[Mau Nikah?] — Malam Puncak Ulang Tahun SMFood
Abi melangkah memasuki aula dengan hati sedikit gelisah. Bulu-bulu di tubuhnya seketika meremang Ketika udara dingin berembus menyambut. Orang-orang lalu lalang di sekitarnya, sibuk mengerjakan sesuatu — menata panggung, membersihkan karpet, menghias dinding — dan di antara kerepotan di sekitarnya, Abi menemukan Kendra berdiri paling tinggi di tengah-tengah ruangan, berkumpul bersama tim acara yang lain dan juga pihak event organizer yang mengenakan kaus hitam. Saat jarak mereka sudah cukup dekat, samar Abi bisa mendengar topik pembahasan yang sedang dibicarakan, yaitu persiapan panggung acara yang dirasa Kendra kurang terang, perlu pencahayaan lebih mengingat acara ini akan diselenggarakan pada malam hari.
Saat Abi bergabung di kerumunan dengan senyap, Noah menyikut lengan Kendra, memberi isyarat bahwa orang yang dinanti-nantinya telah datang. Kendra menoleh ke arah Noah sebelum melirik Abi. Ia yang sedang menyimak penjelasan dari EO jadi terpceah fokus. Kendra sengaja berdeham, lalu melirik Abi sekali lagi yang kini sudah tenggelam dalam pembahasan dan tidak menyadari sama sekali adanya perubahan pada raut wajah Kendra semenjak ia datang. Kendra tersenyum kecil sebelum kembali bersedekap dan mengangguk-angguk dengan wajah serius. Matanya berkali-kali — walau hanya Noah yang menyadarinya — diam-diam melirik Abi secepat kilat. Sampai-sampai, Noah pun membatin dalam hati,
Dih, si kodok bisa-bisanya lagi kayak begini salting.
“Noah, lo temenin tim acara cek rundown, gue sama Abi cek layout meja dan kursi buar para Direktur dan Bu Indri.” Kendra memberi perintah kala pihak penyelenggara telah menjabarkan detail progres persiapan acara.
Noah yang sedari tadi sudah memperhatikan dan tak tahan ingin meledek Kendra pun menggeser tubuhnya mendekati sahabatnya tersebut, lalu berbisik, “Makan tuh profesional. Modus kan lo, kodok!”
Kendra berdeham sekali lagi sambil melirik orang-orang di sekitarnya yang kini asyik mengobrol dengan rekan-rekan yang lain. Abi pun demikian, sibuk berbicara dengan Debora — pegawai divisi R&D — yang akan menjadi pembawa acara nanti malam. Keduanya tenggelam dalam pembicaraan mengenai acara puncak perayaan ulang tahun SMFood tahun lalu yang jauh lebih meriah dan tidak terkesan terlalu formal seperti ini. Pak Septian, Direktur Utama sebelum Bu Indri, adalah sosok yang sangat humble, beliau tidak segan berbaur dengan “para pegawai jelata” — begitu Debora menyebutnya — sehingga setiap acara perusahaan terasa lebih hidup dan tidak kaku.
Kendra lalu balas berbisik kepada Noah. “Lo mau tukeran ngecek meja sama kursinya Bu Indri? Ya boleh aja, tapi kalau beliau komplen nanti lo yang tanggung jawab, ya.”
Noah otomatis bergidik membayangkan kalau sampai Bu Indri tiba-tiba saja marah untuk perintilan hal tidak jelas yang luput dari perhatiannya. Bukannya tidak mungkin Bu Indri bakal protes mempertanyakan kenapa masih ada debu setitik di gelas minum beliau meski sudah dicuci dan dilap sebanyak ribuan kali. Atau bisa juga warna taplak menjanya tiba-tiba saja membuat suasana hati beliau buruk. Kalau Bu Indri saja bisa memecat Abi untuk alasan konyol, bukan tidak mungkin Noah juga akan bernasib sama kalau sampai membuat kesalahan di acara penting seperti ini. Nyali Noah langsung menciut.
“Ogah. Lo aja deh. Good luck.” Noah menepuk pundak Kendra memberi semangat. “Good luck juga pacarannya.”
Kendra mendengus sebal. Sebenarnya dia sudah grogi setengah mati tanpa perlu Noah panas-panasi dengan ledekkan seperti itu.
“Yoi, makasih pengertiannya,” balas Kendra lalu kini berjalan menghampiri Abi.
Abi yang baru saja memberikan salam perpisahan kepada Debora otomatis menatap Kendra yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya.
“A — Ayo, Abi.” Abi mengangguk, lalu mengikuti arahan Kendra untuk jalan lebih dulu menuju deretan meja yang baru disusun di bagian depan panggung.
Dengan jantung berdebar Abi berjalan sambil menautkan kedua tangan dengan gelisah, merasa seperti punggungnya nyaris bolong mendapat tatapan intens dari Kendra. Suara langkah sepatu hak tingginya dan pantofel Kendra beradu-beriringan, menggema di ruangan, meramaikan suasana yang sudah riuh. Sesekali, Abi menengok, setiap itu juga Abi mendapati Kendra sedang melihat ke arahnya. Namun, tidak ada satupun di antara mereka yang berbicara. Seolah-olah, tidak ada yang terjadi saja kemarin. Seolah-olah, Kendra tidak pernah melamar Abi.
Sejujurnya, Abi juga penasaran kenapa setelah ia menerima lamaran Kendra kemarin, kenapa pria itu sama sekali belum menghubunginya. Abi kira — seperti kata Kendra — mereka akan memulai hubungan selayaknya pasangan normal lainnya. Abi kira, Kendra akan menghubunginya sebagaimana umumnya pasangan lain yang sedang melakukan pendekatan. Namun semalam, alih-alih ketiduran karena berbicara sepanjang malam dengan Kendra, yang terjadi malah Abi ketiduran karena berlarut-larut menunggu pesan dari Kendra yang tak kunjung datang sampai mereka bertemu lagi sekarang.
Ketika Abi masih sibuk dengan lamunannya tentang Kendra, tiba-tiba saja suara pria itu memecah lamunannya.
“Ha — hari Sabtu ini ada rencana apa, Abi?”
“Huh?” Abi mengerjap, lalu menatap Kendra kembali. “Nggak ada, Pak. Paling bantuin ibu saya bikin kue kalau ada pesanan. Ada kerjaan?”
Kendra menggeleng. “Sa — saya mau ngajak kamu kenalan sama keluarga saya.”
Mulut Abi separuh terbuka saking terkejut mendengarnya. Ngechat nggak, nelepon nggak, pendekatan juga belum, tiba-tiba ngajakin ketemu keluarga. Ini orang mantan pembalap, kah? Ngebut banget!
Abi buru-buru mengatupkan bibir, menjaga citra profesionalnya di depan Kendra. “Secepat ini, Pak? Tu — tunggu, saya belum ada persiapan.” Kepala Abi lantas celingkukan, takut ada yang mencuri dengar percakapan mereka.
Saat giliran Kendra menjawab, kebetulan mereka telah sampai di meja tengah barisan paling depan, tempat di mana Bu Indri akan duduk menikmati acara. Kendra tiba-tiba saja mengalihkan topik pembicaraan, membuat Abi sedikit bingung.
“Ini meja Bu Indri, best view, tepat di tengah-tengah. Beliau akan duduk bersama Pak Pandu, Pak Ismet, Pak Jono, dan Pak Darwin.” Kendra lalu memiringkan tubuhnya, menghadap ke pintu masuk utama. “Untuk skenario jalan masuknya, Bu Indri dan para Direktur nanti akan tetap masuk melalui pintu utama sambil disambut dengan tarian Jaipong dari komunitas tari pegawai SM, lalu nanti beliau akan diminta berkeliling menyapa pegawai sambil jalan menuju meja ini.”
Abi menganggut-anggut menyimak penjelasan Kendra sambil memperhatikan jarak antarmeja untuk memastikan para pimpinan cukup leluasa untuk bergerak.
“Itu aja,” jelas Kendra lalu kembali menghadap Abi sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya yang mendadak terasa dingin sejak Abi datang. “Kira-kira… kamu butuh persiapan berapa lama?”
Abi yang sedang berpikir langsung menoleh, tak fokus dengan pertanyaan Kendra. “ Persiapan untuk briefing ke Bu Indri, Pak? Atau berapa lama Ibu bakal speech?”
Kendra cepat-cepat melambaikan tangan. “Bu — bukan. Persiapannya. Dua jam cukup?”
Kening Abi mengerut dalam, semakin bingung dengan topik obrolan mereka. “Ini lagi ngomongin persiapan apa sih, Pak? Maaf, saya bingung dari tadi kita ngomong topiknya campur aduk.”
Kendra menelan ludah sebelum kembali berkata, “Ke — ketemu keluarga saya?”
Kepala Abi miring ke kiri, memandang Kendra tercenung dengan persiapan yang dimaksud pria tersebut. Mana ada orang siap-siap ketemu keluarga pasangan cuma dua jam? Emangnya bikin kue bolu??
Abi memilih untuk menyimpan keheranannya dalam hati. Ia berpikir sejenak, mempertimbangkan tawaran Kendra matang-matang. “Oke, bisa, Sabtu ini,” jawab Abi akhirnya membuat Kendra tersenyum lega.
Lalu setelah itu, Abi kembali dibuat kebingungan oleh Kendra yang tiba-tiba saja sudah mengubah topik pembicaraan mereka lagi. “Ayo, saya tunjukkin jalur masuk Bu Indri nanti sambil estimasi waktu berapa lama beliau akan keliling menyapa pegawai.”
Karena terlalu takjub dengan sosok Kendra yang sangat “ajaib”, sepanjang Kendra menjelaskan tentang acara, Abi sebenarnya setengah melamun. Bukannya memperhatikan penjelasannya, Abi malah sibuk meneliti sosok Kendra sendiri. Agaknya, Abi masih tidak percaya bahwa ia pada akhirnya menerima lamaran Kendra. Abi juga tak mengira akan memiliki sosok calon suami yang luar biasa tampan — dan juga berwibawa sebenarnya kalau lagi serius kerja dan tidak grogi.
“Gimana, sudah oke, Abi?”
Abi menggeleng cepat, mengembalikan kesadarannya dari bayangannya tentang sosok Kendra yang banyak dipuji-puji oleh perempuan di sekitar pria itu, bahkan juga Kak Tina yang notabene sudah memiliki suami supertampan. Abi masih takjub sebenarnya bagaimana pria yang sangat digila-gilai oleh rekan-rekan perempuannya tersebut berakhir menjadi calon suaminya sendiri.
“Oke, Pak. Kalau sudah semua, saya pamit dulu.”
Abi ingin cepat-cepat kabur, ia mulai merasa ada yang aneh dari caranya melihat Kendra karena tiba-tiba saja wajahnya terasa panas setiap kali tatapan mereka bertemu. Abi takut Kendra bisa melihat wajahnya bersemu meski yang Kendra lakukan hanyalah memberi penjelasan dengan tenang — tanpa rasa grogi kentara — dan memperhatikan setiap gerak-gerik Abi.
“A — Abi, tunggu!” Kendra melangkah cepat menghampiri Abi yang hampir melewati pintu aula. Pria itu berhenti persis di depan Abi sambil menatap sekitarnya sebelum mengangsurkan sebuah tablet vitamin c hisap dari dalam saku kemejanya.
“Se — semangat, Abi. Jangan sampai sakit.” Setelah itu, sosok Kendra langsung pergi, melangkah ke Aula kembali menghampiri Noah, meninggalkan Abi dalam posisi termenung menatap telapak tangannya yang terbuka.
Tanpa sadar, Abi tersenyum kecil menatap benda pemberian Kendra.
Abi rasa, hari itu ia memang ditakdirkan untuk terus bersinggungan dengan Kendra dan dibuat tersipu berkali-kali karena perhatian-perhatian kecil dari pria tersebut.
Sore tadi, usai rapat siang berakhir, Abi baru sadar ketika ruangan hampir kosong dan menyisakan ia dan Kendra berdua. Abi tak tahu bahwa Kendra sengaja keluar belakangan agar bisa membantu Abi membereskan ruang rapat — mematikan proyektor dan juga berkas-berkas penting milik para Direktur yang tertinggal di meja. Meski pada akhirnya, Abi ditinggal pergi duluan juga begitu mereka selesai merapikan ruang rapat karena Kendra keburu grogi. Namun, Abi menghargai bantuan kecil yang Kendra lakukan.
Seakan masih belum cukup debaran-debaran aneh yang Abi rasakan hari itu, kini, ketika Abi baru saja selesai mengganti pakaian untuk menghadiri puncak acara ulang tahun kantor, ia kembali berpapasan dengan Kendra yang sedang berjalan dengan Pak Pandu, Pak Ismet, Calvin, dan Noah. Ketiganya muncul mengenakan pakaian kasual masing-masing sesuai tema acara malam itu.
Abi diam-diam memperhatikan Kendra dalam balutan sweater putih lengan panjang dan celana kargo berwaran coklat terang. Sekilas nyaris serupa dengan pakaian Abi yang hanya mengenakan kaus polo putih lengan pendek dan rok payung sebetis bercorak bunga-bunga kecil dengan warna sedikit lebih gelap dari celana Kendra.
Abi menyapa para pria di depannya dengan sopan. “Sore, Bapak-Bapak.”
Pandu otomatis tersenyum lebar melihat senyum sopan merekah di wajah manis Abi.
“Ayo, Abi. Kok masih di sini? Bu Indri sudah jalan kembali ke kantor kan?”
Abi mengangguk singkat. “Sudah, Pak. Ada Kak Tina juga kok yang sudah stand by di aula. Saya sebentar lagi menyusul.”
Abi kembali melirik Kendra yang berdiri di belakang Pandu sambil mengobrol dengan anggota tiga serangkai yang lain. Tatapan mereka sempat bertemu sekilas sebelum keduanya sama-sama memalingkah wajah.
Diam-diam, Abi memuji penampilan Kendra yang terlihat jauh lebih santai, jauh dari kesan kaku yang selama ini menempel di kepala Abi. Kendra lebih terlihat “manusiawi” tanpa pakaian formalnya. Lalu, tiba-tiba saja, Abi jadi kepikiran, pemandangan inilah yang akan sering ia dapatkan kalau mereka sudah menikah nanti. Wajah Abi kembali tersipu. Oleh karena itu, Abi pun buru-buru pamit sebelum para bosnya itu menyadari kalau Abi sedang salah tingkah sendiri karena alasan tak jelas.
Ketika berpamitan tadi, Abi juga sempat melihat, Kendra mengangguk sekilas ke arahnya sebelum berjalan menyusul rekan-rekannya yang lain. Setelah itu, Abi langsung berlari ke meja sekre dan meredakan debar jantungnya sendiri yang tak keruan di sana.
Wajar kah gue baper secepat ini?? Jerit Abi sambil membenamkan wajahnya pada bantal kursinya.
Sesaat sebelum acara dimulai, Abi tiba di aula. Ia duduk di meja barisan tengah persis di sebelah Tantina. Kepalanya beberapa kali terjulur sambil celingukan mencari sosok Kendra yang sebenarnya tak sulit ditemukan karena tubuh pria menjulang paling tinggi di antara pegawai lainnya. Abi bisa melihat Kendra duduk di kursi barisan kedua bersama Calvin. Sementara Noah sendiri terpisah, duduk bersama tim divisi HRD yang lain.
Saat melihat Kepala Kendra menoleh ke kanan-kiri seperti orang gelisah, Abi diam-diam berharap Kendra sedang mencari sosok dirinya, bukannya resah memastikan kelancaran acara begitu sosok Indri memasuki ruangan tak lama setelahnya, disambut dengan tepuk tangan meriah para pegawai.
Abi dan Tantina melambai kepada Marco yang ikut berjalan di depan, mengawal dan membuka jalan untuk Indri agar lebih leluasa menyapa para pegawai satu per satu. Wajah Marco jelas tampak kelelahan setelah mendampingi Bu Indri melakukan serangkaian agenda panjang hari itu. Abi dan Tantina sendiri hanya bisa memberikan semangat yang disambut dengan senyum masam di wajah senior mereka tersebut.
Ketika Bu Indri sudah duduk dengan tenang di kursinya, begitupula para direktur yang lain, acara segera dimulai. Sebelum lampu dipadamkan dan tarian pembuka acara berlangsung, Abi sempat melihat kepala Kendra berputar, menatap ke arahnya. Namun, kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja karena setelah itu — meski Abi tak bisa melihat — Calvin keburu menyikut lengan Kendra.
“Bisa nggak berhenti nyariin cewek lu? Lo kan bongsor. Kalo gerak dikit, pasti orang-orang bakal sadar,” tegur Calvin, membuat Kendra bersungut-sungut.
“Gu — gue cuma lagi cari Noah, kok!” kilah Kendra.
“Dih, sok mau ngibulin gue lu?”
Kendra terdiam sambil melipat bibir. Ia masih belum puas melihat Abi sebetulnya, tapi keburu kena peringatan keras dari sahabatnya. Terpaksa, Kendra menahan diri dan berusaha menaruh fokusnya pada penampilan di panggung hingga tiba waktunya Direktur Utama mereka, Marelene Indriana, menyampaikan pidato sambutannya.
Tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan Indri. Hanya sambutan formal seperti apa yang disampaikan pada acara-acara lainnya, pada awalnya. Abi pun tak begitu menyimak sebenarnya karena ia hampir hafal apa yang akan Indri sampaikan; rasa bangga terhadap dedikasi dan loyalitas para pegawai, pesan untuk terus menjaga kekompakkan, kekeluargaan, serta nilai-nilai budaya perusahaan, dan juga harapannya agar SMFood akan semakin berjaya ke depannya.
Semuanya terasa baik-baik saja sampai tiba-tiba saja, di penghujung pidatonya, Indri menyampaikan rasa sedihnya karena akan kehilangan salah satu pegawainya yang paling berprestasi dan loyal, yaitu Abi.
Semua orang tercengang, tak terkecuali Kendra yang langsung melirik Indri dengan tatapan tajam. Kepala Kendra lalu otomatis berputar ke belakang, ingin memastikan sosok Abi yang kini duduk dengan tubuh menegang. Tangannya terasa dingin. Kalau bukan karena Tantina yang memeluk tubuhnya dan karena masih ada akal sehatnya sedikit tersisa, Abi pasti sudah meraung mendengar pidato basa-basi Indri yang entah apa tujuannya disampaikan malam ini. Terkadang Abi pun heran. Ia hanyalah pegawai rendahan, kenapa Indri harus menyimpan dendam begitu besar kepadanya?
“Saya tahu, Abi adalah sosok pegawai yang selalu bekerja keras dan penuh dedikasi. Saya rasa di manapun ia akan melanjutkan karirnya nanti, dia pasti akan tetap bersinar karena dedikasi itu mahal sekali harganya, tidak pernah bisa dibeli.” Abi menatap geram Indri yang kini meliriknya dengan senyum sinis. “Semoga berbagai pelajaran yang kamu dapat di sini bisa bermanfaat untuk karir kamu ke depannya ya, Abi.”
Semua orang bertepuk tangan, lalu kembali berbisik-bisik penasaran kepada Abi begitu Indri turun dari panggung dan duduk kembali di kursinya. Sekuat tenaga Abi berusaha memasang senyum di wajahnya sambil menjawab satu per satu pertanyaan dari rekan-rekannya dengan penuh kesabaran, seolah-olah ia baik-baik saja. Seakan-akan, Abi tidak ingin berlari keluar ruangan sekarang juga karena mendadak dadanya terasa sesak. Kalau boleh jujur, air mata Abi hampir tumpah waktu ia melihat Kendra memutar kepalanya, menatap Abi penuh rasa iba.
“Sabar ya, Bi.”
Abi mengangguk kala Tantina berbisik di telinganya. Ia lalu memusatkan perhatiannya pada ponselnya, pura-pura antusias ingin mengikuti game Kahoot! bersama seluruh pegawai lain dengan hadiah doorprize berupa voucher menginap di hotel bintang lima selama tiga malam, meski sebenarnya hatinya hancur lebur. Abi harus menang. Setidaknya, rasa sedihnya harus terbayarkan, tekadnya.
Sayangnya, meski dengan tekad sebesar dunia, nasib Abi belum beruntung malam itu. Ia harus bersedia mengalah berada di posisi kelima, sementara orang yang menjadi juara pertama tak lain dan tak bukan, dan tak mengherankan adalah Kendra, calon suaminya sendiri. Meski pertanyaan dalam permainan seluruhnya disiapkan oleh pihak EO, Kendra bisa menjawab seluruh pertanyaan dengan benar — membuktikan wawasan pria tersebut memang seluas samudra. Abi terpaksa merelakan hadiahnya untuk Kendra. Ia pun bertepuk tangan lesu ketika Debora meminta Kendra naik ke atas panggung untuk menerima hadiah secara langsung.
“Memang selain karismatik dan charming, Pak Kendra ini juga pintar dan berwawasan luas, ya,” puji Debora dengan mata berbinar. “Apa coba kurangnya?”
Tak heran sebenarnya karena Abi tahu, Debora dulunya merupakan salah satu penggemar garis keras Kendra sebelum akhirnya memutuskan menikah enam bulan lalu. Ia salah satu pegawai perempuan paling vokal yang sering memuji, meledek, dan tak segan menggoda Kendra — hanya untuk candaan — di depan umum. Meski sudah menikah, sikap usil Debora ketika menggoda Kendra sampai sekarang nampaknya masih belum juga berubah. Perempuan itu selalu senang dan tertawa geli setiap melihat wajah Kendra tersipu malu.
Ketika Kendra masih tersenyum malu seraya menunduk, tiba-tiba saja terdengar celetukan dari salah satu dewa di barisan terdepan, Pak Darwin, Direktur R&D.
“Belum punya istri!”
Orang-orang tertawa. Hanya Kendra yang terdiam sambil tersenyum malu dan menunduk, begitu juga Abi yang memandang Kendra di panggung dengan perasaan simpati. Para dewa yang lain ikut tertawa bersama Pak Darwin. Di antara mereka, hanya Pandu sepertinya yang tak ikutan menyoraki Kendra hanya karena statusnya yang masih lajang. Pandu justru hanya tersenyum melihat Indri menatap Kendra dengan satu alis terangkat.
Sebelum tawa para dewa benar-benar mereda, Debora berjalan cepat turun dari panggung menghampiri Pak Isemt yang tadi sempat menyerukan sesuatu, namun suaranya teredam oleh riuh-rendah suara orang-orang di sekitarnya.
“Iya, gimana, Pak Ismet?” Debora mendekatkan kepalanya kepada Isemt untuk mendengarkan lebih jelas apa yang dikatakan pria paruh baya tersebut. “Oh…,” ucap Debora sambil mengangguk-angguk paham dan tersenyum. Tak berapa lama, ia kembali menaiki panggung, berdiri di sebelah Kendra.
“Pak Kendra, katanya mau dikenalin sama keponakan Pak Ismet, nih. Gimana? Mau nggak, Pak?”
Kendra hanya terkekeh canggung, tak menjawab pertanyaan Debora. “Hehe….”
“Atau jangan-jangan sudah punya calon, Pak?”
Kendra mengangguk kaku. “U — udah.”
Para pegawai dan dewa-dewa — termasuk juga Indri — kembali terkesiap. Banyak sekali kejutan informasi yang mereka terima hari ini. Mulai dari kabar Abi yang tidak akan lagi menjadi bagian dari keluarga besar SMFood mulai tahun depan, hingga Kendra — yang tak disangka-sangka — diam-diam sudah punya calon istri.
“Wahhh,” Debora bertepuk tangan riuh, “Siapa, Pak? Kok nggak dikenalin?”
Kendra seketika melirik Abi yang kini tengah menatapnya lurus-lurus dengan perasaan kembali berdebar. Abi harap-harap cemas menanti jawaban Kendra. Ia tak tahu apakah namanya sendiri akan keluar dari bibir pria itu malam ini.
Melihat Abi mematung dengan ekspresi kaku, Kendra mengatupkan bibirnya kembali yang hampir saja menyebut nama lengkap Abi. Pria itu mengangguk kecil kepada Abi, nyaris seperti kode tak kasatmata. Lalu, Kendra kembali menatap Debora dengan senyum sopan dan kikuk.
“A — ada pokoknya hehe….”
Abi kira, ia akan baik-baik saja. Namun entah mengapa, di samping rasa lega, Abi juga merasakan sedikit kekecewaan setelah mendengar jawaban Kendra, sama seperti penonton yang kini bersorak riuh, menuntut Kendra memberitahu siapa calon istrinya sebenarnya. Namun, pria itu teguh dengan jawabannya. Kendra langsung buru-buru pamit turun dari panggung dan kembali ke kursinya.
“Oh my god!” Tantina berseru sambil bertepuk tangan dan menggelengkan kepala. Ia menoleh menatap Abi dengan pandangan terkesima. “Pak Ganteng punya calon istri, Bi! Calon istri!!”
Tantina mengguncang-guncangkan tubuh Abi, seolah-olah Abi yang tak memiliki kesadaran. Padahal, Abi sesungguhnya benar-benar dalam keadaan sadar, Tina lah yang masih diserang rasa terkejut.
Selagi menenangkan Tina yang masih terguncang, Abi sempat melirik Kendra kembali. Pria itu kini tengah sibuk mengobrol dengan Calvin dan Martin, mungkin sibuk menerima ucapan selamat.
Kendra sama sekali tak melirik Abi yang kini hanya bisa mendesah lesu.
— tbc.