[Mau Nikah?] — Lamaran

soljaecruise
6 min readFeb 23, 2025

--

Abi menelan ludah berat sambil berusaha keras mempertahankan raut tenang serta senyum bahagia di wajahnya.

Dia memang bahagia hari ini, tetapi perasaan itu juga sebanding dengan besarnya rasa berdebar yang Abi rasakan sekarang, ketika calon ibu mertuanya memasangkan cincin ke jari manis Abi, di hadapan seluruh keluarga besar, rekan-rekan dan kerabat dekat, juga para tamu penting Langgeng yang semakin memberikan tekanan mental, baik untuk Abi maupun Kendra sendiri.

Kendra, di belakang Titiek juga tak kalah tegang. Ia menanti gilirannya menerima cincin yang dipasangkan langsung oleh Mustika.

Jangan gemetar…

Jangan gemetar…

Jangan gemetar…

Kendra berusaha menenangkan diri ketika Mustika mendekat dan meraih jemarinya. Entah kenapa, ada yang beda dari cara Mustika menggenggam tangan Kendra usai memasangkan cincin. Rasanya lebih hangat daripada sentuhan tangan ibunya sendiri. Calon ibu mertua Kendra tersebut menatap Kendra dengan mata berkaca-kaca dan raut penuh harap.

“Ibu titip Abi ya, Nak Kendra….”

Kendra mengangguk dalam. “Iya, Bu.”

Bisikan tersebut sampai ke telinga Abi, menghangatkan aliran darahnya yang sempat membeku karena rasa grogi. Pandangan Abi melewati sosok Titiek di sebelahnya, mengarah pada wajah tampan Kendra yang kini menatap Mustika tulus. Senyum Abi mengembang lebar. Rasa hangat itu menjalar hingga ke matanya.

Begitulah prosesi pertukaran cincin lamaran mereka terjadi. Keduanya lantas melangkah gugup mendekati satu sama lain ketika diminta untuk berdiri bersebelahan. Abi memeluk buket bunga berwarna kuning — senada dengan warna kebayanya — sambil tersenyum malu-malu di sebelah Kendra yang ikut mengulum senyum.

“Alhamdulillah, prosesi tukar cincin sebagai simbol ikatan kasih dan restu kedua keluarga telah selesai dilaksanakan. Cincin yang kini tersemat di jari manis kedua calon pengantin bukan hanya sekadar perhiasan, namun juga lambang janji kesetiaan, cinta, dan harapan akan kebahagiaan bersama di masa depan. Semoga dengan adanya ikatan ini, perjalanan menuju jenjang pernikahan diberikan kelancaran, keberkahan, serta rida dari Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Foto bersama sambil pamer cincin, bergandengan tangan, berangkulan, juga bersalaman dengan seluruh tamu yang hadir — terutama para tamu penting, semua Kendra lakukan sambil setengah mati menahan rasa kesemutan — berujung kebelet pipis — dan jantungnya yang ribut menabuh genderang. Abi di sebelahnya justru tampak lebih bisa mengendalikan ekspresi dan sikap perempuan tersebut — hasil latihannya dengan Bu Susan selama dua minggu belakangan. Diam-diam, Kendra tersenyum, merasa bangga dengan kerja keras calon istrinya.

Sejak awal, ia memang tak pernah salah menilai sosok Abi yang selalu penuh dedikasi untuk setiap apapun yang gadis itu kerjakan.

Ketika akhirnya kedua mempelai bisa mengorol santai dengan para tamu, Kendra dan Abi memilih menghampiri meja yang dihuni oleh Noah, Calvin, Tina, Marco, dan Pandu bersama pasangan masing-masing. Kendra dan Abi duduk bersebelahan dengan wajah mesem-mesem menerima ledekan dari rekan-rekan mereka.

“Masih nggak nyangka gue, kalian bakal nikah. Perasaan, gue nggak pernah liat lo muji-muji Pak Kendra, Bi…,” celetuk Marco, membuat pasangan yang dijadikan topik utama pembicaraan kembali saling pandang, salah tingkah.

“Iya, saya juga,” timpal Pandu sambil mengedipkan sebelah mata kepada Kendra.

Ketika Kendra mengalihkan pandangannya kepada Pandu, saat itulah ia merasakan sentuhan tangan Abi di pahanya. Detik itu juga Kendra mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa geli dan sengatan rasa kesemutan.

“Hehehe… Ya… namanya jodoh kan nggak ada yang tahu, ya….” Abi terkekeh salah tingkah, tangannya makin semangat mengusap-usap pelan lutut Kendra.

Tangan Kendra dengan cepat menyambar tangan Abi, meremasnya kuat seraya tersenyum kepada Abi, lalu mendekapnya di dada pria itu. Sungguh tindakan heroik dan romantis di mata para hadirin yang kini mengulum bibir, menahan tawa melihat sikap Kendra. Kecuali dua orang; Noah dan Calvin yang kini memutar bola mata, menyerah dengan sikap culun Kendra yang tampak jelas di mata keduanya tengah menahan hasrat ingin buang air kecil.

Abi sendiri terkejut melihat sikap Kendra, wajahnya memerah seketika. Ia buru-buru menunduk, berusaha menyembunyikan senyuman tersipu yang sempat tertangkap oleh mata Tina.

“CEILAH langsung dikekepin calon istrinya. Siapa sih yang mau ngerebut?” ledek Noah sinis membuat senyum Abi makin lebar sementara Kendra hanya terkekeh salah tingkah campur cemas, kebelet.

“Jadi, gimana ceritanya bisa kalian…,” Pandu menunjuk Kendra dan Abi bergantian. “akhirnya bareng?”

Kendra — masih sambil mendekap tangan Abi di dadanya — menajwab gugup, “Sa — Saya yang suka duluan.”

Abi terpana, tak kuasa menahan pandangan berbinarnya kepada Kendra. Tampak jelas di mata para hadirin, bagaimana Abi tersentuh mendengar jawaban Kendra barusan.

Tina lantas menyenggol lutut Abi pelan. “Muka lo dikontrol dikit bisa, nggak?” ledeknya yang membuat Abi lagi-lagi hanya bisa terkekeh malu.

Mendapat tatapan intens dari Abi, tubuh Kendra semakin terasa dingin. Ia tak sanggup lagi menahan hasrat ingin buang air kecil yang kian mendesak. Meski masih ingin menikmati senyuman manis Abi kepadanya lebih lama, Kendra terpaksa harus pamit sebelum ngompol di tempat.

“A — Aku ke toilet dulu sebentar, ya. Nanti pegangan tangan lagi,” bisik Kendra kepada tunangannya yang masih bisa didengar oleh rekan-rekan mereka yang lain. Abi mengangguk pelan, sementara yang lain kembali terkikik, menertawakan umbaran mesra Kendra kepada Abi yang dianggap terlalu berlebihan. Kendra tampak seperti bukan Kendra yang mereka kenal di kantor.

Ketika Kendra beranjak dari kursi, Noah pun kembali melemparkan ledekkan sarkas kepada pasangan yang baru saja resmi bertunangan hari itu.

“Abi, nggak sekalian dianterin aja si Kendra ke toilet sambil gandengan?”

Abi pun lagi-lagi hanya bisa kembali terkekeh malu sementara Kendra langsung berjalan cepat menuju toilet sebelum malapetaka ngompol terjadi.

***

“Aku seneng banget hari ini, Mas.”

Abi terenyuh memandang buket bunga besar di pelukannya. Sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, ia tak berhenti mengendus wangi alami dari buket yang masih cukup segar tersebut.

Kendra menoleh sekilas sambil tersenyum. Sama seperti Abi, ia juga bahagia. Kendra berharap ia bisa bersama Abi lebih lama hari ini, tidak perlu memulangkan tunangannya ke rumah gadis itu di mana orang tuanya mungkin sudah menunggu. Kedua calon mertua Kendra memang lebih dulu pulang diantar Pak Dadang usai acara lamaran berakhir, sementara Abi “dipinjam” sebentar lagi oleh sang tunangan untuk diajak mengobrol dengan para sepupunya yang sudah penasaran; siapakah perempuan yang akhirnya mampu bertahan dengan Kendra yang selalu dianggap kaku dan “workaholic”.

Sama seperti Kendra yang tak berhenti memuji Abi di depan rekan-rekan kantornya, Abi juga terus-terusan mengapresiasi sikap santun dan perhatian Kendra kepada ia dan keluarganya. Kendra bukan tipe lelaki cuek kepada pasangan seperti yang dipikirkan para sepupunya tersebut. Tapi mungkin benar, Kendra selalu kesulitan menunjukkan perasaannya kepada orang lain.

“Mas seneng, nggak?”

“Se — seneng, dong.” Kendra tersenyum lebar, meski wajahnya masih menghadap ke jalanan di depan, memperhatikan gang masuk ke rumah Abi yang cukup sempit.

Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di hunian Abi dan keluarganya yang sederhana. Beberapa bagian dinding memang tampak sedikit retak, cat putih yang sudah menjadi identitas rumah itu selama bertahun-tahun juga mulai kusam dan mengelupas. Tapi, entah mengapa, rumah Abi justru tampak “lebih hidup” bagi Kendra ketimbang rumahnya sendiri yang besar, namun jarang ada penghuninya. Seluruh anggota keluarganya pasti punya kesibukan masing-masing. Rumah hanya seperti “tempat persinggahan” sementara.

Melihat lampu ruang keluarganya sudah redup sedini ini, Abi berasumsi, kedua orang tuanya mungkin sudah terlelap. Maklum, hari ini mereka sudah terbangun sejak dini hari untuk bersiap-siap. Belum lagi, meladeni tamu-tamu — yang jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang tamu pernikahan Kendra dan Abi nanti — sepanjang hari tentu cukup menghabiskan tenaga.

“Ayah sama Ibu kayaknya udah tidur deh. Mas mau mampir?”

Kendra menggeleng pelan. “Aku langsung pulang aja kalo gitu. Nanti salam aja buat ayah sama ibu, ya.”

Abi mengangguk pelan. Kendra lalu turun untuk membantu Abi keluar dari mobil — dengan kebayanya yang membebat cukup erat tubuh ramping gadis tersebut.

“Aku pamit, ya. Mas hati-hati pulangnya.”

“Iya. Selamat istirahat, Abi.”

Bibir Abi mengerucut seketika mendengar ucapan Kendra. “Calon istrikunya, mana?” tagihnya spontan yang langsung Abi sesali begitu melihat wajah Kendra menduduk, tampak bingung dan malu.

Abi mendesah, menyerah. Sepertinya ia memang terlalu memaksakan kehendaknya.

“Ya udah, aku masuk dulu — “

Kendra cepat-cepat menahan tangan Abi. “Se — selamat istirahat… ca — calon istriku,” ucap Kendra terbata-bata dengan wajah tersipu.

Ia tersenyum sambil melirik Abi malu-malu, membuat Abi gemas setengah mati ingin mengecup pipi Kendra, tapi ada dua alasan yang menahannya; pertama, Abi takut ia terlihat agresif dan membuat Kendra ilfeel; kedua, Abi takut Kendra pingsan di tempat karena tak siap atau “kegelian” seperti yang pernah pria itu ceritakan.

Abi akhirnya memilih tindakan yang masih relatif aman menurutnya. Ia memeluk tubuh Kendra sekilas — dengan satu tangan masih memeluk buket bunga — sambil berkata…

“Goodnight, Mas sayang….”

Abi lalu berlari kecil masuk ke rumahnya sambil tersenyum manis dan melambai kepada Kendra yang mematung di tempat, nyaris kehilangan akal.

Mas sayang…

Mas sayang…

Mas sayang…

Kendra kena lovestruck

Selain terngiang-ngiang panggilan mesra tunangannya barusan, hanya satu hal yang dipikirkan Kendra saat ini:

Ia harus mampir ke toilet — di manapun, selain rumah Abi tentunya — sebelum pulang ke apartemen. Sudah cukup ia mempermalukan diri di depan Abi hari ini dengan bolak-balik ke toilet.

Tapi tak mengapa. Kendra ikhlas kalau hadiahnya semanis ini.

Kendra mengulum senyum lalu berlari masuk ke mobil. Ia kebelet pipis!

tbc.

--

--

Responses (1)