[Mau Nikah?] — Puncak Komedi
“Gini, Kendra. Ada arahan dari Ibu Suri.”
“Apa itu, Pak?” kening Kendra mengerut bingung sejurus Pandu mengeluarkan sebutan pamungkasnya terhadap atasan tertinggi mereka.
“Bu Indri minta Abi diganti dengan sekretaris baru.” Tampang Pandu tampak serius. Kedua tangannya juga bertaut persis di bawah tulang hidung tinggi pria berusia nyaris lima puluh tahun tersebut.
“Tukar posisi staff maksudnya, Pak?” tanya Kendra memastikan.
Pandu mengangguk, “Iya,” lalu sesaat kemudian menggeleng, “ tapi bukan.”
Mendengar jawaban atasannya, Kendra bukannya makin tercerahkan malah makin bingung. “Maaf, maksudnya gimana ya, Pak?”
“Kamu cariin sekre baru buat Bu Indri,” Pandu menjelaskan lambat-lambat, “Lalu, kamu sudahi kontraknya Abi.”
Mata Kendra mengerjap, terkejut mendapatkan informasi tersebut. “Dipecat maksudnya, Pak?” Pandu mengangguk, menjawab pertanyaan Kendra. “Boleh tau alasannya, Pak?” lanjut Kendra lagi.
“Saya juga kurang paham,” aku Pandu jujur. Ia membuka kancing jas sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. Matanya tak lepas menatap Kendra yang kini tampak jelas penasaran mendapatkan tugas semendadak ini. “Biasalah, masalah perempuan. Kayaknya Ibu Suri nggak suka ngeliat yang bening-bening di sekitarnya. Mungkin trauma? Kabarnya, mantan suaminya dulu selingkuh?”
“Tapi… kenapa cuma Abi, Pak? M — Maksud saya, perempuan di kantor ini banyak. Selain Abi, sekre perempuan Bu Indri kan juga ada Tantina. Masa semua perempuan di kantor harus dipecat?”
“Tantina kan sudah menikah dan punya suami. Dan lagi, kamu lupa? Dia masih ada hubungan keluarga dengan Bu Indri. Sekarang, saya tanya. Menurut kamu, Abigail cantik, nggak?”
Kendra menjawab cepat. “Cantik, Pak.”
“Nah, itu masalahnya. Menurut saya dia juga cantik. Dan juga, masih lajang. Cuma dia yang berpotensi menjadi saingan Bu Indri yang notabene seorang single parent, meskipun… menurut saya tetap nggak sepadan.”
Kendra menganggut-anggut setuju. “Betul, Pak. Abi jelas lebih cantik.”
“Lho, bukan,” sela Pandu, hendak meluruskan maksudnya. “Bu Indri ini kurang apa? Cantik, kaya raya, punya jabatan. Jelas nggak perlu merasa perlu bersaing dengan Abi.”
Kendra sekali lagi hanya menganggut-anggut, meskipun tetap tidak setuju dengan cara berpikir Pandu. Namun, begitulah kata orang bijak di kantornya; jangan pernah membantah atasan kalau ingin karir yang mulus dan cemerlang.
“Tapi… saya gimana jelasinnya ke Abi, Pak?” Kendra mulai menyadari tantangan besar dalam penugasannya kali ini. Mana mungkin ia bilang kepada Abi bahwa ia dipecat karena Bu Indri cemburu dengan kecantikannya dan takut merasa tersaingi? Seumur hidup, Kendra belum pernah mendengar alasan pemutusan hubungan kerja sekonyol itu.
Tetapi, jawaban Pandu sama sekali tak membantu. Sang atasan malah melemparkan seluruh pekerjaan kotor tersebut kepada Kendra.
“Ya itu kamu pikirin lah. Kan untuk itu kamu dibayar mahal?” Sejurus kemudian, Pandu menjabat tangan Kendra yang sejak tadi tertaut di atas meja.
“Saya percaya sama kamu, Kendra,” ucap pria itu dengan pandangan lekat dan serius. Kendra buru-buru berjengit mundur. Takut ditatap terlalu intens. Meskipun tahu Pandu juga sudah punya istri yang cantik, tetap saja Kendra ngeri kalau ditatap seperti itu oleh sesama jenis.
“B — Baik, Pak. Saya coba cari alasan yang logis untuk dijelaskan kepada Abi.”
Di dalam ruang kerjanya, Kendra duduk gelisah. Kakinya mengentuk-ngetuk lantai dengan cepat, sementara mulutnya menggigiti ibu jarinya sendiri. Setelah berpikir berulang-ulang, akhirnya Kendra sudah memilih alasan apa yang akan ia gunakan untuk memutus kontrak kerja Abi. Namun selogis apapun alasan yang ia buat, tetap saja Kendra merasa berat dan bersalah, seakan ada beban seberat satu ton menindih pundaknya. Rasa bersalah itu kian detik kian menjadi, apalagi begitu melihat Abi muncul di balik pintu ruang kerjanya — dengan senyuman manis dan paripurna khas perempuan tersebut.
“Permisi, Bapak manggil saya?”
“Oh iya, Abi,” Kendra buru-buru menyingkirkan tumpukan berkas di hadapannya, memastikan meja kerjanya kosong agar tidak ada benda yang mengganggu fokusnya memecat Abi. “Silakan masuk, anggap aja ruangan sendiri,” ucap Kendra gelagapan. Persis seperti tuan rumah yang kedatangan tamu tak diundang.
Sesaat setelah ia mempersilakan Abi duduk di depan meja kerjanya, Kendra ikut duduk dengan rapi kembali. “Kamu mau minum apa? Teh? Kopi? Susu?”
Abi — masih dengan senyum di wajahnya — menolak halus. “Jangan repot-repot, Pak hehe… Tumben Bapak manggil saya. Ada apa, ya?”
Tetapi, Kendra masih belum menyerah dengan tawaran berbagai macam suguhannya untuk Abi. “Saya minta si Asep buatin teh, ya?”
Bersamaan dengan itu, Kendra memutar kursi, lalu meraih sekaleng biskuit berwarna biru metalik elegan di atas kabinet berisi buku-buku tentang tata kelola organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Kening Abi mengernyit menilik koleksi bacaan Kendra, benar-benar seperti kutu buku penggila kerja, pikirnya. Tak lama, Abi mendapati Kendra menyodorkan kaleng biskuit dengan tulisan bahasa asing di kemasannya ke hadapan gadis tersebut.
“Ini, saya juga ada biskuit kiriman dari sepupu saya di Belanda — ”
“Ee — ehh… beneran nggak usah, Pak,” Abi buru-buru menolak waktu tangan Kendra mulai membuka lapisan segel pada kaleng biskuit. “Saya kayaknya nggak bisa lama-lama juga. Mau nemenin Bu Indri rapat,” jelas Abi. Mendengarnya, Kendra otomatis mengurungkan kembali niatnya menyuguhkan biskuit untuk Abi dan menyingkirkan benda tersebut ke tepian meja.
“Oh, oke.”
“Ada apa ya, Pak?” Abi mengulangi pertanyaannya yang tak kunjung dijawab dengan sabar.
Kendra sendiri merasa tak ada lagi kesempatan mengulur waktu. Ia harus segera menyampaikan maksudnya kepada Abi. Suka atau tidak suka, ini adalah perintah.
“Ehm… Abi, kamu udah berapa lama ya kerja di sini?”
“Lima tahun, Pak,” jelas Abi dengan sedikit rasa bangga karena mampu mempertahankan kinerjanya dengan cukup baik selama ini. Pak Toha, bosnya sebelum Bu Indri, selalu memuji cara kerja Abi yang rapi dan telaten. Makanya waktu mendengar Kendra memanggilnya ke ruangan, Abi merasa sedikit jemawa. Mungkinkah… ia akan mendapatkan apresiasi kinerja berupa kenaikan gaji? Sepanjang jalan menuju ruang kerja Kendra, Abi tak bisa menahan senyum di wajah akibat harapannya sendiri.
Apalagi sekarang, melihat Kendra menganggut-anggut sambil tersenyum tipis.
“Oh… iya, betul-betul. Waktu itu kan saya juga ikut wawancara kamu, ya? Ya… Ya… Begini Abi,” Kendra memajukan sedikit kursinya, sambil membetulkan posisi duduk yang sedari tadi pun sudah tegak. Tangannya, seperti biasa, bertaut di atas meja — demi menutupi rasa gelisah. Pria itu meremas kedua tangannya sebelum kembali berbicara sambil menatap Abi lurus-lurus.
“Menurut saya, kamu ini punya semangat dan jiwa pekerja keras. Itu modal yang bagus, Abi. Saya ingin menyampaikan terima kasih karena kamu sudah memberikan dedikasi terbaik selama ini — ”
“Ini saya mau diberi penghargaan ya, Pak?” ucap Abi girang, tak lagi bisa membendung rasa bahagia mendapat pujian tulus dari Kendra. Gadis itu meremas rok kerjanya sendiri di bawah meja kerja Kendra, berusaha menahan keinginan menggebu-gebu untuk menjabat tangan pria di hadapannya sekarang juga sambil mengucapkan terima kasih bertubi-tubi.
Kendra otomatis terdiam, mematung tak bereaksi begitu melihat cengiran lebar Abigail. Lidahnya mendadak kelu, tak bisa mengeluarkan kata-kata yang sudah ia siapkan sejak dua jam yang lalu. Pikiran Kendra terasa kosong, yang ada dipikirannya kini hanya paras cantik dan riang Abi yang jelas penuh harapan, seakan benar-benar sudah siap mendapatkan hadiah berupa bonus lima ratus juta rupiah.
Kendra menggigit lidahnya di dalam mulut. Meskipun ikutan tersenyum, Abi bisa melihat senyum aneh di wajah atasannya tersebut. Melihat ekspresi Kendra yang aneh, air muka gadis itu perlahan berubah. Senyumnya redup, digantikan perasaan cemas yang diam-diam merayap, menjalar dari ujung kaki yang dingin ke seluruh tubuh Abi.
“Bukan, Pak?” tanya Abi memastikan.
Kendra menelan ludah berat. “Begini, Abi… Saya mohon maaf sebelumnya. Saya harap, kamu tidak kecewa. Juga, pujian yang saya sampaikan tadi… benar adanya, tulus dari hati saya. Tetapi, dengan berat hati, saya harus menyampaikan keputusan dari dewan direksi untuk melakukan efisiensi dan perampingan organisasi. Kami — ” Kendra menarik napas sambil melirik Abi sekali lagi sebelum menjatuhkan bom di depan gadis itu.
“ — terpaksa harus memberhentikan kontrak kerja kamu.”
JEGERRR…
Mendadak petir seakan menyambar-nyambar di latar pembicaraan mereka. Kendra bisa melihat raut Abigail mengeras, tak bergerak sedikit saja meski Kendra sudah memanggil nama perempuan tersebut setidaknya tiga kali. Kendra mulai khawatir.
“Abi…?”
“Ke… Kenapa saya, Pak?” tanya Abi dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca, membuat hati Kendra terasa seperti disayat-sayat. Pria itu buru-buru meraih selembar tisu dan menyodorkannya kepada Abi. Abi menyambar cepat tisu pemberian Kendra dan menangis sejadi-jadinya.
Ketika tangisan Abi meledak, Kendra buru-buru menutup pintu ruang kerjanya sambil tersenyum kepada para pegawai di sekitar yang kini menatap ke arahnya dengan pandangan menuduh.
“Saya kerja keras sampai tipes, dirawat inap pun saya masih tetap kerja, Pak. Nggak begini dong harusnya balasan yang saya terima?” Raungan Abi membuat Kendra meringis prihatin berkali-kali, namun tetap saja kebingungan, tak tahu cara meredakannya.
“Yang benar aja, Pak? Masa dadakan begini?” Abi menggebrak meja Kendra penuh emosi. “Siapa yang mau nanggung biaya hidup saya? Orang tua saya gimana, Pak? Saya masih harus nyicil utang sawah Ayah saya…??”
“Sabar, Abi… Sabar…,” ucap Kendra, tapi sama sekali tak berefek untuk Abi. Raungannya semakin kencang.
“BAPAK SAMA BOS-BOS YANG LAIN GAMPANG AJA BILANG SABAR. SABAR DOANG NGGAK BISA BAYAR TAGIHAN SAYA, PAK!”
Kendra mulai menaik turunkan kedua tangannya di depan Abi, meminta gadis itu meredakan suaranya dan menenangkan diri. Namun, Abi tampaknya tak peduli sama sekali. Ia tetap saja menjadikan Kendra sebagai samsak pelampiasannya.
“SAYA SALAH APA, PAK?? TEGA BANGET SAYA DIGINIIN! SAYA VIRALIN NANTI!” Racauan Abi makin tak jelas. Kendra tak tahan lagi mendengar hujatan yang dilemparkan kepadanya. Setiap kata-kata Abi membuat rasa bersalah Kendra semakin menggunung. Serangan rasa panik semakin lama membuat kucuran keringat di pelipis Kendra makin deras. Lalu, tiba-tiba saja, sebuah ide terbersit di kepala pria tersebut. Ide yang Kendra sebenarnya tak terlalu yakin, tapi keburu meluncur dari bibirnya sebelum sempat Kendra pertimbangkan matang-matang.
“Kamu mau nggak nikah sama saya? Saya tanggung semua biaya hidup kamu dan keluarga kamu.”
Mendadak, Abi berhenti menangis, menyisakan cegukan yang mengisi ruang canggung kosong di antara ia dan Kendra. Keduanya termenung, saling tatap, namun pikiran masing-masing berkecamuk; Abi yang kelewat syok mendengar tawaran ajaib Kendra, sementara Kendra sendiri merasa sudah terlambat untuk menarik tawaran gilanya kembali. Sudah terlanjur tercebur, biar tenggelam saja sekalian.
“A — Apa, Pak?” ulang Abi tak yakin.
Kendra menarik napas lalu menelan ludah berat sekali lagi. Pandangannya lari sejenak dari tatapan menuntut Abi, grogi.
“Kamu… mau nggak nikah sama saya? Saya tanggung semua biaya hidup kamu dan orang tua kamu,” ulang Kendra membuat Abi semakin yakin, pria di depannya pasti sudah nggak waras. Orang waras mana yang habis mecat pegawai malah ngajak nikah? pekik Abi dalam hati.
Abi mengerjap menatap Kendra dengan mulut terbuka lebar, merasa tersinggung.
“Bapak udah gila, ya?” lontar Abi tanpa pikir panjang yang sukses membuat mulut Kendra terkatup rapat.
Iya, gue pasti udah gila, pikir Kendra kepada dirinya sendiri.
— tbc.