[Mau Nikah?] — Latihan Pegangan Tangan

soljaecruise
10 min readFeb 9, 2025

--

Siang itu, sekitar satu jam Abi menunggu kedatangan calon ibu mertuanya. Kesepakatannya, mereka akan bertemu pada pukul satu siang. Nyatanya, pukul dua lewat Titiek baru sampai. Itupun Abi masih harus menerima dengan lapang dada bahwa kehadirannya sama sekali tak dihiraukan oleh TItiek begitu ibu mertuanya itu sampai. Alih-alih menyapa Abi, Titiek malah langsung melenggang menuju bagian dalam butik dan menyapa Siska, asisten sang desainer kondang, Ranu Janitra. Sementara Abi hanya bisa pasrah mengekor di belakang dengan jarak sedikit jauh dari sang ibu mertua, sudah seperti asistennya saja.

“Bu Titiek, ya ampun apa kabar? Kayak sudah lama nggak ketemu, ya? Makin awet muda aja, Bu….”

Titiek tersenyum ramah penuh wibawa, senyum yang jarang sekali Abi lihat. “Bisa saja, Mbak Siska.” Kemudian, senyum Titiek sedikit meredup ketika pandangan Siska tertuju pada sosok di belakang Titiek. Wajah sang asisten tampak penasaran.

Titiek melangkah mundur sedikit, membuka jalan agar Siska bisa memandang Abi lebih jelas. “Ini calon menantu saya, Mbak Siska,” ucap Titiek datar.

Abi yang sedari menunduk mengangkat sedikit kepalanya sehingga ia bisa melihat Siska memandangnya berbinar.

“Walah… cantik banget, Bu. Ini calon istrinya si bungsu? Mas Kendra?”

“Iya, Mbak Siska.”

“Saya kira siapa tadi kok ada mbak-mbak cantik sekali duduk sendiri aja. Kirain artis.” Siska mengulurkan tangannya kepada Abi. “Saya Siska, Mbak, asistennya Mas Ranu.”

Abi buru-buru menjabat singkat tangan Siska seraya mengangguk dalam dan tersenyum ramah. “Abigail. Abi aja manggilnya.”

“Aduh cantiknya, Mbak Abi. Bu Titiek bisa aja cari menantunya,” puji Siska tiada habisnya membuat Titiek hanya bisa tersenyum kecut menanggapi obrolan basa-basi itu tak bersemangat.

Masalahnya, bukan hanya asistennya saja yang memuji Abi habis-habisan, tetapi Ranu sendiri pun langsung semringah ketika diminta mendesain kebaya untuk Abi. Ia mendadak seperti kebanjiran ide ingin menambahkan berbagai detail pada kebaya calon menantu klien lamanya tersebut. Kalau saja Titiek tidak mengingatkan Ranu untuk membuat kebaya sederhana dan tidak berlebihan — mengingat ini adalah kebaya untuk pelantikan suaminya — Ranu mungkin sudah siap menggambarkan desain kebaya pernikahan untuk Abi yang sebenarnya baru dijadwalkan pertemuannya beberapa hari lagi, menunggu jadwal Kendra cuti.

Usai melakukan pengukuran kebaya, Abi kira kewajibannya mendampingi Titiek sudah selesai. Ternyata, belum. Masih ada serangkaian tugas tambahan untuk Abi menemani Titiek belanja beberapa potong pakaian jadi koleksi Mas Ranu yang dijual di bagian depan butik. Dengan setia, Abi menerima setiap tumpukan pakaian yang diberikan calon ibu mertuanya. Meski di sana ada pelayan butik yang siap membantu, Titiek lebih memilih melimpahkan tugas membawakan pakaian-pakaian yang ia pilih — bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Abi sendiri — kepada sang calon menantu.

Kalau boleh jujur, Abi kurang suka dengan pakaian-pakaian yang dipilihkan Titiek. Entah terlalu formal, terlalu banyak hiasan menonjol, atau juga warnanya yang dirasa terlalu mencolok sehingga membuat Abi tampak jauh lebih dewasa. Benar-benar persis seperti pakaian para istri pejabat. Dan lagi, ke tempat atau acara-acara seperti apa Abi akan mengenakan pakaian-pakaian itu?

Abi mencoba merangkai alasan yang cukup sopan untuk menolak dibelikan pakaian-pakaian dengan harganya yang paling murah pun setara dengan separuh gaji bulanannya dulu. Di tengah kebimbangannya itu, tiba-tiba saja sebuah tangan terulur, mencoba mengangkat tumpukan pakaian di tangan Abi. Kebetulan sekali, tangan Abi memang sudah kram.

Abi kira, sang penjaga butik yang mengambil alih tugasnya, namun ternyata tangan maskulin yang baru saja melewati pundak Abi adalah milik calon suaminya sendiri. Abi menggeser tubuhnya agar bisa melihat sosok Kendra berdiri di belakangnya dengan lebih jelas. Pria itu langsung meraup seluruh tumpukan baju di tangan Abi.

“Sini, aku aja. Ini kan berat.”

“Kamu bukannya lembur?”

Suara Titiek langsung mengembalikan kesadaran Abi yang sempat menggantung di pelupuk matanya, terperangah mendapati Kendra hadir di antara mereka. Abi baru sadar ternyata… dia memang benar-benar merindukan sosok lelaki tersebut. Perlahan, senyum di wajah Abi muncul, seakan pangeran penyelamatnya baru saja datang.

“Udah selesai, Ma.”

“Tahu begitu kan kamu bisa sekalian langsung ukur buat kebaya pengantin. Sekarang Mas Ranunya sudah keburu ada janji dengan klien lain.” Titiek berdecak lalu melanjutkan kembali kesibukannya memilih-milih pakaian untuk Abi.

“Ini acara belanjanya masih lama?” tanya Kendra lagi, cemas melihat wajah Abi yang sedikit pucat.

“Mama lagi milihin pakaian buat calon istrimu. Biar pantas diajak ke acara-acara kita.”

Kendra sontak mengatupkan bibir mendengar nada bicaranya ibunya. Kepalanya menoleh cepat ke arah Abi yang kini balas menatapnya seraya tersenyum dan mengangguk, memberikan keyakinan kepada Kendra bahwa ia baik-baik saja. Bibir Kendra terlipat sementara matanya menatap Abi penuh rasa bersalah. Ia lalu menatap tumpukan pakaian di tangannya sendiri yang sedari tadi menarik perhatian Abi. Kendra yang sempat menjadi “pengamat” Abi selama berminggu-minggu jelas tahu pakaian-pakaian yang dipilihkan ibunya bukanlah tipikal pakaian yang sering ataupun cocok dikenakan calon istrinya.

“Kayaknya ini model-model pakaiannya kurang pas untuk Abi, Ma. Terlalu berlebihan.”

Kendra kemudian memanggil sang asisten toko. Sambil sedikit membungkuk meminta maaf, ia minta seluruh pakaian di tangannya dikembalikan sebelum memilihkan pakaian-pakaian lain untuk Abi yang dirasanya lebih cocok.

Kendra menyerahkan beberapa potong pakaian pilihannya kepada sang calon istri, mengabaikan raut masam Titiek yang berdiri sambil melipat tangan di depan dada melihat sikap putra bungsunya.

“Ini, kamu cobain, ya. Kalau nggak suka, tukar yang lain.”

Abi mengangguk patuh. Seorang asisten toko langsung membawakan seluruh pakaian dan membimbing Abi ke kamar pas. Di dalam, sebelum mulai mencoba satu per satu pakaian pilihan Kendra, Abi lebih dulu memeluk salah satu gaun yang paling menarik perhatiannya. Gaun sederhana berwarna hitam yang sedari Abi datang pun sudah menawan tatapan gadis tersebut.

Kini, gaun itu ada di pelukannya. Terlebih, hasil pilihan calon suaminya sendiri. Gaun itu langsung Abi simpan di urutan terakhir. Ia akan mencoba pakaian yang lain dulu.

Sambil mematut diri, Abi tak bisa berhenti tersenyum mengenakan setiap pakaian yang ia coba. Meski, tetap tak bisa berlama-lama karena ia tahu, Macan pasti tak suka dibuat menunggu terlalu lama.

Ketika Abi mencoba pakaian terakhir — gaun kesukaannya, pintu kamar pas diketuk.

“A — Abi?”

“I — Iya, Mas?”

Abi buru-buru membuka pintu. Pemandangan wajah tampan Kendra dengan kondisi rambut bagian depannya terbelah rapi menyapa Abi penuh sopan santun. Dibiarkan selama beberapa detik, Kendra hanya diam mematung. Sebenarnya terpesona dengan penampilan Abi, tapi yang Abi tangkap justru sebaliknya.

“Jelek ya, Mas?”

Kendra buru-buru menggeleng. “Ba — Bagus, kok.”

Abi refleks menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Baru dipuji begitu saja, jantungnya sudah berdebar-debar.

“M — Mama udah pulang duluan. Kamu udah nyoba semua bajunya?” tanya Kendra yang dijawab Abi dengan anggukan. Hati Abi langsung terasa lega mendengar ibu mertuanya sudah tidak berada di area butik.

“Kalau suka semuanya, ambil aja.”

Abi memandang seluruh tumpukan baju yang menggantung di dinding dengan mulut separuh terbuka. Jumlahnya mungkin ada sepuluh potong pakaian.

“Tapi ini banyak banget, Mas?”

“Nggak apa-apa. Ayo, cari cincin. Nanti keburu kemalaman kamu pulangnya, takut dicariin Ayah sama Ibu.”

Wajah Abi yang semula semringah langsung berubah sedikit kecewa. Emangnya gue anak bocah yang diem-diem kabur pacaran apa sampe pulang malam dikit aja dicariin? Sungut Abi. Agaknya ia kecewa karena perkataan Kendra seolah mengisyaratkan keengganan pria itu untuk pergi berdua lama-lama dengan Abi. Seakan, Kendra memang sama sekali tidak kepikiran untuk pergi berkencan di malam minggu.

Padahal, bukan begitu maksud Kendra. Ia hanya merasa sungkan kepada orang tua Abi kalau harus memulangkan putri kesayangan mereka pada larut malam. Bagaimanapun, status ia dan Abi belum secara sah menjadi suami dan istri.

Ada satu hal yang selalu membuat Abi penasaran. Setiap kali berada di mobil bersama Kendra, pria itu seringnya diam. Kali ini mungkin alasannya karena ia menyetir mobil sendiri — yang mana jadi pengalaman pertama buat Abi juga berada di mobil berdua saja dengan Kendra dan melihat sendiri bagaimana pria itu mengemudikan mobil dengan luwes, namun tetap fokus dan hati-hati. Cara mengemudi Kendra membuat Abi merasa nyaman dan nyaris tertidur diiringi lagu lembut mengalun di radio.

Begitu mobil Kendra sampai di butik perhiasan langganan keluarganya, ia tidak langsung turun. Abi memperhatikan Kendra hanya diam memandang ke arah pintu masuk butik selama beberapa detik sambil mengetukan jemarinya pada kemudi, seperti sedang bimbang memikirkan sesuatu.

“Kenapa, Mas?” tanya Abi pelan. Pikirannya yang mudah sekali berpikir berlebihan mulai memikirkan skenario terburuk — mungkinkah… Kendra ragu ingin menikahi Abi?

Kendra menoleh, wajahnya tampak sedikit gelagapan, sementara matanya berkali-kali tertuju pada tangan Abi yang saling bertaut di atas pangkuan gadis itu.

“A — Anu… itu… aku… boleh nggak latihan m — megang tangan kamu?”

Kedua alis Abi otomatis terangkat. Wajahnya mulai bersemu meski tak terlalu terlihat di bawah pencahayaan yang temaram. Malu-malu, Abi mengangguk sambil mengulurkan tangannya. Hatinya bersiap-siap menyambut genggaman telapak tangan besar Kendra — sedikit penasaran juga, akan seperti apa rasanya.

Hangat. Tangan Abi yang kecil hampir tenggelam sepenuhnya dalam telapak tangan Kendra. Abi merasa seperti digenggam ayahnya saat kecil, ketika dirinya hendak menyebrang jalan atau ketika ia dan ayahnya mengantar Mustika pergi berbelanja ke pasar. Basuki selalu menggandeng Abi — putri semata wayang kesayangannya — agar tidak hilang.

Kendra mengeratkan genggamannya sambil mencoba menahan perasaan menggelitik yang sudah menyerang sejak tangannya bersentuhan dengan tangan Abi. Jantungnya berdebar kencang dan ia takut kalau mungkin Abi bisa mendengarnya. Maka dari itu, Kendra lekas melepaskan genggaman tangannya yang hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh detik, membuat Abi sontak kecewa.

Hah? Udah? Gitu doang???

“U — Udah, yuk, turun.”

Abi hanya bisa termenung menatap tubuh jangkung Kendra mengitari bagian depan mobil untuk membukakan pintu mobil tepat di sebelah Abi. Gadis itu mengikuti langkah Kendra ke dalam butik dengan keadaan separuh sadar, masih belum bisa lepas dari keterkejutan dan rasa kecewanya.

Ketika diajak memilih cincin pun, baik Abi dan Kendra tak terlalu banyak berkomentar. Yang satu sibuk meredakan debar jantungnya sendiri yang belum kembali normal karena harus memilih cincin pernikahan bersama sang “calon istri” kebanggan, dan yang lainnya, sibuk menahan perasaan kecewa yang kini mulai bertransformasi menjadi rasa sedih. Tidak heran kalau proses pemilihan cincin jadi supersingkat. Pada akhirnya, mereka memilih sepasang cincin dengan desain sederhana — yang diharapkan menjadi lambang ketulusan dari hati masing-masing terhadap hubungan mereka — dan baru bisa dijemput sekitar dua minggu kemudian.

Waktu sudah menunjukkan lewat dari pukul 7 malam ketika Abi dan Kendra kembali ke mobil.

“Mas, mau nonton film bioskop dulu nggak?” tawar Abi spontan saat Kendra sedang memasang sabuk pengaman. Melihat wajah Kendra yang bimbang, Abi menggigit bibirnya cemas. “Capek ya, habis lembur?”

“Kamu… nggak apa-apa pulang malam sama Ayah dan Ibu?”

Abi mengembuskan napas lelah. “Mas, aku kan bukan anak kecil. Aku juga sering pulang malam kalau lembur,” ucap Abi dengan sedikit nada kesal terlepas.

“Ya udah, tapi aku izin ke Ayah dulu ya mulangin kamu agak malaman, takut Ayah kamu khawatir.”

Abi cepat-cepat mengangguk, persis seperti anak kecil yang semangat mengetahui akan diajak pergi ke taman bermain. Perasaan kecewanya yang masih ia simpan mulai sedikit memudar, digantikan perasaan girang yang mulai tampak tunasnya.

“Kamu nggak mau makan malam dulu?”

“Beli makanan di bioskop aja,” sergah Abi sambil tersenyum lebar. “Aku mau makan sosis goreng sama kentang.”

Melihat ekspresi Abi yang tadi sempat lesu kini berubah cerah, Kendra ikut merasa senang. Ia tersenyum simpul seraya mengangguk.

“Oke.”

Setengah jam berikutnya, Abi dan Kendra sudah ikut mengantre masuk ke dalam teater bioskop dengann kondisi tangan penuh. Sama sekali tidak terpikirkan oleh Abi bahwa Kendra akan memesan makanan begitu banyak hingga mereka sendiri butuh bantuan petugas bioskop untuk ikut membawakan seluruh makanan yang dipesan. Ketika ditanya kenapa memesan sebanyak itu, Kendra mengaku dengan jujur,

“A — Aku udah lama nggak nonton bioskop, mau cobain makanannya hehe. Lagian kan kamu belum makan malam.”

“Tapi ini banyak banget??” Abi menatap bingung dua buah tumpukan makanan di tangannya, lalu dua buah tumpukan makanan di tangan Kendra, juga beberapa tumpukan makanan yang dibawa petugas bioskop. “Perut aku mana muat?”

“Nggak apa-apa, nanti sisanya dibungkus untuk satpam di apartemen.”

Abi hanya bisa membuka dan mengatupkan bibir berkali-kali, ingin komplen soal sikap Kendra yang dirasa terlalu boros, tapi rasanya sebagai “calon istri”, Abi merasa belum pantas mengatur keuangan Kendra. Toh, semua makanan itu dibayar menggunakan kartu debit calon suaminya. Termasuk juga, sepuluh potong pakaian senilai lebih dari lima puluh juta yang dibeli dari butik Mas Ranu tadi. Oh, belum lagi cincin tunangan dan cincin kawin mereka. Entah berapa uang yang Kendra habiskan untuk Abi hari ini, Abi tak sanggup membayangkannya.

Di dalam bioskop, saat pemutaran film berlangsung, seperti yang sudah Abi perkirakan, Kendra hanya fokus menonton film aksi pahlawan yang dipilih atas kesepakatan keduanya. Usai menghabiskan beberapa porsi makanan yang dipesan, Abi sempat duduk anteng dan menikmati film, hingga tak lama kemudian, tangan Kendra yang bersandar pada lengan kursi menarik perhatiannya.

Sisa penayangan film tak lagi terasa menarik bagi Abi. Pikirannya sibuk mempertimbangkan bagaimana reaksi Kendra sekiranya Abi menggenggam tangan pria itu? Beragam argumen pro dan kontra bergulat di kepala Abi selama beberapa menit. Namun pada akhirnya, tekadlah yang mengambil alih seluruh kontrol dalam dirinya.

Perlahan, Abi menyentuh lengan Kendra, mengusapnya pelan sebelum menggengam tangan sang calon suami dengan jemarinya yang kecil. Seketika itu juga, Abi merasakan tubuh Kendra menegang. Meski pandangan pria itu masih tertuju pada layar bioskop, jelas posisi tubuh Kendra tampak lebih tegak dan kaku. Kendra menelan ludah berat sambil matanya melirik pada tangan mungil Abi dalam genggaman longgar tangan pria tersebut. Kendra yang sedari tadi sudah manahan hasrat untuk buang air kecil, makin tak tahan lagi untuk segera pamit ke toilet.

Ia pun akhirnya menoleh kepada Abi dengan kondisi jantungnya yang nyaris tak terselamatkan.

“A — Aku ke toilet dulu, ya,” pamit Kendra buru-buru hingga genggaman tangan Abi terlepas begitu saja, menyisakan perasaan kosong, tanda tanya besar, dan rasa kecewa yang menghantam Abi sekali lagi hari ini.

Apa yang salah dengan dirinya sampai Kendra begitu tak maunya disentuh oleh calon istrinya sendiri? Pikiran Abi terus berkecamuk.

Ia tak ingat apa yang ia tonton di bioskop. Rasa sepi dan sendiri terus membayangi langkah Abi ketika ia dan Kendra akhirnya berjalan keluar dari bioskop menuju parkiran mobil. Abi sengaja sedikit memperlambat langkahnya, menjaga jarak sehingga Kendra berada beberapa langkah di depannya.

Abi tak mengerti, benar-benar tidak mengerti hubungan apa yang sedang dijalaninya dengan Kendra sekarang.

Suasana dingin menyelimuti perjalanan pulang mereka menuju rumah Abi. Hawa mencekam membuat seluruh tubuh Abi semakin pucat dan dingin ketika mereka sampai di depan pagar rumahnya, dan Kendra mengatakan satu kalimat sederhana,

“La — Lain kali, kalau mau megang-megang… bilang dulu, ya?”

Abi terperangah, berusaha mati-matian menahan rasa sedihnya muncul dalam nada suaranya.

“Oh… maaf, Mas nggak suka, ya?”

Kendra yang bingung bagaimana menjelaskan situasinya kepada Abi hanya bisa tersenyum serba salah. Mana mungkin ia mengatakan dengan jelas kalau setiap kali disentuh Abi, tubuhnya langsung terasa kesemutan, jantungnya pun seperti mau meledak, dan Kendra seakan kehilangan kendali atas gerak tubuhnya sendiri?

Karena tak kunjung mendapat jawaban Kendra, Abi akhirnya lekas pamit.

“Udah malam, Mas. Ayah sama Ibu juga kayaknya sudah tidur. Aku masuk, ya. Mas hati-hati pulangnya. Makasih buat hari ini,” ucap Abi dengan nada kaku seperti robot sebelum meninggalkan Kendra masuk ke rumahnya tanpa sanggup menoleh lagi ke arah pria itu.

Ia takut Kendra sempat melihat air matanya jatuh persis ketika Kendra mengucapkan,

“Selamat malam, Abi,” dengan caranya yang kelewat kaku dan canggung, seolah… kebiasaan itu tidak akan pernah berubah, bahkan setelah mereka menikah bertahun-tahun nanti.

tbc.

--

--

Responses (3)