[Mau Nikah?] — Keluarga Darah Biru
Minggu pagi, di saat sebagian orang bersemangat menghirup udara segar, Abi sibuk berkutat dengan kerupuk udang goreng — cemilan kesukaannya, sayang, harganya lumayan mahal. Sejak kecil, kalau disuruh membantu ibunya membuat besek, Abi paling senang bagian memasukkan kerupuk, karena di situlah kesempatannya mencuri remahan-remahan kerupuk yang berserakkan di sekitar tampah.
Mustika, sang ibu, tak jarang menegur agar Abi kecil tidak menggerogoti kerupuk yang sudah ditakar pas jumlahnya sesuai jumlah pesanan besek. Kadang, Abi cemberut kalau ibunya tak menyisakan sedikit jatah kerupuk untuknya. Abi bakal merajuk dan tak mau makan kalau tidak kebagian jatah kerupuk. Namun, semakin Abi dewasa, hal itu tak pernah terulang lagi.
Sambil menemani sang ayah merakit rak susun di ruang keluarga, dengan telaten jemari jenjang dan lentik Abi memasukkan satu per satu kepingan kerupuk ke dalam plastik untuk disatukan ke dalam besek yang sedang disiapkan oleh sang ibu di dapur. Karena ukuran dapur mereka sempit, terpaksa Abi ikutan mengungsi ke ruang keluarga. Abi menggeleng ketika melihat sang ayah mengernyit, berusaha membaca instruksi perakitan.
“Kan Ayah udah Abi beliin kacamata baru, kenapa nggak dipake? Malah pakai yang itu katanya udah nggak cocok?”
“Sayang, nak. Yang kamu beliin kan mahal. Peranti jalan-jalan aja.”
Basuki kembali melipat lembar instruksi. Tangannya mulai sibuk mengatikan tiang lemari dengan mur. Hati Abi mencelus seketika dilihatnya tangan sang ayah yang bergetar pelan. Maklum, sudah renta.
Tak lama, Mustika datang menyusul sambil menyusun besek yang sudah tertutup rapi di tepian dinding. Ia menghela napas melihat Abi menikmati waktu luangnya menyiapkan besek sambil bersenandung riang.
“Kamu tuh malah bantuin Ibu nyiapin besek. Kan ada Bi Irma. Anak muda akhir pekan begini semestinya keluar, jalan-jalan, kencan.”
Abi melirik ibunya yang kini memilih duduk bersandar di kursi ruang keluarga mereka yang usang, persis di sebelah Abi. Tangan Mustika ikutan repot membantu Abi agar pekerjaannya cepat selesai.
“Ya kencan kan harus punya pacar dulu, Bu. Atau paling nggak punya teman dekat cowok.” Abi bersungut-sungut. Tangannya tak berhenti menggosok plastik kiloan agar mudah dibuka. “Lagian, jalan-jalan nggak ada tujuan mah ngabisin uang aja. Mending ditabung, biar bisa lunasin sawah Ayah sama berangkatin Ibu dan Ayah umroh.”
Mustika dan Basuki berpandangan. Perasaan keduanya campur aduk mendengar perkataan sang putri semata wayang. Abi adalah anak yang sangat berbakti. Ia bahkan rela mengorbankan masa mudanya untuk membahagiakan kedua orang tuanya — hal yang sebenarnya membuat Basuki dan Mustika bersyukur, namun juga dilanda rasa sedih. Terlalu banyak pengorbanan yang Abi lakukan, sementara gadis itu tak pernah mengharapkan apapun untuk dirinya sendiri.
Mustika memalingkan wajahnya dari Abi, mencoba menarik kembali air yang tiba-tiba saja menumpuk di sudut-sudut matanya. Melihat istrinya hampir menangis, Basuki mencoba mengalihkan perhatian Abi.
“Emang kamu nggak punya teman dekat cowok, nak?”
Abi menghela napas sambil tertawa dalam hati. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia dekat-secara romantis — dengan seorang pria.
“Gimana mau punya, Ay? Tiap pagi buta berangkat kerja. Pulang, udah gelap. Jagankan ketemu cowok, ketemu matahari juga nggak.” Basuki terkekeh mendengar sambatan putrinya.
“Ya makanya, kalau akhir pekan begini, kamu jalan-jalan, cari kenalan baru. Jagan diam aja di rumah.” Tangan mustika kembali sibuk membantu Abi mengepak kerupuk udang.
“Capek, Bu. Waktu istirahat Abi kan cuma pas akhir pekan.”
“Ya, ini kamu malah bantuin Ibu.” Mustika menatap Abi dengan kedua alis terangkat. Dilihatnya putrinya hanya terkekeh. Susah sekali memang memberi tahu Abi kalau dia sudah kekeuh dengan keputusannya.
“Ibu ini aneh banget, dibantuin malah protes. Ini kan namanya menyambut rejeki, Bu.”
Abi cemberut melihat Mustika merebut tampah berisi kerupuk udang goreng dari hadapan Abi, hendak membawanya kabur ke dapur, dan menyelesaikannya di sana. Abi menatap Basuki, meminta pembelaan.
“Udah… udah… kok malah jadi ribut?”
Mustika menatap Abi sedikit galak, melarang keras Abi membantunya lagi. “Udah, ini kan tinggal masukin kerupuk aja. Ibu bisa sendiri. Kamu istirahat aja, Bi. Besok kan kamu masih harus kerja.”
Abi memberengut. Ia pasrah kala tampah kerupuk kesayangannya benar-benar dibawa pergi oleh sang ibu. Sang ayah pun sama, malah pura-pura sibuk merakit lemari dan mengabaikan tatapan memelas Abi.
“Kalau gitu, Abi bantuin Ayah aja — ”
“Udah… Ayah bisa sendiri. Kamu istirahat aja sana lho di kamar. Hobi kok bantuin orang tua,” ledek Basuki sambil terkekeh.
Abi mengernyit keheranan. Bisa-bisanya orang tuanya malah keberatan di saat Abi ingin membantu. Abi rasa, siapapun calon suaminya nanti pasti bakal merasa beruntung memiliki mertua superbaik hati seperti ayah dan ibunya. Sayang saja, orangnya belum ketemu. Kapan ketemunya juga Abi kurang tahu. Masih jadi misteri Ilahi yang belum terpecahkan.
Abi melangkah sempoyongan menuju kamarnya setelah mencuci tangan. Karena bangun di pagi buta untuk membantu menggoreng kerupuk, ia jadi mengantuk sekarang. Padahal, waktu makan siang saja belum tiba.
Abi merebahkan tubuh di kasur sambil memainkan ponsel. Selagi menunggu matanya benar-benar terpejam, ia asyik menjelajah berbagai konten di sosial media. Hampir semua konten yang lewat — baik foto maupun berita — sengaja ia baca, untuk menambah wawasan, baik yang bermanfaat ataupun tidak (seperti tebak-tebakan receh).
Matanya sudah nyaris tertutup ketika Abi memandang salah satu konten berita tentang seorang pejabat. Judul beritanya tak terlalu mengundang minat, “Langgeng Adinata Jadi Calon Tunggal Kepala Dewan Pengarah Pembangunan Nasional”.
Sesungguhnya, bukan sang pejabat yang membuat mata Abi gagal terpejam, tetapi sosok pria yang berdiri sejajar dengan Langgeng Adinata itulah yang membuat rasa kantuk Abi hilang seketika.
Sang pria — yang membuat Abi tertarik — mengenakan setelan jas berwana senada dengan sang pejabat. Di samping pria itu, ada juga seorang pria lain yang tampak lebih tua. Lalu, dan di sisi lain sang pejabat, tampak dua orang wanita — satu berusia sekitar 50 tahun dan satu lagi tampak beberapa tahun lebih tua dari Abi — tersenyum anggun dalam balutan kebaya biru gelap.
Perhatian Abi tertuju pada sosok pria paling muda dalam foto tersebut. Ia mengenalnya, bahkan sangat familiar dengan sosok tersebut.
Pak Kendra? Batin Abi.
Tangannya lalu dengan cepat membuka profil sosial media Langgeng Adinata. Dari nama keluarganya saja, Abi bisa menebak sang pejabat itu adalah ayahnya Kendra. Abi lantas mencari nama Kendra — atau yang sekiranya mirip — di daftar akun yang diikuti oleh Langgeng. Matanya melebar ketika ditemukannya sebuah akun dengan nama pengguna @kenadinata. Foto yang digunakan pun jelas adalah foto Kendra yang Abi kenal. Kendra, si alien.
Tanpa ragu-ragu, Abi langsung mengunjungi profil atasanya tersebut. Ia mendesah kecewa ketika dilihatnya profil tersebut terkunci. Abi melempar ponselnya ke ujung kasur, langsung kehilangan selera.
Ini mah bukan darah biru lagi… Kok bisa orang orang kayak dia milih jadi pegawai biasa aja di SMFood? Apa jangan-jangan Bapaknya yang punya kantor ini, ya?
Abi tak berhenti berasumsi. Pada akhirnya, bukan rasa lelah lah yang membuat Abi terlelap, akan tetapi rasa penasaran tentang latar belakang Kendra yang masih menjadi misteri di kepalanya.
— tbc