[Mau Nikah?] — Martabak “Asin”
Pukul sembilan malam lewat tiga puluh menit. Abi duduk sambil memangku wajah, dengan bosan menatap layar televisi yang tengah menampilkan acara sinetron favorit ibu dan ayahnya. Sejujurnya Abi masih mempertanyakan apa menariknya menonton sinetron Indonesia sedangkan ibunya setiap Abi ajak menonton drama Korea selalu menolak, alasannya,
“Nggak ngerti ah mereka ngomong apa haseyo haseyo itu mah apa sih?”
“Kan ada versi dubbing-nya juga, Bu.”
“Nggak suka ah. Itu mah cuma sebentar, cuma 16 episode ditinggal goreng rengginang juga habis.”
Sejak saat itu, Abi menyerah membujuk ibunya. Kalau ayahnya sih… mau dibujuk sampai mulut Abi berbusa juga tak akan mau. Kalau bukan karena istrinya, Basuki juga nggak bakal tertarik nonton sinetron. Hobinya cuma membaca dan mendengarkan siaran berita — sangat bertolak belakang dengan Abi.
Abi mengembuskan napas panjang, pandangannya menerawang ke layar televisi. Pukul tujuh tadi, Kendra sempat mengabari bahwa pria itu sebentar lagi akan segera berangkat. Berangkat kemana, Abi juga nggak tahu, soalnya ditunggu lebih dari dua jam pun sosok Kendra belum sampai juga. Mungkin maksudnya berangkat pulang ke rumah, sungut Abi sebal sambil menolak mengakui bahwa ia memang… menunggu kedatangan Kendra.
Abi kembali megembuskan napas panjang sambil melirik pintu depan rumah mereka yang sepi. Saking seringnya melihat Abi menatap pintu, kali ini ayahnya sampai menoleh — rela melewatkan adegan pertengkaran penuh drama antara mertua dan menantu yang ada di layar televisi.
“Kamu kenapa gelisah gitu? Lagi nungguin orang?”
“E — Enggak, Ay. Abi lagi pesen makanan online,” kilah Abi sambil memangku wajahnya kembali, pura-pura menonton dengan serius, meski Basuki tahu, Abi sama sekali nggak suka menonton sinetron Indonesia. Anaknya itu penggila drama Korea.
“Jajan apa udah malam begini?” sahut Mustika sambil menguap. Rasa kantuk yang sejak setengah jam lalu sudah merayap kini mulai tak tertahankan.
“Udah ah, Ibu ngantuk. Ayo tidur, Ay.”
Basuki mengangguk. “Iya, ngantuk nih. Ayah kekenyangan makan. Tadi Ibu nyambel enak banget dimakan pakai ikan asin.” Basuki terkekeh sambil memukul-mukul perutnya yang membuncit.
“Kamu jangan begadang, Nak. Besok kan masih harus kerja,” pesan Basuki kepada Abi sebelum menyusul istrinya ke kamar, meninggalkan Abi duduk sendirian termenung di ruang keluarga, menatap layar televisi tanpa selera.
Agaknya Abi bimbang memutuskan apakah sebaiknya ia menunggu sebentar lagi — berharap akan ada “seseorang” yang tiba-tiba saja akan muncul di depan pagar rumahnya — atau memang seharusnya Abi tak usah banyak berharap dan membuang waktu untuk janji manis Kendra yang bahkan tidak bisa pria itu tepati.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Abi ketika akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri tontonan yang sama sekali tidak bisa ia nikmati tersebut — jelas dongkol berat. Abi menekan tombol power pada remot dengan sekuat tenaga, tepat di momen ketika ponselnya tiba-tiba saja berdering nyaring, memecah suana sunyi di ruang keluarganya yang hanya ditinggali Abi seorang.
Abi mendengus kala melihat nama Kendra di layar ponselnya. Ia sudah memprediksi, Kendra pasti hanya menelepon untuk meminta maaf karena tak bisa menepati janjinya.
“Halo,” sapa Abi dingin.
“Saya di depan rumah,” ucap Kendra diselingi gemerisik suara angin.
“Rumah siapa?” tanya Abi masih enggan bersikap ramah.
“Rumah kamu.”
Mata Abi melebar seketika. Ia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sepuluh, tetapi Kendra tetap datang.
Abi lantas berlari keluar rumah. Benar seperti dikatakan Kendra, pria itu sudah berdiri menunggu di depan pagar rumah Abi yang rendah — mungkin hanya sebatas dada Kendra, beberapa bagian catnya juga sudah mengelupas dan berkarat.
Di bawah remang cahaya penerangan dari tiang listrik persis di depan rumahnya, Abi bisa melihat Kendra tersenyum meringis, merasa bersalah. Kedua tangannya disembunyikan di belakang tubuh. Meski baru melihat Kendra selama beberapa detik, nampak jelas pria itu kelelahan dan memaksakan diri datang ke rumah Abi meski wajahnya sudah kuyu. Lengan kemeja Kendra juga sudah terlipat sampai ke siku, tandanya, Kendra pasti habis mengerjakan suatu hal yang sangat menyedot energi dan pikirannya.
“ Maaf, Abi. Masalah sistemnya baru selesai pukul 9 tadi. Saya mau pamit duluan nggak enak….”
Lalu perlahan, kedua tangan Kendra terulur kepada Abi sehingga perempuan itu bisa melihat dengan jelas beberapa bungkus plastik bertuliskan nama sebuah kedai martabak premium terkenal yang Abi tahu harganya di atas rata-rata harga martabak pada umumnya.
“Buat keluarga kamu,” ucap Kendra seraya menunduk, berharap Abi masih bersedia menerima buah tangannya yang sudah susah payah ia beli sebelum sampai ke rumah Abi.
Mulut Abi separuh terbuka melihat makanan pemberian Kendra. “Ini banyak banget, Pak.”
Abi ragu-ragu meraih ketiga kantung besar — masing-masing berisikan dua kotak martabak yang masih hangat — dari tangan Kendra. Ia lalu mengintip isi di dalamnya dan berpikir… Makanan seenak dan semahal ini sayang banget kalau sampai mubazir. Tapi, siapa yang mau makan martabak sebanyak ini tengah malam? Mau dibagikan ke tetangga pun tidak sopan mengetuk pintu semalam ini.
Abi menatap Kendra dengan pandangan serba salah. “Ayah sama ibu saya udah tidur. Saya kasih sebagian ke petugas siskamling nggak apa-apa ya, Pak?”
Kendra mengangguk kecil seraya tersenyum. Setidaknya, Abi masih mau menerima pemberiannya.
Tak lama, Abi membuka pagar. Ia meminta Kendra mengikutinya sebentar menuju gardu yang ada di ujung gang rumahnya. Di sana, Abi dan Kendra menemukan beberapa pria berusia awal 50-an tengah duduk sambil menonton pertandingan tinju dan bermain catur. Ketika Abi — dan Kendra yang mengekori dengan tangan disimpan di belakang tubuh — datang dengan dua bungkus besar martabak, para tetangga Abi tersebut langsung menyambut dengan senyum semringah.
“Bapak-Bapak, ini ada sedikit camilan buat nemenin begadang,” ucap Abi sambil tersenyum ramah.
“Wuihh… baik banget, Neng Abi. Makasih banyak, ya,” ucap salah seorang di antara tetangga Abi yang kini berganti menatap Kendra penasaran. “Ini pacarnya, Neng? Ganteng bener….”
Abi hanya bisa tersenyum meringis sambil menatap Kendra yang kini sibuk menyalami satu per satu para tetangganya yang ada di gardu dengan senyum kikuk — termasuk juga, Pak Parjo, sang ketua RT.
“Pak Basuki diem-diem saja ini kayaknya sebentar lagi mau bikin hajatan. Saya siap bantu tutup gang di sini dan buat alur pengalihan jalan. Nanti kabari saja ya, Nak Abi.”
Abi hanya mengangguk sekali, bingung bagaimana harus menanggapinya sementara Kendra pun hanya bisa terkekeh-kekeh kecil mendapatkan pujian berkali-kali dari para tetangga Abi. Keduanya lalu memutuskan untuk segera pergi sebelum rasa penasaran para bapak-bapak di gardu siskamling itu semakin menjadi-jadi. Abi takut Kendra — yang tampak jelas grogi karena tiba-tiba saja berkenalan dengan tetangga-tetangga Abi — memberikan informasi yang tidak perlu atau bahkan menyampaikan kalimat-kalimat yang akan menjadi cikal bakal gosip panas di area tempat tinggalnya selama berminggu-minggu.
Abi langsung mempersilakan Kendra duduk di kursi teras saat mereka tiba kembali di rumah Abi. Tadi sebelum masuk, Abi sempat mengintip mobil Kendra yang berderum. Sepertinya, Kendra datang diantar Pak Dadang. Abi agak sedikit lega mengetahui Kendra tak harus menyetir sendiri pulang ke rumah setelah melalui pekerjaan berat hari ini.
“Bapak udah makan?”
Kendra menggeleng menjawab pertanyaan Abi. Lalu dilihatnya tangan Abi dengan cekatan menghamparkan kotak martabak pemberiannya di atas meja. Abi menarik selembar tisu di atas meja, meraih sepotong martabak telur lalu menyodorkannya kepada Kendra. Hanya itu yang Abi lakukan, tapi tiba-tiba saja pipi Kendra bersemu tak kentara.
“Ma — Makasih.”
Kendra menikmati makan malamnya dengan tenang bersama Abi di sebelahnya. Keduanya terlarut dalam suana hening yang kali ini tak terasa canggung sama sekali. Seolah-olah, kehadiran Kendra dan Abi sudah seperti hal yang biasa bagi diri masing-masing. Meskipun, Kendra masih saja sering merasa grogi dan gelagapan setiap bicara dengan Abi.
“Sebenernya… apa sih yang Bapak liat dari saya?”
Kendra yang sedang meraup martabak dengan mulutnya menoleh kepada Abi, bingung mendapat pertanyaan serius dadakan. Ia mengucah cepat makanan di mulutnya dan menelannya bulat-bulat.
“Karena saya tau kamu… perempuan baik-baik?”
“Perempuan baik-baik itu banyak, Pak, tapi kenapa… Bapak milih saya?”
Ketika Kendra masih mencoba menemukan kata-katanya, ia dibuat terdiam oleh kalimat lanjutan Abi.
“Jujur aja, karena kejadian ini saya jadi mikir keputusan buat menikah ini memang terlalu cepat. Saya rasa… saya butuh waktu buat mikir ulang.”
Abi menatap Kendra dengan senyum pahit di wajahnya yang seketika membuat Kendra terdiam, mematung karena serangan rasa terkejut mendadak. Yang bisa Kendra lakukan hanya menelan ludah berat selagi rasa dingin mulai menyergap ke seluruh tubuhnya. Rasa panik dan seketika melanda Kendra mengetahui Abi ingin membatalkan rencana pernikahan mereka.
“Ke — Kenapa kamu ragu?”
Abi merentangkan senyum masam di wajahnya kembali, kali ini tatapannya tertuju pada deretan tanaman hidroponik peliharaan ayahnya yang tumbuh subur memenuhi pekarangan rumah Abi.
“Meskipun kita sama-sama mau nikah seperti pasangan normal, kita juga tahu ada alasan di baliknya, Pak,” Abi menatap Kendra kembali. “Saya… mau hidup bahagia sama pasangan saya, Pak. Itu yang saya liat dari Ibu dan Ayah saya. Ayah saya mungkin nggak bisa ngasih rumah megah atau perhiasan mewah, tapi saya tau Ayah saya rela ngelakuin apa aja asal Ibu saya — keluarga kami — bahagia.”
Abi kini menunduk, menatap lantai rumahnya yang mulai menguning. “Jadi menurut saya, lebih penting hidup bahagia ketimbang hidup bergelimang harta. Dan yang lebih penting… menikah itu harus atas dasar cinta, Pak… dan kita sama-sama tau, kita nggak punya itu. Saya juga baru paham pentingnya, setelah merenungi nasihat Kak Tina, Pak.”
Semakin mendengarkan penjelasan Abi, Kendra merasa seperti makin banyak jarum tiba-tiba saja menusuk tubuhnya. Awalnya kecil dan perlahan, tapi kian lama tusukannya semakin cepat dan dalam hingga Kendra pun tak mampu untuk sekadar mengaduh kesakitan. Ia hanya bisa termenung meratapi nasib hubungannya yang sedang berada di ujung tanduk — lagi dan lagi.
Kendra tak menyangka, Abi akan menjadi salah satu perempuan yang pada akhirnya… juga memilih meninggalkannya — seperti mantan-mantan kekasihnya yang lain.
Rasa rendah diri kembali menyerang ego Kendra yang kini terluka. Ia hanya bisa tersenyum pahit seraya menunduk ketika Abi mengantarnya kembali ke mobil dan membiarkan Kendra pulang dengan pikiran kosong.
Jika ditanya apakah Kendra mencintai Abi? Kendra juga bingung. Jujur saja, Kendra memang menahan diri karena takut… kejadian seperti ini akan terjadi, ketika Abi akhirnya mencampakannya.
Yang ia tahu, Abi memang sudah jadi orang penting dalam kesehariannya. Entah sejak kapan, nama Abi menjadi yang pertama kali muncul di kepalanya saat bangun pagi. Kolom chat Abi juga mendadak selalu berada di deretan paling atas, bersaing dengan orang-orang terpenting di kehidupan Kendra.
Tapi apakah definisi cinta hanya sedangkal itu? Kendra tak yakin.
Namun, mau dipikir berapa kali pun, keputusan Kendra tetap sama. Dia ingin menikah dengan Abi.
Hanya dengan Abi.
— tbc.