[Mau Nikah?] — Klub Eksklusif
Kolam koi di taman belakang gedung Subeomrasa Makmur adalah saksi bisu, tempat di mana banyak orang menuangkan segala keluh kesah. Banyak cerita dan obrolan rahasia tumpah ruah di sana. Sejak lama, tempat itu menjadi markas bagi mereka yang tak memiliki wadah untuk bersuara.
Jangan kira hanya pegawai kelas rendahan saja yang datang ke sini. Pada sore hari, mendekati jam pulang kerja, “para dewa” akan keluar dari singgananya dan mampir ke sini untuk merundingkan perkara penting, hal yang tak bisa diutarakan pada rapat-rapat resmi di dalam gedung tinggi pencakar langit tempat mereka bekerja; atau lebih umum disebut sebagai tempat bergunjing.
Pukul empat sore ini, ponsel para dewa berdenting, pertanda bahwa perundingan kolam koi perlu segera diselenggarakan selagi ketua mereka — Bu Indri — tidak berada di tempat. Kendra — yang sedang meneliti laporan penghitungan pembayaran gaji bulan depan — terperanjat kala dilihatnya Pak Pandu tiba-tiba saja menerobos masuk sambil menatap suasana di luar ruangan dengan waswas. Atasannya itu lalu memberikan isyarat tangan kepada Kendra untuk mengikutinya.
“Ke mana, Pak?” tanya Kendra bingung. Namun begitu, ia tetap menurut.
Kendra mengancingkan jas sambil berjalan dengan langkah tegap mengikuti Pandu menuju lift. Pertanyaannya belum dijawab. Namun menilik ekspresi penuh ketegangan di wajah Pandu, Kendra tebak, mungkin ada perkara serius.
Pandu tampak celingkukan begitu pintu lift hampir tertutup. Kendra memperhatikan dengan bingung ketika Pandu akhirnya menarik napas lega saat pintu lift tertutup.
“Aman. Kamu liat Bu Indri nggak tadi?”
“Beliau bukannya langsung pergi ke acara ulang tahun Bank Semesta habis rapat tadi? Pas mau balik ke ruangan, saya liat Marco udah siap nunggu di depan lift.”
“Syukurlah.”
“Emang kenapa, Pak? Ini kita mau ke mana, ya?”
Pandu menyapu debu-debu halus dari setelan jas abu-abunya — sedikit mengabaikan pertanyaan Kendra — sambil memeriksa saku bagian dalam pakaiannya tersebut. Ia mengeluarkan isi di dalamnya, sekotak sigaret, lalu menyodorkannya kepada Kendra.
“Mau?”
Kendra menggeleng cepat. “Saya punya asma, Pak. Bapak mau merokok di sini?”
“Ya buat nanti, di kolam koi.”
“Loh, saya kira ini saya mau diajak rapat?”
“Iya, rapat, tapi di kolam koi.”
Kendra termenung kebingungan. Ia sampai meninggalkan pekerjaan penting karena dikiranya ada hal mendesak yang perlu dibahas. Tak tahunya… malah diajak ke acara nongkrong karir ala para dewa. Rasa sesal menyelip begitu saja di benak Kendra. Namun, ia tak punya pilihan. Kalau atasannya sudah bertitah, mana berani Kendra membantah?
Pandu mengantongi rokoknya kembali dengan cuek, kali ini ke saku celana. Ia berdiri tegak menghadap depan sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menunggu pintu lift terbuka.
Para dewa lainnya sudah memenuhi kursi taman yang mengelilingi kolam koi saat Kendra dan Pandu tiba. Kendra mencari-cari sosok Calvin, tetapi tak menemukannya. Tak banyak pejabat selevelnya yang ikut berkumpul di pertemuan “nongkrong karir” seperti ini. Selain dirinya, ia hanya menemukan Bagus, Manajer Divisi Penjualan, dan Martin, Manajer Divisi Keuangan. Jelas mereka juga mendapat “sponsor” dari atasan masing-masing. Namun di antara seluruh pria yang hadir di sana, Kendra lah yang termuda dan paling junior masa jabatannya.
Kendra tahu seharusnya ia merasa beruntung. Perkumpulan semacam ini terbilang eksklusif. Tidak banyak orang bisa asal bergabung. Berkat memiliki atasan seperti Pandu yang luwes dan lumayan dekat kepada bawahan maupun rekan-rekan sejawatnya, Kendra punya akses untuk bergabung ke “klub” para dewa ini — selain karena para dewa juga tidak keberatan dan menganggap Kendra memiliki kinerja yang cemerlang, selalu memperhatikan kesejahteraan para pegawai Subeomrasa Makmur dari level terendah — sampai ke pekerja kebersihan sekalipun — hingga level tertinggi. Seperti kata Calvin dan Noah, ini adalah kesempatan emas yang tak boleh Kendra sia-siakan.
Kendra duduk sambil menaruh kedua tangan lurus-lurus di atas lutut, seperti mau dihukum saja. Pandu di sebelahnya — dengan rokok bertengger di bibir, siap dibakar — melirik seraya berdecak.
“Rileks, Kendra. Ini bukan rapat beneran,” tegur Pandu.
Kendra menganggut-anggut, namun tetap saja posisi tubuhnya tak banyak berubah. Ia hanya menyilangkan satu kaki sambil melipat tangan di depan dada, sementara yang lain tampak sibuk mengisap dan mengembuskan asap rokok. Tak lama, Kendra mulai terbatuk-batuk pelan, namun sekuat tenaga berusaha ia tahan.
“Yang benar aja, ini udah mau akhir tahun. Mana bisa tiba-tiba dikasih target pertumbuhan profit lima puluh persen?” Pak Jono, Direktur Bagian Penjualan yang duduk di sebrang Kendra mulai menumpahkan kekesalan yang sudah ia tahan sejak rapat tadi.
“Nggak masuk akal,” imbuh Pak Ismet, atasan Calvin. Ia menekan puntung rokoknya yang hampir habis ke asbak, lalu meraih sebatang rokok lainnya dari dalam saku jas.
Di samping Kendra, sambil menikmati sigaretnya sendiri, Pandu tampak mengangguk-angguk membenarkan keresahan para rekan sejawatnya.
“Jumlah SDM kita untuk produksi keliatannya juga nggak akan sanggup memenuhi target.”
“Benar, Pak Pandu.” Pak Samsudin, Direktur Produksi membenarkan. “Pegawai di pabrik kita sudah pada teriak dengan target yang ada. Kalau sampai diminta untuk produksi lebih banyak supaya profit tumbuh liam puluh persen, bisa-bisa mereka teriak di jalan. Kita pasti didemo.”
Kendra ikutan mengangguk. Ia lalu ingat sempat mengambil beberapa butir permen kopi saat mengikuti rapat pembahasan topik yang sama bersama Bu Indri dan para dewa lainnya tadi siang. Kendra meraba-raba saku jasnya dan tampak senang begitu menemukan benda yang ia cari. Saat tangan Kendra sibuk membuka bungkus permen, tiba-tiba saja ia mendengar namanya disebut oleh Pandu.
“Tapi kan, tadi Bu Indri bilang, dia optimis target ini bakal tercapai karena ada Kendra yang bisa diandalkan buat ngatur SDM kita supaya produksi bisa digenjot.”
Kendra gelagapan waktu Pandu — dan para dewa lainnya — meliriknya. Ia ingat, di rapat tadi Bu Indri memang bilang begitu, tiba-tiba saja. Kendra yang sedang diam, fokus memperhatikan jalannya rapat pun sampai terperanjat waktu namanya tiba-tiba diseret ke dalam topik pembahasan oleh sang Ibu Suri.
“Masalahnya, semua opsi akan menambah beban biaya. Saya yakin, Pak Martin dan Pak Sofyan di bagian keuangan pasti lebih paham. Harus ada biaya lembur, tambahan biaya listrik untuk pabrik, dan di divisi SDM sendiri, kalaupun harus ada pembukaan rekrutmen untuk penambahan pegawai, pasti harus ada pelatihan lebih dulu sebelum semua bisa running. Belum lagi, proses rekrutmen juga butuh waktu.”
Para dewa tampak terkesima dan menyetujui pendapat panjang Kendra. Mereka kembali mengisap rokok dalam-dalam, hampir bersamaan. Hanya Kendra sendiri yang memasukan butir permen kopi ke mulut sambil merasa sedikit bangga karena ia bisa menimbrung dengan sukses ke dalam obrolan.
“Kita harus gerak cepat sebelum Bu Indri ngomong ke komisaris dan pemegang saham,” kata Pak Jono. Yang lain memberikan tatapan mendukung. “Minggu ini jadi golf kan, ya?”
“Jadi dong, Pak. Saya lagi males di rumah. Istri saya lagi ngerengek terus minta dibeliin villa di Bali,” ujar Pak Ismet.
“Bu Indri diajak?” giliran Pak Pandu kembali bersuara. Para dewa bertatapan, bimbang, sementara Kendra komat-kamit dalam hati, berusaha menghindari ajakan untuk mengikuti acara tersebut.
Ia sudah khatam betul, para dewa itu pasti akan membawa pasangan masing-masing. Hanya Kendra yang akan datang sendirian — kecuali Pak Ismet yang katanya lagi malas sama istrinya. Tapi kan, intinya, beliau sudah beristri. Hanya Kendra sendiri yang lajang. Kalau Kendra ikut serta, pasti para dewa dan pasangan mereka akan terus memberondongnya untuk segera menikah. Seperti mamanya saja, batin Kendra malas.
“Ajak aja lah, sambil nego tipis-tipis soal target nggak masuk akal ini.”
Akhirnya para dewa sepakat akan menjadikan acara bermain golf pada akhir pekan itu sebagai jalan ninja untuk melunakkan hati Bu Indri. Kendra sudah agak lega ketika para dewa mulai sibuk membahas hal lain, sampai Pandu tiba-tiba saja menyeletuk,
“Kendra, kamu ikut ya.” Para dewa kembali memperhatikan Kendra.
“W — Waduh, saya kebetulan ada acara keluarga, Pak.”
“Mau lamaran, ya?” ledek Pandu.
Sebelum Kendra sempat berargumen kembali, suara denting-denting ponsel bersamaan menginterupsi sesuana. Semua orang, kecuali pejabat selevel Kendra, mengecek ponsel masing-masing, lalu dengan wajah panik segera menghabiskan sisa rokok di tangan sebelum berjalan tergopoh-gopoh masuk ke dalam gedung.
Kendra, Bagus, dan Martin bertatapan. “Pasti Bu Indri,” ujar Martin yakin. Setelah itu, ia dan Bagus menyusul para atasannya masuk ke dalam, menyisakan Kendra sendiri meneghabiskan sore di sana, sejenak melupakan pekerjaannya, sampai Noah dan Calvin menyusul.
Keduanya datang sambil menenteng tas kerja masing-masing, siap pulang ke rumah. Melihat puntung rokok bertebaran di asbak, Calvin dan Noah sudah bisa menebak apa yang baru saja Kendra lalui selama satu jam belakangan. Pantas saja ia dan para dewa lainnya tidak berada di ruangan.
“Gencar banget nih kayaknya PDKT sama dewa-dewa.” Noah nyengir lebar sambil menepuk pundah Kendra kencang. “Sukses, nggak?”
Calvin menyusul. Niatnya ingin membakar sebatang rokok urung ketika dipelototi Kendra. “Gue udah sesak napas selama sejam tadi, lo mau bikin gue masuk rumah sakit?” kata Kendra sarkas.
Calvin bersungut-sungut. Sambil memasukan batang rokokmya kembali ke dalam bungkusan, ia mencemooh Kendra. “Bukannya PDKT sama cewek, malah PDKT sama bos-bos.”
“Lah kan memang itu tujuan dia nyari jodoh?” sela Moah sebelum bibir Kendra sempat bergerak menimpali. Kendra mengatupkan bibir sambil memandang Noah dengan tatapan tak setuju.
“Nggak gitu, ya. Gue juga mau kali nikah.” Kendra membela diri.
“Jadi, gimana si Abi? Oke, nggak?” Calvin mendadak mengalihkan topik.
Sudah sekitar lima hari sejak Noah memberi kabar mengenai status lajang tanpa kekasih Abigail, sekretaris Bu Indri. Sejak hari itu juga Kendra sebenarnya sudah mulai mengamati, hingga akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa Abigail jelas memiliki penampilan fisik yang menarik, perilakunya juga hangat, ramah, dan menyenangkan. Hanya saja, hati Kendra tetap belum yakin.
“Oke,” jawab Kendra. Calvin dan Noah tersenyum girang. “Tapi nggak oke,” tambah Kendra yang membuat senyum di wajah kedua temannya redup.
Calvin mendesah lelah. “Nggak oke gimana lagi, sih?”
Kendra ikutan mendesah lesu. “Gue serius nggak tega kalau dia dapat mertua kayak nyokap gue.”
“Ya, lo dijodohin sama anak-anak kenalannya bokap-nyokap lo nggak mau. Padahal dari kecil mereka pasti udah dididik ala anak-anak egaliter kelas atas. Nge-handle nyokap lo doang pasti bisa,” kata Noah berapi-api.
Kendra semakin tertunduk, bahunya terkulai lesu. Dibandingkan melihat tatapan dukungan moral dari Noah, ia lebih memilih menatap ikan koi warna-warni berenang dari satu ujung ke ujung lain kolam. Bebas, tidak seperti dirinya yang hanya untuk memilih jalan hidupnya saja harus penuh kriteria. Apalagi, calon pasangan.
Kendra tidak pernah suka dijodohkan, apalagi dengan keluarga atau kerabat ayah dan ibunya. Ia tidak suka pernikahan politik, seperti kakaknya. Meskipun Mas Rendi dan Mbak Dira — kakak ipar Kendra — tetap menjalin hubungan harmonis, tapi Kendra tahu, Mas Rendi pernah mengalami masa-masa sulit ketika harus memutuskan hubungan dengan mantan kekasihnya yang dianggap “tidak setara” oleh sang Ibu.
Kendra tidak mau bernasib seperti Mas Rendi. Kendra nggak tahu apakah Mas Rendi bahagia dengan pernikahannya sekarang, tapi dia nggak mau menjalani pernikahan dengan banyak drama di dalamnya.
“Gue nggak tertarik sama pernikahan politik,” tegas Kendra.
Noah dan Calvin berpandangan mendengar nada suara Kendra mendadak serius dan penuh ketegangan.
“Ya ini lo tujuan cari jodoh dan nikah apa bukan buat tujuan politik? Kan sama aja. Politik buat naik jabatan?” ungkap Noah.
Sedetik kemudian, Kendra kembali termenung lesu karena tak bisa menyangkal apa yang dikatakan bawahannya tersebut. Meski benar ia ingin menikah dan memiliki pasangan hidup, tapi tujuannya sekarang memang tak lepas dari harapan Kendra agar bisa segera naik jabatan. Karena hanya dengan begitu, ia bisa membuktikan kepada keluarganya bahwa jalan hidup yang ia pilih — dengan tidak mengandalkan usaha orang tuanya — bisa membawa kesuksesan bagi Kendra juga.
“Gue sih loat lo sama si Abi ini kayaknya bakal cocok.” Calvin kembali pada topik tentang sekretaris Bu Indri yang langsung menarik perhatian Kendra kembali.
“Cocok gimana?”
“Ya, cocok. Lo kan kaku nih, kayaknya emang butuh orang yang luwes kayak Abi. Dia bisa masuk ke setiap circle, gampang adaptasi. Gue yakin dia juga pasti bisa masuk ke lingkungan sosialita lo itu,” jelas Calvin sambil menatap Kendra lurus-lurus.
Sejurus kemudian, Noah langsung ikutan mengomentari. “Udah, nggak usah kebanyakan mikir. Deketin aja dulu,” sarannya, “Belum tentu juga lu diterima meski muka lu ganteng. Gue yakin yang deketin si Abi juga banyak. Mana lu hobinya gagap kalo salting apa grogi. Harus usaha agak ekstra kata gue sih.”
Kening Kendra berkerut mendengar kalimat panjang-lebar Noah, bingung menentukan apakah wejangan temannya barusan adalah sebuah motivasi atau justru memang ledekkan yang ditujukan kepada Kendra.
“Kok gue liat-liat lo makin kurang ajar?” Melihat Noah tertawa cengengesan, Kendra mendengus sewot.
“Dah lah, gue mau balik. Ngeri gue kalo lu udah bad mood begitu. Takut penilaian kinerja gue didiskon.” Noah buru-buru kabur sebelum Kendra sempat mengomel lagi.
“Gue juga,” Calvin ikutan angkat kaki. “Mau jemput bini abis nyalon. Lu jangan nongkrong terus sendirian di sini. Daripada bengong, mending deketin si Abi.”
Kendra lagi-lagi mendengus keras. Setelah Noah dan Calvin pulang, ia kembali ke kantor. Niatnya ingin lembur, menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tetapi ketika ia hendak masuk ke pantri untuk membuat kopi, kebetulan ia justru malah bertemu Abigail yang sedang duduk menikmati secangkir teh sambil tersenyum ceria menatap layar ponselnya.
Kendra sejenak ragu, hampir saja membatalkan niatnya untuk membuat kopi. Namun, ia ingat apa yang dikatakan sahabat-sahabatnya di kolam tadi. Mungkin, ini adalah kesempatan terbuka baginya untuk memulai langkah awal… mendekati Abi.
“Belum pulang, Pak?”
Kendra tertegun mendengar sapaan Abi. Langkahnya terhenti tepat di bilik pembatas pantri dan ruang kerja. Ia berdeham sejenak sebelum membalas pertanyaan sang perempuan yang kini tersenyum ramah kepada Kendra.
“Masih ada kerjaan sedikit. Kamu belum pulang?”
Kendra berusaha menenangkan diri. Ia mencoba berjalan dengan santai meraih cangkir dan membuat kopinya sendiri sambil seseklai kepalanya bergerak, hendak melirik Abi yang duduk di belakangnya.
“Bu Indri belum pulang, Pak. Masih rapat sama bapak-bapak Direktur.”
“Marco sama Tantina sudah pulang?”
“Udah. Kak Marco hari ini izin pulang duluan, anaknya ulang tahun. Kak Tina ada acara keluarga suaminya. Saya yang nungguin Bu Indri sampai pulang.”
Kendra membawa cangkir kopinya, memilih duduk di ujung meja pantri yang lain, menjauhi Abi, alih-alih duduk tepat di hadapan gadis tersebut. Tidak bisa, mentalnya belum siap. Kendra belum memiliki nyali besar untuk langsung mengambil langkah agresif.
Lambat-lambat, Kendra mengaduk cangkir kopinya sambil berpikir, mencari topik pembicaraan. Namun sebelum Kendra berhasil menemukannya, Abi sudah lebih dulu mengajaknya berbicara.
“Pak Kendra, saya mau nanya. Maaf kalau lancang atau kedengaran aneh.”
“Tanya apa, Abi?” tanya Kendra penasaran. Ia menimbang tempo nada bicaranya yang dirasa sedikit terlalu cepat dan antusias. Kendra langsung menyesalinya.
“Memang status pegawai yang jomblo atau nggak itu masuk ke dalam database kepegawaian ya sekarang? Saya dengar, Pak Noah diam-diam nanyain status saya ke Kak Marco. Kenapa nggak langsung tanya ke saya aja, Pak?”
Kendra langsung tersedak ampas kopi dan berakhir terbatuk-batuk. Ketika Abi sigap menyodorkan tisu kepada Kendra, ia melirik gadis itu dengan wajah merah padam menahan malu sambil membatin, Noah sialan!
“Saya nggak apa-apa, saya nggak apa-apa,” ulang Kendra berkali-kali berusaha meyakinkan Abi yang masih terlihat cemas. Wajah simpati Abi agaknya sedikit membekas di kepala Kendra sehingga ketika gadis itu telah kembali ke posisi duduknya semula, Kendra sempat tak fokus berbicara. Ia terdiam sejenak memandang Abi sebelum berdeham, mengembalikan kesadarannya.
“I — Itu buat pemetaan pegawai aja, Abi. Bu — Bukan untuk dimasukkan ke database secara resmi.” Sambil menjelaskan, Kendra berusaha memutar otaknya yang mendadak terasa konslet, tak bisa diajak bekerja sama memberikan alasan logis kepada Abi yang masih tampak penasaran.
“Kamu tau kan, isu mengenai perselingkuhan sesama rekan kerja ini belakangan ramai jadi perhatian. Saya cuma mau memitigasi risiko ini.”
Kendra kembali panik kala dilihatnya wajah Abi mengernyit, seperti tersinggung. “Maksudnya, kalau jomblo rawan jadi selingkuhan gitu, Pak? Padahal kan nggak ada hubungannya sama sekali. Orang yang udah punya pasangan juga bisa jadi selingkuhan,” bela Abi sedikit sewot, agaknya ia lupa bahwa lawan bicaranya ini punya jabatan lebih tinggi dibandingkan dirinya yang hanya pegawai kelas teri.
Mendengar nada bicara Abi, Kendra jadi makin gelagapan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba memikirkan jawaban paling bijaksana. Kalau bukan karena ulah ugal-ugalan Noah, kesalahpahaman semacam ini pasti nggak bakal terjadi, maki Kendra dalam hati.
“Me — Memang nggak ada hubungannya kok. Kayak tadi saya bilang, ini cuma buat pemetaan aja. Nggak hanya yang jomblo, yang sudah punya pasangan pun tetap dicatat.”
Abi kembali menyela. “Maaf kalau saya oversharing, Pak. Saya ini jomblo bukan karena niat jadi selingkuhan orang, tapi tanggungan saya banyak. Saya tulang punggung keluarga. Bapak saya cuma pensiunan guru, Ibu saya kadang-kadang nerima pesanan kue basah. Mohon ini juga dijadikan catatan dan pertimbangan dari pihak HRD,” tekannya.
Kendra mengangguk-angguk, berusaha memahami situasi yang dialami Abi. Hatinya mendadak terasa berat karena perkara pribadi dirinya, Abi sampai harus jadi korban tipu muslihat ini. Abi bahkan juga menceritakan kondisi keluarganya yang membuat hati Kendra terasa ditimpa beban seberat 10 ton. Hebatnya, gadis itu masih tampak tegar, tidak terlihat sedih sama sekali. Kendra agaknya terkesima.
“I — Iya, Abi. Tenang, saya paham. Saya juga jomblo, kok,” ucap Kendra masih sambil mengangguk-angguk, lalu sedetik kemudian terdiam.
Ia menelan ludah sambil menatap Abi yang kini juga terdiam menatapnya. Kendra menggigit lidahnya sendiri, sementara Abi, dalam hati membatin, kenapa jadi sama-sama oversharing, ya?
“Ma — Makasih infonya, Pak,” balas Abi canggung.
Keduanya hening, tak tahu lagi harus membahas apa, sibuk dengan minuman masing-masing, hingga akhirnya, Kendra mengambil langkah lebih dulu untuk melarikan diri, menyelamatkan wibawanya di depan Abi.
“Ka — kalo gitu, saya lanjut kerja di ruangan dulu ya, Abi. Se — semangat, cari nafkahnya.”
Sebelum Abi sempat membalas, sosok Kendra sudah keburu hilang dengan langkah berderap cepat meninggalkan pantri. Abi tercenung sendirian, kepalanya terus mengulang percakapan aneh yang baru saja ia alami. Mata Abi mengerjap beberapa kali, masih memperhatikan bilik pantri, tempat di mana kali terakhir ia melihat sosok Kendra bertingkah aneh, seperti alien.
Beneran ganteng-ganteng nggak jelas banget itu orang. Untung pinter.
— tbc