[Mau Nikah?] — Misteri Jodoh Kendra
“Lo kalau mau naik ke C-Level, harus pinter-pinter diplomasi lah. Bergaul. Ikut nimbrung sama kehidupan sosial para pimpinan high level.”
Bibir Kendra maju beberapa sentimeter mendengar nasihat Calvin. Belum juga lima menit bergabung, salah satu sahabat Kendra tersebut langsung menceramahinya panjang lebar setelah diceritakan secara singkat perkara apa yang membuat wajah Kendra kusut sepagi ini. Berbanding terbalik dengan setelan kemeja dan jas yang ia kenakan; licin, nyaris tanpa kerutan. Nggak heran kalau Kendra langganan menyabet penghargaan “Pegawai Berpenampilan Terbaik” setiap tahun. Penghargaan yang unik dan aneh sebenarnya kalau dipikir-pikir, tetapi menjadi salah satu budaya perusahaan untuk mengedepankan nilai-nilai kesopanan dan kerapian.
Kendra menyuap buah mangga potong yang ia beli di minimarket tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor, ke mulut. Jatah sarapan paginya baru sempat ia makan sekarang, setelah terinterupsi percakapan panas dengan sang ibu.
Sebenarnya hal itu — ribut-ribut soal pekerjaan Kendra — bukan kejadian pertama kali. Sebelum Kendra menjabat sebagai Manajer, cercaan semacam itu hampir jadi makanan sehari-hari. Orang tuanya tak pernah merestui pilihan Kendra untuk menempuh jalur karirnya sendiri, alih-alih meneruskan usaha orang tua. Tidak seperti Rendi, kakak sulung Kendra yang dengan patuh menggantikan posisi sang ayah sebagai Direktur Utama.
“Ya bapak-bapak itu kan seringnya main golf sambil bawa istri. Setiap gue ikut cuma jadi bahan bully-an aja, bujangan sendiri.” Kendra bersungut-sungut. Tangannya meraih selembar tisu dari saku jas dan menghapus sari-sari mangga di sudut bibirnya dengan kasar.
“Paling nggak ikut makan siang bareng lah sama mereka di kantor,” imbuh Calvin. Ia menghela napas sabar melihat Kendra menunduk lesu, sama sekali tidak ada wibawanya. Tidak seperti sosok Kendra yang biasa dilihat oleh para pegawai di kantor.
“Gaya lu sok nasehatin Kendra, Bang,” Noah yang sedari tadi sibuk ikut mencomot mangga di wadah plastik milik Kendra menimpali nyinyir. “Lu aja selalu selalu melipir tiap diajak bapak-bapak itu nongkrong. Lu kan sama Kendra se-level.”
“Beda lah,” timpal Calvin santai. Kepalanya menengadah ke atas, melihat dedaunan merambat rapi di atas kanopi, memayungi kursi tempat ketiga pria tersebut duduk menikmati pancuran sinar mentari yang belum terik. “Orientasi gue kan bukan karir kaya si Kendra. Kalau bisa turun jabatan juga gue mau,” lanjut Calvin.
Noah otomatis menggerutu kecil mendengar pembelaan Calvin. “Emang susah sih temenan sama dua anak orang kaya.”
Calvin buru-buru menyela, “Gue nggak, ya.”
“Ya bukan lo, tapi istri lo silver spoon, alias mertua lo tajir melintir. Gue inget ya dateng ke nikahan lo nggak boleh ngasih amplop, malah dapat suvenir logam mulia 0,5 gram,” kisah Noah berapi-api. Yang disindir malah pura-pura tak dengar dan sibuk bersiul.
“Apalagi nikahan si kunyuk satu ini,” Noah menunjuk Kendra yang kembali sibuk mengunyah mangga. Gerakan mulutnya terhenti waktu Noah mengacungkan telunjuk tepat ke depan wajahnya. “Gue males ya kalau sampe mau masuk gedung nikahan aja antre panjang banget gara-gara ada rombongan patwal yang ngiringin pejabat-pejabat. Tapi, gue yakin sih, suvenirnya lebih bombastis. Apa, Ken? AirPods, ya?”
“Haan si,” Kendra menyahut malas dengan mulut kondisi mulut penuh. Sekuat tenaga ia berusaha menelan potongan terakhir mangga dalam mulutnya. Kendra memutar bola mata melihat Noah cengengesan membayangkan pesta resepsi pernikahan dirinya tersebut.
Setelah percakapan sempat menyimpang, Calvin kembali menatap Kendra serius, membicarakan topik utama mereka.
“Lo ikut lah kalau bapak-bapak itu nongkrong sore-sore di sini.”
Kendra langsung mencibir. “Mereka kan kalau nongkrong sambil ngerokok. Lo tau sendiri gue punya riwayat asma. Masa mereka ngerokok, gue ngerujak?”
Calvin mendengus mendengar pertanyaan sewot Kendra. “Halah si paling healthy life….”
“Ya udah lah, Ken. Kalau gitu nikah aja,” usul Noah sambil menjulurkan kaki ke depan. Badannya condong menghadap Kendra. “Biar bisa nimbrung pas main golf. Lagian, enak tau nikah.”
“Halah, Kendra lagi….” Calvin tertawa meremehkan sambil melirik Kendra yang kini melotot menatapnya. “Susah. Jadi laki terlalu baik. Kalau nggak dipelorotin duitnya, ya diselingkuhin.”
“Sialan,” gumam Kendra tak jelas sambil membatin, membenarkan apa yang disampaikan Calvin. Pikirannya melayang jauh pada ingatan akan hubungan romantis yang pernah ia jalani sebelumnya. Hanya dua kali, keduanya pun gagal di tengah jalan.
Mantan pertamanya, saat kuliah, hanya memanfaatkan Kendra sebagai “tabungan berjalannya”. Sementara, mantan terakhirnya meninggalkan Kendra dan memilih pergi dengan selingkuhannya tepat setelah Kendra mengajak menikah.
Yang menarik, alasan kedua mantan Kendra memutuskan hubungan dengan lelaki itu sama; Kendra terlalu baik dan membosankan, tidak ada hal yang mendebarkan dari hubungan mereka. Menjalin hubungan dengan Kendra terasa seperti mengencani robot. Datar.
Kendra menggeleng, memejamkan mata berusaha mengusir bayangan kelam tersebut. Tak berapa lama, kesadarannya kembali kala mendengar Noah bersuara kembali.
“Serius nih. Gue udah liat-liat database pegawai yang sekiranya lajang dan cocok buat lo deketin.” Dengkul Noah menyenggol dengkul Kendra.
“Siapa aja?” tanya Calvin penasaran.
“Veronica, divisi R&D. Lebih tua dua tahun, sih. Baru cerai dari suaminya sebulan lalu, belum punya anak.”
“Yang bener aja!” Calvin menggebrak meja di depan mereka, membuat Kendra terlonjak. “Orang baru cerai udah dipepet. Yang ada si Kendra dikira selingkuhannya!”
Noah berdecak, sementara Kendra hanya diam menjadi pemerhati.
“Sarah deh, divisi marketing.”
“Divisi marketing mana?” tanya Calvin bingung. “Nggak ada tuh di tim gue yang namanya Sarah.”
“Divisi marketing kantor cabang Surabaya, Bang,” tambah Noah yang langsung menyulut emosi di wajah Calvin.
“Lo ini sok-sok mau ngasih solusi, tapi nggak solutif, kuda! Ngapain nyari jauh-jauh banget? Emang di kantor kita ini krisis wanita lajang apa? Atau emang yang jomblo cuma Kendra?”
Kendra yang duduk di tengah-tengah dan menjadi bahan pergunjingan hanya bisa menatap perdebatan Calvin dan Noah dengan wajah muram campur bingung. Perasaan ini nasib jodoh gue, kenapa mereka yang repot banget, ya? Batinnya.
Setelah melempar cacian kepada satu sama lain seperti bola pingpong, akhirnya Calvin melepaskan pandangannya dari Noah ketika dilihatnya pria itu sibuk berpikir kembali.
“Ada sih. Lajang statusnya, tapi ya kali secakep dia masih jomblo?”
“Siapa?” sahut Calvin galak, sudah siap menghujat Noah kembali.
“Siapa?” kali ini giliran Kendra yang bersuara, membuat Noah terperangah.
“Abigail, sekretarisnya Bu Indri.” Dilihatnya Kendra tampak merenung sebentar. “Lo tertarik? Kalau mau, gue bantu cari tau udah punya pacar atau belum.”
“Udah, sikat aja, Ken,” timpal Calvin menyemangati Kendra yang bimbang, sibuk menimbang-nimbang.
“Boleh deh,” sahut Kendra akhirnya.
“NAH!” Calvin menepuk pundak Kendra keras-keras. “Gitu. Baru laki pemberani!”
Kendra terkekeh dengan ekspresi meringis. Tidak yakin sebenarnya apakah ini ide yang tepat dan bagus; menikah hanya demi memperlancar jenjang karirnya, meski, ia sendiri tak menampik, ada juga keinginan dalam dirinya untuk segera memiliki pasangan hidup.
Kendra meraih botol minumnya, menenggak air banyak-banyak ke dalam kerongkongannya yang kering.
Abigail itu… yang mukanya cantik dan lucu itu, kan? Mana mungkin nggak punya pacar?
— tbc.