
“Mas Kendra, ayo sini.”
Kendra terkejut bukan main. Mulutnya menganga selebar-lebarnya menatap Abi. M — Mas Kendra?? Sementara, yang ditatap tersenyum semanis madu, memikat dan menghipnotis Kendra sehingga tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti perintah sang calon istri. Akal sehat Kendra seakan luluh lantak setiap kali Abi memanggilnya lembut dengan sebutan “Mas Kendra”. Apalagi, kali ini, di depan rekan-rekan kantornya.
“Ayo, Pak. Masa panggilan calon istrinya dianggurin?”
Kendra mengerjap sebelum bangkit berdiri secepat kilat, membuat Calvin dan Noah — yang sedari tadi hanya bisa menonton reaksi Kendra sambil meringis malu — terperanjat.
“I — Iya, saya ke sana.”
Tepuk tangan riuh dari para dewa dan hadirin lain mengiringi langkah Kendra naik ke panggung. Semua orang bersiul menggodanya. Para pegawai perempuan yang sudah lama mengagumi Kendra mungkin patah hati, namun hanya Marlene Indriana yang menatap panggung dengan rasa kebencian. Kalau bukan karena mempertahankan wibawanya di depan para pegawai, ia mungkin sudah mengakhiri pertunjukkan selebrasi Abi secara paksa.
Kendra duduk di kursi persis di sebelah Abi dengan canggung. Tubuhnya yang paling besar di sana membuat dua perempuan di sebelahnya — Abi dan Debora — terlihat seperti kurcaci. Sambil berusaha meredakan debar jantungnya yang cepat, Kendra sesekali mencuri lirik ke arah Abi yang kini masih saja tersenyum percaya diri, tampak tidak ragu sama sekali memamerkan hubungan mereka. Agaknya Kendra merasa senang, namun lebih banyak rasa terkejut yang mampu ia tunjukkan sekarang.
“Pak Kendra, jadi benar, Abi ini calon istri Bapak?”
“I — iya, Abigail calon istri saya,” aku Kendra pelan, malu-malu. Ia melirik Abi sekali lagi yang kini balas meliriknya, seperti memberi suntikkan rasa percaya diri. Kendra menegakkan tubuhnya sedikit. Ia seharusnya menjadi tameng untuk Abi, bukannya malah bersembunyi karena salah tingkah dan malu.
“Gimana Pak rasanya sudah nggak sekantor lagi sama calon istri? Sedih, nggak?”
Kendra menggenggam mikrofon dengan kedua tangannya erat-erat. Ia lalu menggeleng.
“Enggak, kan bisa ketemu seharian di rumah, nanti, kalau sudah nikah.”
Wajah Abi seketika bersemu, tak mengira Kendra akan menjawab dengan polosnya. Jawaban yang lagi-lagi membuat kegaduhan di ruangan. Para hadirin berteriak menyoraki mereka.
“Memang rencana nikahnya kapan sih, Pak, kalau boleh tau?”
Kendra menatap Abi, meminta persetujuan. Tetapi, calon istrinya hanya menggeleng kecil, memberikan kode biar itu tetap menjadi rahasia mereka.
Kendra terkekeh pelan. “Hehe… Tunggu aja undangannya, ya…”
Ia lalu menatap Abi sambil tersenyum. Hatinya terasa penuh dan lega setelah mengungkapkan hubungan mereka kepada orang-orang. Sekarang, meski Abi sudah tidak akan berkeliaran di kantor lagi, Kendra tak perlu ragu-ragu lagi kalau ingin memamerkan Abi sebagai pasangannya. Ia juga tidak akan diledek sebagai bujangan terus oleh para Dewa.
Namun yang luput dari perhatian Kendra — meski tidak luput dari tangkapan mata Abi — adalah lirikan maut yang datang dari Indri. Abi tak yakin ancaman apa yang akan mengintai di baliknya, tetapi untuk sementara, tidak ada yang Abi takutkan lagi. Ia hanya merasa puas dan senang bisa membalik keadaannya dengan Indri sekarang.
Abi harus hidup bahagia dengan Kendra untuk merayakan kemenangannya. Dan yang lebih penting… menghargai hadiah besar yang diberikan Tuhan untuknya: sosok suami yang baik, kebutuhan materi yang akan selalu tercukupi, dan juga sebuah keluarga baru — yang semoga bisa Abi cintai sama seperti ia mencintai keluarganya sendiri.
“Ayo hidup bareng-bareng sampai tua, Mas,” ucap Abi dengan senyum tulus di wajah, di depan gerbang rumahnya ketika Kendra mengantarnya pulang malam itu.
Kendra tertegun mendengar ucapan Abi yang seakan menjawab permintaannya beberapa minggu lalu, kala ia melamar calon istrinya pertama kali.
Kendra tersenyum seraya mengangguk pelan. “Ayo.”
Abi menengadahkan telapak tangannya kepada Kendra. “Salim,” katanya. Wajah Kendra kembali bersemu. Ia mengulurkan tangannya kepada Abi perlahan, sambil berkata,
“Ka — kapan-kapan, boleh nggak… aku latihan megang tangan kamu sebentar?”
Kening Abi mengerut seketika. “Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Takut grogi pas acara nikahan nanti.”
Abi mengulum senyum, menahan tawa, namun pada akhirnya mengangguk juga.
“Boleh. Perlu… latihan cium kening juga?” tawar Abi sambil melirik Kendra malu-malu, lalu merutuki ide konyolnya sendiri. Keduanya sama-sama memalingkan wajah masing-masing yang merah merona.
“Na — Nanti aja, jangan sekarang. Belum siap,” usul Kendra karena tak tahan dengan debar jantungnya sendiri. Ia ingin buru-buru bersembunyi di mobil.
Cepat-cepat ia menyambar tangan Abi, lalu menempelkan punggung tangannya di pipi perempuan tersebut secepat kilat. Setelah itu, Kendra dengan tergesa-gesa melambai pamit kepada Abi.
“A — Aku pulang dulu, ya. Salam buat ayah sama ibu kamu. Malam, Abi….”
Abi menatap Kendra termenung yang tiba-tiba saja sudah hilang bersamaan dengan mobilnya yang meninggalkan area rumah Abi. Semuanya terasa begitu cepat sampai Abi kesulitan memproses seluruh kejadian yang baru saja ia saksikan.
Serius ini gimana kita pacarannya, ya? Batin Abi terheran-heran sambil melangkah lesu ke dalam rumah.
— tbc.