[Mau Nikah?] — Kejutan untuk Abi
Abi berjalan menuju ruangan HRD masih dengan perasaan sedikit dongkol setelah mengobrol dengan Kendra beberapa menit lalu. Di sana, ia menemui Monic dan Noah, keduanya sedang sibuk membagikan bungkusan kepada para pegawai yang datang secara bergiliran — ada yang diwakilkan oleh rekan satu timnya, ada juga yang datang sendiri seperti Abi karena Tina dan Marco sudah lebih dulu mengambil jatah bingkisan mereka masing-masing.
Ketika Abi berdiri dalam antrean, mata Noah sudah menangkap sosok tersebut. Pikiran Noah sontak tertuju pada Kendra yang sedang uring-uringan di dalam ruang kerja pria itu. Noah langsung memberi kode kepada Monic bahwa bingkisan Abi biar jadi tanggung jawabnya. Monic — yang masih menaruh curiga mengenai status hubungan Kendra dan Abi — hanya terkikik sambil tersenyum paham.
“Siang, Pak. Saya mau ngambil bingkisan nataru,” ucap Abi dengan ramah dan sopan ketika ia sudah berdiri tepat di depan Noah. Pria itu balas tersenyum lebar menyambut sapaan Abi.
“Sebentar, ya.” Setelah itu, sosok Noah menghilang.
Selagi menunggu Noah kembali, Abi menatap tumpukan bingkisan di sudut ruangan yang masih tersisa cukup banyak. Mungkin karena banyak pegawai yang sudah terlanjur cuti, bingkisan itu terpaksa diungsikan terlebih dahulu sampai dijemput oleh para pemiliknya. Benar seperti kata Tina, isinya memang banyak, cukup untuk stok jajanan sebulan. Abi sejenak merupakan perasaan jengkelnya, ia tersenyum senang membayangkan ayah dan ibunya pasti senang kalau dibawakan bingkisan saat pulang nanti.
Ketika Abi masih sibuk menghitung jumlah tumpukan bingkisan, Noah kembali. Pria itu tidak datang sendiri, melainkan bersama atasannya — atasan Abi juga, Kendra. Senyum di wajah Abi perlahan pudar, berubah menjadi senyum ala kadarnya, hanya sebatas untuk menunjukkan sopan santun.
“Ehm. Bi — Bingkisan kamu ada di ruangan saya, mari,” ucap Kendra seraya meminta Abi mengikutinya ke ruang kerja pria tersebut, mengabaikan lirikan Monic dengan wajah mesem-mesemnya yang masih sibuk membagikan bingkisan kepada pegawai lain.
Abi yang menaruh curiga langsung melirik Noah yang kini tertangkap basah tengah mengedipkan sebelah mata kepada Kendra, jelas terlihat bersekongkol. Namun, Abi juga tahu, ia tak punya pilihan. Di depan para pegawai lain, ia tak mungkin menolak perintah seorang manajer di depan seorang supervisor pula. Oleh karena itu, Abi hanya bisa pasrah mengikuti Kendra ke ruangannya. Bahkan ketika Kendra telah menutup pintu ruangan dan mempersilakan Abi duduk, ia pun hanya menurut. Percuma saja membuat keributan sekarang, hanya akan membuat reputasi Abi makin jelek dan Indri pasti merasa menang karena membuat keputusan yang tepat memecat seseorang seperti Abi.
Kendra duduk di kursinya sambil melipat bibir, menatap Abi yang jelas-jelas tidak senang berada di ruangan itu dengan perasaan resah.
“Sa — Saya sekalian mau ngomongin soal acara perpisahan kamu.” Ia diam sejenak, menunggu respons Abi, tetapi gadis di hadapannya hanya diam menampilkan ekspresi datar.
“Jadi, soal rencana lamaran — “
“Katanya mau ngomongin acara perpisahan, Pak?” sela Abi dingin.
Kendra mengangguk-angguk cepat. “O — Oh… iya, itu bakal diadakan pekan depan, pas hari terakhir kamu kerja. Terus, soal rencana saya melamar kamu — “ Suara Kendra kian mengecil di bagian akhir seiring tatapan Abi yang makin tajam tertuju ke arahnya.
Abi mengembuskan napas perlahan, mencoba menjaga emosinya tetap stabil.
“Pak, masa kita ngomongin ini di jam kerja? Saya yakin Bapak punya banyak kerjaan yang jauh lebih penting.” Abi tersenyum penuh arti kepada Kendra, cukup untuk memberikan Kendra perasaan horor — mengingatkannya akan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat — hingga membuat bulu kuduk Kendra meremang.
“Ka — Kapan lagi saya punya kesempatan ngomong sama kamu?” tanya Kendra murung. Abi lantas membuka topengnya, ia tak lagi berusaha menahan ekspresi kesalnya di depan Kendra. Namun, melihat raut memelas di wajah pria itu, perasaan Abi langsung goyah. Tidak tega. Ia pun mengembuskan napas pasrah.
“Ya udah, Bapak mau bilang apa?”
Semangat dalam diri Kendra perlahan muncul kembali mendengar nada suara Abi mulai melunak.
“Sa — Saya beneran mau datang ke rumah kamu untuk melamar secara resmi.”
“Bapak udah ngomong kayak begitu berapa kali sejak minggu lalu?” tanya Abi dengan tangan terlipat di depan dada. Kedua alisnya terangkat menatap Kendra yang kini merasa nyalinya mulai menciut, kembali seperti bocah kecil yang sedang dimarahi mamanya. Hampir saja Kendra keceplosan mengatakan, “Ma — Maaf, Ma….”
Untung, Kendra keburu menggulung lidahnya sebelum kata-kata itu keluar. Ia diam sejenak, mencoba meneguhkan keberaniannya agar bisa meyakinkan Abi kembali.
“Kali ini saya beneran serius, Abi….”
Abi mendengus. Ia sudah menyerah memercayai ucapan Kendra perkara rencana lamaran ini yang selalu berakhir menjadi wacana. Bohong kalau Abi bilang ia tidak menunggu kedatangan Kendra di rumahnya. Abi juga maunya tidak peduli, tetapi setiap kali Kendra membatalkan rencana kunjungannya, Abi selalu saja merasa kecewa dan sedih. Apa itu artinya… ia sudah siap menerima Kendra?
“Pak, dengan segala hormat, ini kan jam kerja, nggak enak kalau kita terlalu lama ngobrol soal ini,” tegas Abi. “Saya beneran terserah Bapak aja. Kalau memang serius seperti yang Bapak sampaikan, ya tinggal tunjukkan aja itikad baiknya,” ucap Abi telak.
Kendra pun mengalah. Ia tidak memaksakan lagi melanjutkan pembahasan mengenai topik lamaran ini, takut Abi keburu mengamuk.
Akhirnya, Kendra mengangguk, memaksakan seulas senyum sebelum berdiri, berusaha menegakkan wibawanya kembali di depan Abi yang sempat hilang meski perasaannya masih tetap berantakan. Ia lalu meraih bingkisan milik Abi yang sengaja ia simpan secara khusus di atas kabinet ruang kerjanya.
“Punya saya doang yang disimpan di sini?” tanya Abi sebelum keluar dari ruangan Kendra. Matanya memicing curiga.
“Saya bantu simpan, siapa tau nggak kamu ambil, nanti saya antar ke rumah,” ucap Kendra sambil tersenyum ramah, berusaha mencairkan suasana di antara mereka yang sempat tegang. Dilihatnya Abi sibuk meneliti isi bingkisan yang ia berikan.
“Beneran ada diffuser-nya toh,” gumam Abi sambil membolak-balikkan kotak di tangannya, sejenak melupakan kehadiran Kendra.
“Saya juga dapat,” ucap Kendra riang seraya meraih bingkisan miliknya sendiri yang masih terbungkus rapi di atas meja kerja pria tersebut. “Jadi nanti, di rumah kita, ada dua — “ Kendra terus berbicara tanpa sadar, tak melihat Abi yang kini kembali mendelik tajam ke arahnya.
Kendra otomatis melipat bibirnya kembali, menelan kata-kata yang hampir saja terlontar dari ujung lidahnya. Begitu Abi pergi, Kendra terduduk lemas di kursinya. Matanya terpejam, otaknya seakan tak bisa berhenti merenungkan kata-kata Abi barusan,
Kalau memang serius seperti yang Bapak sampaikan, ya tinggal tunjukkan aja itikad baiknya.
Kendra lantas membuka mata, tekadnya sudah bulat. Ia langsung meraih ponsel dan kontak pertama yang dicarinya adalah: Papski.
Esoknya, Abi tampak sudah melupakan obrolannya dengan Kendra di ruang kerja atasannya tersebut kemarin. Ia punya setumpuk kerjaan hari ini yang membuat Abi melupakan segala urusan pribadinya sendiri. Jangankan memikirkan Kendra, sarapan pun belum sempat. Tangannya sejak satu jam lalu terus menyortir setumpuk dokumen yang tiba-tiba saja muncul di atas meja kerjanya pagi ini — dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Bu Indri — dan harus selesai sebelum jam makan siang karena setelah itu, bosnya akan menghadiri agenda di luar dan tidak akan kembali ke kantor.
Tepat ketika mata Abi masih meneliti satu per satu dokumen, membaca setiap kata — memeriksa format laporan, kesalahan ketik, dan tata bahasanya — Marco datang tergopoh-gopoh dari arah pintu masuk ruangan.
“Baca grup, baca grup,” ucapnya sambil mengatur napas. “Ibu minta rapat dadakan sama tim HRD, mau ngomong soal rencana rekrutmen pegawai awal tahun.”
“Si Marlin ke mana?” tanya Tina spontan menaruh ponselnya di atas meja setelah membaca perintah Indri di grup WhatsApp bersama para sekretaris.
“Lagi ngobrol sebentar di ruangan Pak Ismet. Bi, minta tolong siapin ruang rapat, ya,” pinta Marco yang langsung Abi jawab dengan anggukan patuh.
“Gue ngabarin ke tim HRD deh,” Tina langsung bangkit dari kursinya, lalu sejenak teringat, “Eh, tapi Pak Kendra kan cuti, ya? Tadi gue liat di aplikasi presensi, ada namanya di daftar pegawai yang cuti.”
“Cuti?” ulang Abi sebelum beranjak ke ruang rapat.
Abi dan Tina saling tatap, seolah berbicara lewat isyarat gerak bibir tanpa suara. Lo nggak tau? Abi hanya menggeleng sambil mengedikkan bahu menjawab rasa penasaran Tina.
“Nggak apa-apa, Ibu tau kok Pak Kendra cuti. Lagian, kan ada Pak Noah,” jelas Marco. “Bi, camilan di toples ruang rapat tolong sekalian diisi ulang, ya.”
“Oke, kak,” jawab Abi sambil meneruskan niatnya untuk segera menyiapkan ruang rapat, lalu setelah itu, Abi bisa melanjutkan tugasnya kembali menyortir dokumen.
Di tengah jalan menuju ruang rapat, Abi mendadak terpikirkan status Kendra yang sedang cuti. Agaknya ia khawatir, takut kondisi tubuh Kendra kurang baik.
Setelah obrolan mereka yang kurang menyenangkan kemarin, tiba-tiba saja Abi jadi merasa bersalah. Meski, ia merasa, ia juga memiliki hak untuk marah setelah dipermainkan berkali-kali, namun, Abi tetap saja khawatir. Ia takut sikapnya kemarin sudah kelewatan dan memberikan tekanan mental kepada Kendra.
Abi sudah berniat ingin mengirimkan pesan untuk Kendra ketika tiba-tiba saja, ponselnya berdering tepat ketika Abi sudah berdiri di depan pintu ruang rapat. Keningnya mengerut melihat nama kontak ayahnya tertera di layar.
“Iya, Ay?”
“Nak, pacarmu ada di rumah.”
Kalimat pembuka Basuki seketika membuat tubuh Abi menegang, mulutnya langsung berseru, “HAH??” Untungnya Abi lekas sadar bahwa ia sedang berada di kantor. Seseorang mungkin saja terganggu dengan teriakannya barusan.
Abi langsung memutar kepalanya, celingkukan mencari tahu apakah sekiranya ada orang di sekitarnya. Ternyata, suasana di sekitar ruang rapat sepi. Namun, Abi tetap menyetel volume bicaranya sekecil mungkin.
“M — Mas Kendra?” tanya Abi memastikan, masih belum percaya dengan apa yang disampaikan ayahnya barusan.
“Iya, Nak. Dia datang sama ayah dan ibunya.” Sesaat kemudian, Abi bisa mendengar suara Basuki sedikit gemetar, “P — Pak Langgeng, yang biasa Ayah liat di TV, ada di rumah, lagi makan lemper buatan ibumu….”
Detak jantung Abi terasa makin cepat. Ia buru-buru masuk ke ruang rapat dan menutup pintunya rapat-rapat sambil berusaha menenangkan diri.
“Ay…, Ayah sama Ibu baik-baik aja?”
“Ini Ayah lagi di teras.” Abi tak bisa mendengar dengan cukup jelas, suara Basuki beberapa kali diinterupsi oleh deru suara kendaraan bermotor yang melintas di depan rumahnya. Tapi kalau telinga Abi tidak salah menangkap, ia sepertinya mendengar ayahnya sesenggukan.
“Mereka bilang, mau minta kamu… jadi calon menantunya. Ayah… harus jawab apa?”
Sekarang Abi yakin, Ayahnya sepertinya memang sedang berusaha menahan tangis. Entah bahagia atau sedih, Abi tak yakin. Namun, ini pertama kalinya, pertama kalinya Abi mendengar nada rapuh dalam suara Basuki yang senantiasa terlihat tegar dan kuat di mata Abi. Basuki yang selalu bilang, hidup itu penuh cobaan dan kejutan. Namun sekeras apapun, tetap harus dihadapi. Abi tak pernah menyangka, Basuki yang sama kini yang menangis, ketika membahas soal lamaran yang diajukan seorang pria kepada Abi — putri semata wayang kesayangan Basuki dan Mustika.
Napas Abi terasa makin berat. Matanya ikutan berair hingga pandangannya perlahan kabur. Perasaannya sungguh campur aduk hingga Abi hanya bisa terduduk lemas di lantai sambil separuh berjongkok sementara tubuhnya bersandar pada pintu ruang rapat.
“Ay… Ayah tenangin diri, ya. Abi terserah jawaban Ayah sama Ibu.” Sekuat tenaga Abi menahan getaran dalam nada suaranya, tak ingin membuat Basuki makin sedih.
Bukan lamaran Kendra yang membuat Abi ikut bersedih, tapi kondisi Basuki — dan mungkin Mustika juga — yang tampaknya masih rela-tidak rela melepaskan putri mereka menjadi tanggung jawab orang lain.
“Tapi kamu — kalian — saling sayang kan, Nak?” tanya Basuki dengan suara sedikit lebih jelas, mungkin sudah mulai bisa mengendalikan emosinya.
Abi menelan ludah berat sambil mengingat-ingat wajah Kendra dalam bayangannya. Bagaimana sikap canggung lelaki itu, perhatian-perhatian kecil yang diberikan, dan juga… tatapan tulus ketika Kendra menyampaikan alasannya memilih Abi; Nggak ada alasannya, Abi. Saya cuma nggak mikirin sosok perempuan lain jadi istri saya, selain kamu.
Abi perlahan tersenyum.
“Iya, Ay,” jawab Abi yang membuat Basuki tenang.
“Semoga Nak Kendra memang jodoh terbaik buat kamu, Bi. Bismillah, ya….”
“Iya, Ay. Aamiinn….”
“Ya sudah, kalau begitu Ayah mau masuk lagi ke dalam. Nggak enak ninggalin calon besan lama-lama.”
Abi berusaha bangkit berdiri begitu ayahnya memutus sambungan telepon, berusaha mengumpulkan kewarasannya kembali setelah menerima kabar kedatangan keluarga Kendra secara mendadak di rumahnya untuk melamar Abi. Sejenak ia hanya berdiri — masih bersandar di pintu — sambil memejamkan mata. Ponselnya dipeluk kuat-kuat di depan dada sementara kepala Abi sibuk meyakinkan diri sendiri, apapun keputusan yang dibuat Ayah dan Ibunya, itulah yang terbaik buat Abi.
Doa orang tua, katanya tidak pernah salah.
Bermodalkan keyakinan tersebut, Abi akhirnya kembali membuka mata. Perasaannya terasa jauh lebih ringan sekarang. Abi siap melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda.
Petang menyambut kala Abi tiba di depan pagar rumahnya. Rasa berdebar masih tersisa kalau Abi ingat, tadi pagi, ada keluarga Kendra yang datang ke sini. Mendadak, wajah Abi bersemu, tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ia ikut menerima kedatangan keluarga Langgeng Adinata. Tubuh Abi pasti jauh lebih tegang dibandingkan saat ia menerima panggilan telepon dari ayahnya pagi tadi.
Di petang yang cerah, secerah suasana hati Abi, anak-anak kecil — para tetangganya — masih bermain bola persis di jalanan depan rumah Abi. Bocah-bocah itu mendadak berhenti bermain kala melihat Abi pulang dan hendak membuka pagar rumahnya.
“Tante Abi, Tante Abi, tadi pagi di rumahnya ada Pak Polisi,” ucap seorang bocah lelaki berambut cepak dan bertubuh cungkring. Abi mengenalnya dengan panggilan “Sule” — kependekan dari Sulaiman.
“Iya, Pak Polisinya bawa motor gede, terus nongkrong di depan sini,” ucap bocah lainnya yang bertubuh gempal dan sedikit lebih muda sambil menunjuk pekarangan rumah Abi.
Abi memiringkan kepalanya, sedikit bingung menerima informasi dari tetangga-tetangga ciliknya tersebut. Kenapa sampai ada polisi datang ke rumahnya? Sebenarnya apa saja yang terjadi hari ini? Kenapa seolah Abi melewatkan banyak hal penting?
Dengan banyak pertanyaan di kepala, Abi melangkah masuk ke rumah. Kedatangannya juga langsung disambut oleh kejutan. Di ruang tamu, Abi menemukan sosok tubuh besar Kendra sedang duduk menemani ayahnya bermain catur. Cara Kendra duduk terlihat santai, seolah ia sedang berada di rumahnya sendiri. Raut wajahnya juga tidak terlihat gugup, biasa saja. Kendra seperti tengah bermain catur dengan rekan karibnya sendiri.
Dua pria di hadapan Abi otomatis menoleh ketika sinar mentari yang menyorot lewat pintu masuk rumah tiba-tiba saja redup, terhalang oleh kehadiran sosok perempuan yang sudah Kendra nantikan sejak pagi.
“Loh, Bapak — M — Mas Kendra masih di sini?” ucap Abi spontan sambil menatap Kendra membelalak sebelum ganti menatap Basuki, meminta penjelasan.
“Kok kamu pulang cepat nggak ngabarin minta dijemput?” tanya Basuki heran, tidak menjawab pertanyaan Abi sama sekali.
“Tadi Abi naik ojek online — “
“Ayah kan sudah bilang, jangan suka pulang naik ojek online, bahaya,” cerocos Basuki seraya berdecak. “Ayah bisa jemput, calon suami kamu juga pasti nggak keberatan kalau diminta jemput. Ya kan, Nak Kendra? Kamu bisa kan naik motor matic biasa? Ya sudah agak tua, sih. Tapi masih bisa digunakan.”
Kendra mengangguk cepat dan yakin. “Bi — Bisa, Om.”
Mata Abi bertatapan kembali dengan Kendra, tiba-tiba saja ia kehilangan kata-kata pembelaan yang sudah Abi siapkan. Otaknya mendadak tak berfungsi setelah mendengar ayahnya menyebut Kendra sebagai “calon suamimu” kepada Abi. Melihat Kendra masih berada di rumah Abi juga, Abi kini tahu jawaban apa yang diberikan ayah dan ibunya terhadap lamaran yang diajukan keluarga Kendra.
Jantung Abi berdegup kencang kembali. Untungnya, Mustika segera datang menyelamatkan kondisi Abi yang nyaris cegukan karena salah tingkah dan ingin segera membenamkan wajahnya di kasur.
“Abi, kok malah bengong di pintu begitu. Sini, bantuin Ibu nyiapin makan malam. Biar calon suamimu ditemani Ayah aja. Mereka dari tadi asyik kok main catur berdua.”
“I — Iya, Bu.”
Abi melirik Kendra sekali lagi — yang masih saja terus-terusan menatapnya seperti patung — sebelum berlari ke kamar. Ia menaruh tas kerjanya sambil berusaha menenangkan diri, takut Ibunya nanti menangkap basah Abi membantu memasak dengan wajah tersipu-sipu.
Namun mau dipaksa seperti apapun, baik Abi maupun Kendra sepertinya tidak bisa menahan raut bahagia di wajah keduanya. Sepanjang makan malam, sambil duduk bersebelahan di meja makan rumah Abi yang sempit, Abi dan Kendra mendengarkan rentetan nasihat rumah tangga yang disampaikan Basuki dan Mustika secara bergantian.
“Menikah itu cobaannya banyak. Tapi yang penting… komunikasi harus dijaga, sama pasangan itu harus terbuka,” pesan Basuki.
“Menikah juga bukan tentang siapa yang paling cinta dan paling banyak berkorban, tapi siapa yang mau mengalahkan ego buat menjaga hubungan,” tambah Mustika.
Kendra dan Abi hanya mengangguk-angguk sambil sesekali saling lirik ketika mendengarkan. Keduanya bahkan juga nyaris tak saling bicara hingga perjamuan malam itu berakhir. Bukannya tak mau, tetapi memang tak punya kesempatan karena nasihat yang diberikan Basuki dan Mustika seperti tiada akhirnya. Abi baru sadar, ternyata banyak sekali pekerjaan rumah yang perlu “dibenahi” tentang hubungannnya dengan Kendra.
Tiba waktunya bagi Kendra pamit undur diri dari rumah calon mertuanya, baru di momen tersebut, Kendra dan Abi punya kesempatan mengobrol berdua saja. Abi mengantar Kendra keluar. Keduanya berjalan sepelan siput — menikmati momen berdua — dan berhenti persis di pekarangan rumah Abi. Jelas masih ingin mengobrol meski hanya sebentar.
“Tadi, Papanya Mas — Bapak, maksud saya — “
“M — Mas aja, nggak apa-apa,” sela Kendra.
Abi tersenyum canggung. “Tadi, Papanya Mas… bawa polisi?”
Kening Kendra mengerut mendengar pertanyaan Abi. “Polisi?”
“Iya, kata bocah-bocah yang main bola di depan rumah, tadi ada polisi yang nongkrong di halaman rumah saya.”
Kendra memutar bola matanya, berpikir sejenak. Tak lama, ia tersenyum. “Oh… itu, patwal.”
“Emang Papanya Mas ke mana-mana harus pakai patwal?”
“Papski — Papa saya itu nggak punya cuti, Abi. Punya secara administrasi, tetapi secara praktiknya nggak bisa digunakan. Jabatan itu tetap melekat. Harus selalu dikawal karena bisa tiba-tiba aja dapat panggilan mendadak dari Presiden.”
Abi mengangguk-angguk paham. Setidaknya, ada satu hal lagi yang baru ia ketahui dari kehidupan darah biru calon suaminya.
“Makasih ya, Mas, udah datang sama keluarganya,” ucap Abi seraya tersenyum tulus yang membuat hati Kendra seperti meleleh.
Kalau tadi ayahnya bilang kepada Basuki tentang rencana pernikahan antara ia dan Abi bisa segera dilaksanakan sekembalinya Langgeng dari perjalanan dinas ke Rio de Janeiro — artinya, 3 bulan lagi — Kendra berharap pernikahannya bisa dipercepat dari waktu itu. Bulan depan, kalau memungkinkan. Pasalnya, Kendra juga tidak sabar ingin pamer kepada rekan-rekan kantornya kalau kini ia juga sudah memiliki pendamping. Terutama kepada para dewa yang terus-terusan meledek statusnya yang masih melajang.
Pandangan Kendra lalu tertuju pada tangan dan jemari Abi yang polos.
“Saya… boleh pinjam tangan kamu, nggak?”
“Buat apa?” tanya Abi penasaran.
“Mau ngukur, buat beli cincin,” jawab Kendra polos yang membuat Abi ingin tertawa.
“Kenapa belinya nggak barengan?”
Kendra terkekeh sambil mengusap kepalanya. “Oh iya, ya… hehe… Tapi saya tetap mau minjem tangan kamu, boleh?”
Abi mengulurkan tangannya sesuai permintaan Kendra, sementara lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari saku celananya. Kening Abi mengerut. Namun, ketika melihat apa yang dikeluarkan Kendra dari dalam kotak, mata Abi mengerjap terkesima.
Dengan isyarat tatapan, Kendra meminta izin kepada Abi untuk memakaikan gelang sederhana — dengan hiasan sedikit permata dan plat polos pada bagian tengahnya — di tangan perempuan tersebut. Abi mengangguk memberi izin.
Bukan betapa mengilatnya gelang pemberian Kendra yang membuat mata Abi tak bisa berkedip dan degup jantungnya berlarian, tetapi apa yang tertulis pada bagian plat gelang. Tipis dan nyaris tak kasatmata,
“Luihara Adinata,” ucap Abi lirih seraya mengusap nama barunya pada plat gelang tersebut. Rasanya masih aneh mendengar ada nama tambahan di belakang namanya sendiri. Namun, ia harus mulai membiasakannya.
“Saya memang belum bisa ngasih cincin, tapi semoga ini cukup jadi pengikat hubungan kita sekarang.”
Abi mengalihkan pandangannya kepada Kendra. Perlahan, ia mulai merasa ada yang berubah dari caranya menatap lelaki itu. Perasaan seperti… Abi memiliki seseorang yang bisa ia percaya dan andalkan, tempat ia bisa menceritakan keluh-kesahnya, susah-senangnya.
Abi mulai melihat Kendra seperti… calon teman hidupnya sampai tua nanti.
“Makasih, Mas,” ucap Abi dengan ketulusan dan rasa syukur tersirat.
“Saya pulang dulu, ya,” pamit Kendra begitu mobil jemputan Pak Dadang tiba. “Sampai jumpa besok, di kantor,” ucap Kendra lalu melambai singkat dan meninggalkan pekarangan rumah Abi, membiarkan Abi sendiri yang masih mencoba mencerna seluruh kejadian hari ini. Satu kejadian yang akan segera mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat.
Malam itu juga, Abi tak bisa tidur. Ia sibuk menatap gelang di tangannya sambil masih saja terngiang-ngiang percakapan antara ayahnya dengan Kendra di meja makan tadi, saat ia dan ibunya sibuk mencuci piring di dapur.
“Nak Kendra, nanti kalau sudah menikah, Abinya nggak apa-apa ya sering diajak main ke sini?”
“Iya, Pak. Biar bagaimanapun, Abi kan tetap anak Bapak sama Ibu juga sebelum jadi istri saya.”
Sebelum jadi istri saya.
Sebelum jadi istri saya.
Rasa haru memenuhi perasaan Abi malam itu. Tidak ada lagi keragu-raguan. Hatinya sudah mantap kali ini memilih Kendra sebagai pasangan hidupnya.
— tbc.