[Mau Nikah?] — Kendra Sakit

soljaecruise
8 min readFeb 23, 2025

--

“Mas kenapa nggak bilang kalau sakit?”

Abi duduk di tepi kasur besar milik Kendra, tempat di mana tunangannya terbaring lemas. Jangankan menjawab, menjaga matanya tetap terbuka saja Kendra tampak kesulitan. Yang ia rasakan saat ini tenggorokannya seperti terbakar, saluran napasnya sedikit tersumbat, tubuhnya tak bisa keluar barang satu sentipun dari selimut — saking menggigilnya meski pendingin ruangan tidak menyala, dan kepala pria itu pening bukan main, seperti dihantam palu berkali-kali.

Abi menaruh punggung tangannya di kening Kendra sambil menatap cemas sang tunangan yang terus-terusan merintih — persis seperti anak kecil. Kendra bergelung hingga selimut yang ia kenakan ikut tergulung, membungkus tubuh pria itu seperti kepompong. Tubuhnya condong ke Abi.

“Kamu… nanti ketularan sakit loh…,” gumam Kendra tak jelas.

Abi berdecak. “Yang harusnya kamu khawatirin sekarang itu diri kamu sendiri, Mas. Kenapa nggak cerita beberapa hari kemarin kamu pulang malam gara-gara sibuk ke luar kota?”

“Kok kamu tau?” volume suara Kendra makin mengecil, seiring dengan kesadarannya yang kian menipis. Kendra hampir kembali terlelap.

Tangan Abi meraih tangan Kendra, menggenggamnya erat. “Kak Tina yang cerita. Lain kali aku nggak mau ya dengar cerita kaya gini dari orang lain,” omel Abi yang dijawab dengan anggukan lemas Kendra.

“Iya, Bi….”

Abi mendesah, merasa bersalah sudah mengomeli orang sakit. Padahal masih ada satu omelan lagi yang belum ia keluarkan. Ia melirik bubur di atas meja samping tempat tidur yang belum tersentuh dan mulai berair sebelum kembali menatap Kendra prihatin.

“Mas tunggu dulu, ya. Aku bikinin bubur yang baru.”

Kalimat Abi tak direspons. Hanya dengkuran halus yang terdengar dari bibir sang tunangan. Kemudian, Abi melangkah keluar dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sama sekali agar Kendra bisa kembali beristirahat sambil menunggu makanannya selesai dibuat.

Dengan modal bertanya kepada ibunya, Abi mulai memeriksa isi kulkas seorang bujangan Kendra Adinata yang ternyata cukup lengkap. Tampak jelas ada orang yang rutin berbelanja dan mengisi kulkas Kendra. Mungkin sang ART yang biasa datang pagi dan sore — yang juga sudah membuatkan Kendra bubur tapi berakhir tidak dimakan, pikir Abi.

Sambil memasak, mata Abi menelusuri apartemen Kendra yang tak terlalu luas, namun juga tak terlalu kecil. Cukup untuk ditinggali oleh sepasang pengantin baru — meski, Abi dan Kendra sendiri belum sempat membahas di mana mereka akan tinggal setelah menikah.

Abi berharap ia masih bisa tinggal di rumah orang tuanya, tapi ia sadar betul, kamarnya terlalu sempit untuk ditempati oleh dua orang sekaligus. Kasurnya pun hanya berukuran single, tidak seperti kasur Kendra yang berukuran jauh lebih besar. Membayangkan suatu hari ia akan tinggal di kamar yang sama dengan Kendra, mendadak wajah Abi terasa panas dan merah. Jelas bukan karena uap dari panci bubur yang menerpa wajahnya, tetapi karena bayangan hidup berumah tangga bersama Kendra yang sampai sekarang masih abu-abu untuk Abi.

Hampir seluruh perabotan rumah tangga di rumah Kendra memiliki desain minimalis, tipikal smart home furniture and appliances yang akan meringankan beban kerja Abi sebagai ibu rumah tangga nanti — atau justru makin merepotkan karena saking canggihnya, Abi bingung cara menggunakannya, seperti pengalamannya di kelas memasak kemarin, yang akhirnya membuat Abi perlu banyak bertanya kepada Titiek hingga calon mertuanya itu mendelik sinis. Kamu ini tinggal di mana hari gini nggak tahu cara pakai mesin pencuci piring? Abi terngiang ucapan Titiek yang berhasil membuat Abi malu dan tak bisa berkata-kata kemarin.

Mungkin Abi perlu bertanya, bolehkah ia membawa cobek, dandang, nampan dan bakul anyaman yang biasa ia gunakan untuk memasak ke apartemen Kendra? Barangkali, kehadiran benda-benda tersebut akan merusak tampilan elegan apartemen calon suaminya.

Abi mengangguk-angguk, mengingatkan dirinya sendiri untuk membahas ini dengan Kendra di lain kesempatan. Tangannya kembali sibuk mengaduk-aduk bagian bawah panci agar buburnya tidak gosong.

Begitu masakannya jadi, Abi segera membawanya selagi hangat kepada Kendra.

“Mas, ayo makan dulu. Habis itu minum obat. Nggak mau ke dokter aja?” tanya Abi cerewet, saking khawatirnya melihat Kendra yang biasa segar-bugar kini tampak pucat dan lesu. Untuk duduk bersandar pada dipan kasur saja perlu Abi bantu.

Kendra menggeleng pelan. “Nanti juga sembuh,” jawabnya serak. Ia mengintip ke sela-sela gorden, melihat sinar matahari mulai redup. “Kamu pulangnya jangan kemalaman. Nanti pulang sama Pak Dadang — “

“Mas ngusir?” jawab Abi dengan wajah cemburut.

Kendra mengembuskan napas lemah sambil membuka mulut, menerima suapan pertama makanannya. “Hukan gitu….”

“Iya, Mas tenang aja. Sekarang yang penting Mas sembuh dulu.” Abi kembali menyuap sesendok bubur ke mulut Kendra. “Tadi aku udah ngabarin Mama kalau kamu sakit. Terus, Bu Atik juga sempat datang, tapi aku minta pulang aja. Nanti biar aku yang beres-beres….”

“Nanti kamu kecapekan — “

“Suuttt…,” Abi menaruh telunjuk di depan bibirnya. “Orang sakit nggak boleh protes.” Dengan begitu, Kendra pun hanya bisa pasrah.

“Besok pagi kalau masih sakit, Mas harus ke dokter, ya.”

Kendra mengangguk, menurut sekali lagi. Meski Abi jadi cerewet, ia justru merasa senang karena diperhatikan.

Sejak tinggal sendiri — usai lulus kuliah, Kendra hampir selalu mengurus segala kebutuhannya secara mandiri. Memang masih dibantu oleh Bu Atik, yang merupakan ART kiriman Titiek — kepercayaan keluarganya — soal mengurus rumah. Namun setiap kali sakit, Kendra selalu berjuang sendirian. Ia jarang mengadu kepada Titiek karena justru kalau ibunya datang menjenguk, yang ada Kendra akan diceramahi habis-habisan soal “coba kalau kamu tinggal di rumah, coba kalau kamu kerja di perusahaan keluarga, kamu nggak bakal dieksploitasi sampai sakit begini.”

Jadi, Kendra justru merasa lebih tenang kalau ia tidak bercerita. Meski kadang, Titiek juga bisa saja tiba-tiba datang tanpa peringatan untuk menjenguk putranya yang tinggal seorang diri — kadang hanya untuk memastikan bahwa Kendra tidak membawa seorang perempuan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan ke apartemen pria tersebut.

Padahal, Titiek tahu betul tabiat putra bungsunya. Sejak kecil, kedua putranya selalu dididik untuk selalu menjaga nama baik keluarga. Itulah alasan yang membuat Kendra selalu berhati-hati dalam bersikap, terlebih kepada perempuan. Ia takut secuil kesalahan yang ia lakukan akan berdampak buruk pada nasib keluarganya, seperti yang selalu diwanti-wanti Titiek.

“Jaga nama baik keluarga. Sikapmu itu diperhatikan orang-orang. Jangan sampai karena ‘kepeleset sedikit’ nasib keluarga kita jadi taruhannya. Hargai kerja keras Eyang Kakung dan Papamu.”

Kini, Kendra bersyukur, ada Abi — sosok yang dianggapnya paling sempurna untuk menjadi pasangan hidup sekaligus menantu di keluarganya. Sosok yang bisa Kendra percaya untuk menjaga nama baik keluarganya dengan penuh dedikasi, seperti yang ia lakukan. Sifat penurut dan penyabar Abi lah yang membuat Kendra yakin untuk mempersunting gadis itu sebagai calon istri pada akhirnya.

Usai menghabiskan semangkuk penuh bubur buatan Abi dan minum obat, Kendra kembali beristirahat.

“Kamu jangan pulang malam-malam. Nanti dicari Ayah sama Ibu,” pesan Kendra lagi sebelum Abi menutup pintu kamar Kendra, hendak mencuci piring dan membersihkan apartemen tunangannya tersebut.

“Iya, Mas… Habis beres-beres, aku minta jemput Pak Dadang.”

Namun nyatanya, usai mencuci piring, membersihkan debu dengan vacuum cleaner, lalu mengepel, Abi justru kelelahan. Tenaganya habis setelah seharian ini banyak beraktivitas — termasuk membantu ayahnya merapikan gudang sebelum berangkat ke apartemen Kendra.

Niatnya hanya duduk sebentar untuk mendinginkan tubuh sambil menonton drama Korea di ponselnya. Tak tahunya, Abi malah kebablasan dan justru jatuh tertidur di sofa ruang keluarga apartemen Kendra.

Paginya, ketika Abi terbangun, sudah ada sosok Titiek duduk sambil bersedekap di hadapannya. Wajah TItiek tampak murka.

“Kalian ini belum nikah, ngapain kamu nginap di rumah anak saya? Bagaimana kalau ada yang liat?!”

Abi otomatis bangkit duduk, menegakkan tubuh sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia menunduk, malu sekali. Terlebih, tak lama kemudian sosok Kendra muncul, berjalan keluar dari kamar sambil memandang Abi dan ibunya bergantian, terkejut.

“Lho, kamu udah dateng lagi sepagi ini?” tanya Kendra bingung. Namun, melihat penampilan Abi yang seperti baru habis bangun tidur, Kendra jadi ragu. Pakaian gadis itu pun masih sama.

“Tunanganmu ini tidur di sini. Memangnya kamu nggak tahu?” Titiek kembali mendelik ke arah Abi. “Kamu nggak izin yang punya rumah mau menginap di sini?”

“Ma — Maaf, Ma. Saya ketiduran habis beres-beres — “

“Memangnya kamu ini pembantu di sini? Saya kan sudah kirimkan Atik setiap hari buat- beres-beres. Kamu jangan bikin alasan buat membenarkan perbuatan kamu itu — “

“Ma,” Kendra menyela dengan tegas. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Abi dengan jarak cukup jauh. “Abi ini ngurusin Kendra sakit kemarin.”

“Tapi kan nggak harus sampai menginap. Kalau sampai ada yang lihat, bagaimana? Kamu mau nama keluarga kita dipertaruhkan — “

“Mama jangan berpikir berlebihan begitu, Ma,” tegur Kendra sopan yang justru membuat Titiek makin murka.

“Berlebihan??” Wajah Titiek kian merah, menahan emosi. “Kalau bukan karena Mama yang ngedidik kamu dan kakakmu untuk selalu menjaga sikap, nama baik keluarga kita belum tentu bisa kayak sekarang. Asal kamu tahu aja, Mama ini mati-matian menjaga nama harum keluarga Papamu, bukan keluarga Mama sendiri. Terus sekarang, calon istrimu, yang kamu bela mati-matian ini… dengan CEROBOHNYA menginap tanpa izin,” ucap Titiek berapi-api.

Setiap kata-kata keluar dari bibir Titiek, Abi kepala Abi semakin merunduk dalam. Ia benar-benar tak menyangka sikap kurang kehati-hatiannya akan menimbulkan keributan sebesar ini, sepagi ini. Jam bahkan belum menunjukkan pukul delapan pagi. Belum lagi Abi mengecek ponselnya. Ia yakin, Ayah dan Ibunya pasti juga khawatir dan panik mencarinya.

“Ma, udah, Ma. Mama yang tenang,” ucap Kendra sambil pindah duduk ke sebelah ibunya. Tangan Kendra sigap mengusap-usap bahu Titiek, berusaha menenangkan, sambil sesekali melirik Abi, mengisyaratkan permintaan maaf atas sikap kasar ibunya.

Titiek membuang wajahnya dari Kendra dan Abi. Ia berusaha mengendalikan emosinya yang terlanjur meledak sambil tangannya memijat pelipis perempuan itu sendiri.

“Pulang. Kamu pulang sekarang,” usir Titiek dingin kepada Abi.

Abi menengadahkan wajah, menatap Titiek bingung. “I — Iya, Bu. Saya pulang sekarang.”

“Aku antar, ya?” tawar Kendra yang langsung disambut kembali oleh lirikan tajam Titiek.

“Biar dia pulang sama Dadang. Kamu di sini aja, istirahat. Jangan sampai kalian keliatan berdua pagi-pagi begini,” ucap Titiek tajam.

Kendra mendesah, mau membantah, tapi takut Titiek semakin mengamuk. Ia lalu melihat Abi menggeleng ke arahnya, berusaha meyakinkan Kendra kalau lebih baik ia menuruti kata-kata sang ibu.

“Sa — Saya pamit pulang dulu, Ma…,” pamit Abi terbata-bata yang tak direspons sama sekali oleh Titiek. Perempuan paruh baya itu kembali membuang wajah ke arah balkon apartemen Kendra sambil memejamkan mata.

“A — Aku antar sampai depan pintu.”

Kendra bergegas berdiri menyusul Abi yang sudah berjalan cepat ke pintu depan apartemennya. Ia mengambil jaket yang digantung di depan pintu masuk, lalu memakaikannya ke tubuh Abi.

“Di luar mendung, dingin. Kalau udah sampai rumah kabarin, ya,” ucap Kendra pelan. “Nanti tunggu Pak Dadang di lobi aja, jangan di luar.”

Abi mengangguk patuh. ”Mas juga istirahat, ya. Cepet sembuh. Dadah….” Abi melambai sambil memaksakan seulas senyum kepada Kendra.

Sambil melepas kepergian Abi dengan berat hati, Kendra balas melambai, merasa sedih karena Abi harus menerima perlakukan seperti ini. Ia terus menatap sosok Abi berjalan cepat menuju lift di ujung lorong, hingga sosok mungil tunangannya itu menghilang.

Rasanya baru ditinggal beberapa detik, perasaan Kendra yang sempat hangat melihat kehadiran Abi di apartemennya sudah hampa lagi.

Dan sekarang, ia harus kembali menghadapi amarah ibunya.

tbc.

--

--

Responses (1)