[Mau Nikah?] — Perasaan Abi
Abi menyandarkan kepalanya pada kaca bus, menatap gedung-gedung tinggi pencakar langit di hadapannya dengan perasaan kosong. Rasanya seperti mengulang kembali hari-harinya sebagai seorang budak korporat yang malam ini membuat Abi rindu. Meski lelah menjalani hari-harinya dulu, namun sebagian besar yang ia rasakan hanyalah lelah fisik, bukannya lelah batin seperti sekarang.
Abi bingung. Semuanya sudah terlanjur dipesan; cincin dan kebaya pernikahannya, gedung acara yang harga sewanya tak pernah Abi bayangkan, desain dan daftar tamu undangan. Segala persiapan pernikahan yang akan berlangsung sekitar tiga bulan lagi itu dipercepat dengan biaya yang tentu tidak murah — meski seluruhnya Kendra yang berjanji akan menanggung sendiri. Abi hanya diminta mempersiapkan diri yang ternyata… memang butuh banyak perjuangan, bukan sekadar persiapan mental menjelang pernikahan saja.
Akhir pekan ini, acara lamarannya dengan sang calon suami akan berlangsung. Abi tak tahu bagaimana harus melaluinya dengan rasa bimbang yang semakin berkecamuk, menggoyahkan keyakinannya untuk membangun masa depan bersama Kendra yang sampai sekarang seolah kesulitan membangun kedekatan dengan Abi.
Abi khawatir, pria itu mungkin selamanya tak akan pernah bisa menyukainya. Apalah dirinya, hanya seorang gadis biasa dengan latar belakang tak spesial-spesial amat.
Namun, mana berani Abi membatalkan semua proses yang sudah berlangsung? Mana sanggup ia menanggung seluruh biaya kerugiannya? Dan yang paling penting… mana sanggup Abi mengecewakan hati kedua orang tuanya yang sudah kadung bahagia melihat sang putri kesayangan akan menikah dengan keluarga terpandang? Apalagi, Basuki dan Mustika tampak begitu terkesan dengan sikap santun Kendra.
Abi mengembuskan napas panjang. Tak sadar bahwa air matanya sudah turun deras entah sejak kapan. Abi cepat-cepat menyekanya dengan tisu compang-camping dalam remasan tangannya. Tak lama ia sadar, busnya hampir tiba di halte tujuannya.
Abi buru-buru menerobos kerumunan manusia yang berdiri berhimpitan dan turun persis di depan halte. Kepalanya berputar cepat mencari sosok sang ayah yang ketika Abi masih di dalam bus pun sudah mengirimkan pesan akan menjemput. Namun, bukanlah sosok Basuki yang Abi temukan duduk di atas motor matic hitam butut keluarganya, melainkan seorang lelaki yang seharian ini memenuhi isi kepala Abi.
Kendra duduk termenung di atas motor yang tampak kekecilan untuk ukuran tubuhnya. Kepalanya menengadah, menatap langit yang mulai bergemuruh, khawatir hujan sebentar lagi turun. Telapak tangannya ikutan menengadah, memastikan gerimis belum datang. Sementara orang-orang mulai mencari tempat berteduh, Kendra hanya mengkhawatirkan Abi yang belum juga nampak meski sudah setengah jam ia menunggu di sana. Kendra takut, Abi mungkin tertidur di bus karena pulang selarut ini.
Ketika Kendra menurunkan pandangannya kembali, ternyata sosok calon istri yang ia nantikan sudah tiba di hadapannya. Jantung Kendra kembali berdebar-debar. Raut cemasnya berubah semringah. Namun rasa senang itu tak bertahan lama, memudar seiring pandangan Kendra menangkap sorot kesenduan di balik sosok jelita Abi. Gadis itu berjalan tertunduk ke arahnya.
“Mana helm aku?” Abi mengulurkan tangan, enggan menatap Kendra. Pandangannya sengaja ia tujukan pada penumpang yang menumpuk di halte malam itu.
“O — Oh, sebentar.”
Kendra buru-buru membuka jok motor. Ia tidak hanya mengeluarkan helm untuk Abi, tetapi juga dengan sigap memasangkannya ke kepala sang gadis yang kini memilih menatap aspal di bawah kakinya dengan bibir bergetar menahan tangis.
“U — Udah pas belum?” tanya Kendra usai menarik tali helm Abi dengan kencang, membuat Abi nyaris tercekik. Kepalanya ikutan menunduk, kesulitan melihat ekspresi Abi yang hanya mengangguk pelan merespons pertanyaan Kendra. Perkara helm nanti bisa Abi betulkan sendiri. Ia hanya ingin segera pulang sekarang dan menghindari bertatapan dengan Kendra sebelum air matanya jatuh lagi.
Sebelum membiarkan Abi duduk di motor, Kendra sempat melirik rok sebatas lutut yang Abi kenakan. Ia kemudian buru-buru melepaskan jaketnya dan menahan Abi.
“I — Ini, dipakai, buat nutupin kaki kamu. Dingin, sebentar lagi hujan,” kilah Kendra seraya meminta Abi berbalik. Ia mengikatkan jaketnya di pinggang Abi seperti sedang memasangkan celemek, sehingga bagian depan paha Abi tertutup seluruhnya oleh jaket besar Kendra.
Apapun yang Kendra katakan, Abi hanya menurut. Begitu juga ketika calon suaminya memintanya untuk berpegangan pada lelaki tersebut, alih-alih berpegangan pada besi di belakang jok seperti yang sudah direncanakan Abi. Setelah mendapat peringatan halus dari Kendra, mana berani sekarang Abi asal menyentuh pria itu?
“Pe — Pegangan aku aja,” ucap Kendra ketika dirasanya tangan Abi tak kunjung melingkar di pinggangnya usai gadis itu duduk di atas motor.
Lagi-lagi, Abi menurut. Tangannya ia lingkarkan secara longgar di pinggang sang calon suami, berusaha untuk tidak menyentuh sama sekali yang justru membuat posisi Abi dan Kendra kini tampak aneh. Malah terlihat seperti tengah bermain ular naga — permainan tradisional yang sering Abi mainkan saat kecil dulu. Kendra seperti umpan yang berhasil ditangkap Abi. Anehnya, adegan tersebut terjadi di atas motor dan berpotensi menjadi bahan tertawaan orang-orang yang melihat mereka.
Kendra berdeham sebentar sebelum membetulkan letak tangan Abi.
“Ehm… Ma — Maaf, ya,” ucapnya sambil menarik tangan Abi hati-hati dan merekatkan pelukan Abi di pinggangnya. Meski setelah itu, bisa Abi rasakan, tubuh Kendra juga ikut menegang.
Di tengah langit yang semakin bergemuruh, motor yang ditumpangi Kendra dan Abi berjalan lambat — karena kondisinya yang sudah tua. Sekuat apapun Kendra memutar gas di tangan kanannya, laju motor mereka seolah tak bertambah cepat sesuai harapan.
Beda kepala beda isi pikiran, yang dipikirkan Abi dalam suasana hening itu justru jauh dari kekhawatiran yang Kendra rasakan soal kecepatan laju motor mereka. Selagi memiliki kesempatan memandang punggung lebar Kendra di depannya sepuas hati, Abi justru merenung…
Bagaimana seandainya jika ia menikah dengan pria biasa? Dengan proses jatuh cinta selayaknya pasangan pada umumnya? Bagaimana seandainya jika… Kendra bukan calon suaminya? Alih-alih sebuah pencerahan, Abi justru jadi merasa sedih memikirkannya.
Kepalanya menolak mencari gambaran sosok pria lain sebagai calon suami selain Kendra. Abi tertegun seraya menelan ludah lambat-lambat. Sekesal apapun Abi pada sikap pria di depannya, tampaknya ia memang tak bisa mengelak soal perasaannya kepada Kendra.
Mengabaikan peringatan Kendra sebelumnya, Abi tanpa sadar menyandarkan kepalanya di punggung pria tersebut, menipiskan jarak antara tubuhnya dan punggung Kendra yang masih sedikit tegang hingga membuat Kendra menoleh.
“Ka — Kamu ngantuk, ya?” tanya Kendra cemas. Ia berusaha memeriksa kondisi Abi melalui kaca spion, tetapi tak terlihat.
Kepala Kendra akhirnya terpaksa berputar berkali-kali ke depan-belakang untuk memastikan kondisi Abi. Samar, Kendra bisa melihat kedua bahu Abi bergerak naik-turun dengan cepat. Tubuh gadis itu bergetar, diiringi suara tangis pelan yang kian lama kian kencang, membuat Kendra makin panik.
“L — Loh?? Kok nangis??”
Saking tak fokusnya mengemudi, tanpa sadar Kendra menerobos lampu merah. Untung malam itu tidak ada polisi yang berjaga, sehingga tidak ada suara peluit yang memaksa Kendra menepikan motor. Satu-satunya alasan mengapa Kendra memilih untuk menunda perjalanan pulang mereka dan berhenti di pinggir taman kota tak jauh dari lampu merah adalah Abi, yang masih memeluknya kencang sambil menangis.
Kendra langsung turun dari motor dan berjongkok di depan Abi.
“Ka — Kamu kenapa? Kelilipan?” tanya Kendra sambil meniup-niup wajah Abi dari jauh. Jelas tidak ada efeknya sama sekali, justru lebih kencang angin yang berembus menerbangkan rambut Abi yang tak tertutup helm.
“Kenapa sih aku nggak boleh megang tangan Mas?!” Kendra terjungkal ke belakang seketika Abi tiba-tiba saja berseru kesal kepadanya. “Mas jijik ya tangannya dipegang-pegang rakyat jelata kayak aku?? KENAPA AKU NGGAK BOLEH MEGANG TANGAN CALON SUAMI AKU SENDIRI?? HUHUHUHU….”
Kendra dengan sigap membetulkan kembali posisi tubuhnya yang sempat terduduk di trotoar. Ia lekas mengulurkan tangannya kepada Abi, berusaha menenangkan sang calon istri.
“Bo — Boleh. I — Ini, pegang aja,” ucap Kendra seraya menyodor-nyodorkan tangannya yang tak digubris sama sekali oleh Abi. Gadis itu hanya memandang lengan kekar Kendra penuh amarah.
“Udah nggak minat,” ketus Abi. “Mau pulang aja. Ayo, pulang.”
“I — Iya, tapi jangan nangis lagi, ya,” balas Kendra dengan sisa rasa panik yang masih menggelayut.
Ia kembali duduk di motor. Meski sedikit ragu, ia meraih tangan Abi tanpa aba-aba dan merekatkannya kembali di pinggangnya, takut tiba-tiba calon istrinya kabur. Sambil melajukan motor, tangan kiri Kendra yang dingin dan gemetar menahan rekatan tangan Abi di depan perutnya. Tak mau ia lepaskan meski tangisan Abi telah berhenti sekitar lima menit sebelum mereka tiba di depan gerbang rumah Abi.
“A — Aduh, gimana ini kalau Ayah sama Ibu liat kamu nangis?” tanya Kendra panik sambil membantu Abi melepaskan helm.
Abi tak menjawab. Wajahnya masih manyun kesal meski Kendra sudah berusaha membujuknya. Ia berjalan mendahului Kendra masuk rumah.
Di depan pintu, Abi berdiri sambil menarik napas. Dalam hitungan sepersekian detik, raut sedih berganti dengan raut semringah buatan yang berhasil membuat Kendra melongo. Bibir Abi mungkin tersenyum lebar, tetapi Kendra jelas sempat melihat delikan tajam yang dilemparkan Abi ke arahnya sebelum masuk ke dalam rumah.
“ASSALAMUALAIKUM, ANAK KESAYANGAN AYAH DAN IBU PULANG!”
Setelah itu, sosok Abi tak nampak lagi di depan Kendra. Gadis itu sibuk membersihkan diri, sengaja berlama-lama di kamar mandi demi menghindar melihat wajah Kendra lagi yang belum sempat mengobrol lebih jelas dengan Abi soal kejadian di jalan tadi. Kendra terpaksa pamit pulang hanya ditemani oleh Basuki.
“Sampaikan makasih untuk Pak Langgeng buat oleh-olehnya ya, Nak Kendra,” ucap Basuki sambil mengantar Kendra menuju mobilnya yang diparkir di depan rumah.
“Siap, Pak,” jawab Kendra patuh. “Maaf ya, Pak, Abi jadi sering bolak-balik ke rumah saya.”
Basuki terkekeh pelan sambil menepuk pundak Kendra. “Nggak apa-apa. Abi kan sambil belajar juga di sana. Daripada dia nggak nggak ngapa-ngapain di rumah… Cuma kadang dia suka ngeluh aja. Katanya capek, gurunya cerewet.”
Basuki tersenyum simpul, ingat bagaimana putrinya mengomel hampir setiap hari ketika sampai di rumah, usai menjalani “pendidikannya” di rumah Kendra.
“Saya pamit dulu ya, Pak.”
Basuki mengangguk, melambaikan tangan kala mobil Kendra melaju meninggalkan area rumahnya.
Di dalam rumah, Basuki menghampiri Abi yang baru selesai mandi. Putrinya tengah menonton drama Korea sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Basuki sengaja duduk di sebelah Abi sambil ikutan menonton sebentar.
“Cowok-cowok sempurna kayak di drama Korea tontonanmu itu nggak ada, Nak.”
“Ya itu sih Abi juga tahu, Ay…,” jawab Abi singkat, pura-pura sibuk menonton, padahal kepalanya jelas memikirkan Kendra dan adegan tangisan jeleknya di pinggir jalan tadi.
Mas Kendra langsung ilfeel nggak, ya, sama gue? Pikir Abi cemas dan langsung membenci pikirannya sendiri karena bisa-bisanya ia masih memedulikan apa yang Kendra pikirkan tentang dirinya sekarang, di saat ia sendiri yang seharusnya merasa ragu dengan keseriusan Kendra!
“Ayah itu kalau ngeliat calon suamimu jadi ingat Ayah waktu muda.”
“Kenapa?” tanya Abi bingung.
“Malu-malu kalau sama Ibumu,” aku Basuki jujur sambil terkekeh mengenang masa lalunya. “Habis, Ibu kan cantik banget. Kayak kamu.”
“Mana mungkin Ayah waktu muda kayak Mas Kendra. Mas Kendra mana bisa gombal begini,” sungut Abi sambil manyun, lalu kembali menatap layar televisi. “Lagian, kata orang-orang juga muka Abi lebih mirip Ayah ketimbang Ibu.”
Basuki masih saja terkekeh. “Pelan-pelan… Nanti kalau tiba-tiba kamu digombalin, jangan kaget, ya.”
Kepala Abi otomatis menoleh, menatap Ayahnya tercengang, sementara yang ditatap justru langsung kabur ke kamar sambil cekikikan.
“Udah malam, Nak. Jangan begadang terus nonton drama Korea.”
“Iya, Ay…,” sahut Abi sambil menatap kosong layar televisi.
Seorang Kendra Adinata bisa gombal? Mana mungkin? Pikir Abi skeptis.
Nggak gagap aja udah syukur!
— tbc