[Mau Nikah?] — Realita Hidup

soljaecruise
8 min readDec 25, 2024

--

Pukul setengah tujuh malam, pintu ruangan Kendra diketuk. Kendra yang sedang serius menatap layar komputer dengan hati gelisah terperanjat. Sedari tadi matanya mungkin fokus menatap deretan kolom berisi daftar pelanggaran presensi yang dilakukan pegawai, tetapi jelas pikirannya tidak di sana sejak awal. Pekerjaannya hanyalah pengalihan, alasan bagi Kendra mengulur waktu untuk pulang dan menunggu kedatangan Abigail dengan harap-harap cemas — cemas kalau ternyata Abi bahkan tidak memikirkan tawarannya sama sekali dan memilih untuk langsung pulang. Namun akhirnya, setelah menunggu lebih dari tiga jam dengan punggung yang rasanya sudah nyaris keriting karena terlalu lama duduk di kursi kerja, penantian Kendra terbayarkan.

Kendra gelagapan membetulkan pakaiannya yang sudah kusut sebelum membuka pintu. Wajar saja sebetulnya, jam pulang kerja memang sudah berakhir. Selain Kendra dan Abi, di lantai itu nyaris tidak ada lagi pegawai yang tertinggal. Hanya CCTV di sekitar ruangan yang tahu sesungguhnya bagaimana Abi mengendap-endap berjalan dari ruang sekretaris menuju ruangan Kendra meski tidak ada yang melihat.

Wajah merah Abi muncul begitu Kendra menarik kenop pintu. Matanya sembap dan bengkak. Rambutnya… Kendra rasanya ingin meraih sisir di laci meja dan menyapu anak-anak rambut di kepala Abi agar kembali tertidur. Tangannya bahkan refleks hampir menyelipkan rambut Abi ke belakang telinganya agar wajah gadis itu tampak lebih jelas. Namun ketika Kendra sadar, ia buru-buru menarik tangannya dan memasukannya ke saku celana.

Kendra membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Abi masuk.

“Misi ya, Pak,” ucap Abil sambil masih sesenggukan. Ia langsung duduk di depan kursi kerja Kendra tanpa permisi. Abi rasanya sudah lupa dengan segala sopan santun karena otaknya mendadak konslet.

Sebelum duduk, Kendra menyodorkan tisu kepada Abi. Melihat air mata Abi meluncur deras, Kendra diserang rasa panik kembali. Ia tak jadi duduk, malah berdiri di sebelah kursinya yang megah.

“Ka — Kamu mau duduk di kursi saya aja, nggak? Ini lebih empuk, lebih nyaman. Si — Siapa tau kamu jadi lebih tenang?”

Abi menggeleng. Ia meraih beberapa lembar tisu lagi sambil menenangkan diri. Sementara itu, diperhatikannya Kendra kembali menduduki singgasananya dengan hati-hati. Tubuhnya tegak, paripurna. Kedua tangan Kendra juga bertaut di atas meja. Dengan satu kancing kemeja teratas terbuka, penampilan Kendra tampak jauh lebih santai dari tadi pagi — saat memecatnya. Ugh. Perut Abi mendadak mual lagi ingat kejadian itu. Ia jadi malas menatap Kendra meski wajah setampan itu memang sayang banget buat diabaikan.

“Jadi gimana pesangon saya, Pak?” tembak Abi tanpa basa-basi. Pandangannya tertuju pada jemari panjang Kendra yang bertumpu di atas meja.

“Pesangon kamu akan tetap dibayarkan sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan. Nanti akan ada tambahan juga dari paguyuban pegawai,” jelas Kendra sambil sibuk memikirkan siasat lain untuk membujuk Abi menerima tawarannya. Tapi hal itu sulit dilakukan. Emosi Kendra seakan diperas habis melihat ekspresi muram di wajah Abi. Ia merasa seperti bajingan yang memanfaatkan kesempatan di tengah musibah orang lain.

“Jadi, kapan saya harus beresin meja?”

Perlahan, tatapan Abi kembali pada wajah Kendra. Sebenarnya, tak penting kapan ia harus hengkang dari jabatannya. Toh, sejak dikabarkan kontrak kerjanya diputus, seharian ini minat bekerja Abi sudah hilang. Pelan-pelan, ia mulai mengepak barang-barang dari mejanya. Sekarang, Abi hanya ingin meneliti sosok Kendra — yang datang bak pangeran berkuda berusaha menyelamatkannya dari situasi terjepit dengan menawarkan diri menjadi suami Abi. Tawaran yang benar-benar di luar ekspektasi dan nalar rakyat jelata seperti Abi. Apa orang-orang kaya emang suka aneh-aneh gitu tingkahnya, ya? Pikir Abi setengah-harian ini.

“Tadi saya sudah diskusi dengan Pak Pandu. Biar kamu masih bisa dapat bonus tahunan dan gaji bulan depan, kamu masih akan kerja sampai akhir bulan depan, tepat pergantian tahun.”

Kendra mengerjap beberapa kali, takjub. Dengan tatapan intens dari Abi, meski sebenarnya sedikit gugup, ia berhasil menjaga nada bicaranya tetap berwibawa. Diam-diam, Kendra tersenyum bangga. Gue harus berhasil membangun citra sebagai calon suami yang gagah dan berwibawa di depan Abi, tekadnya. Kendra melipat bibir sembari mencoba tersenyum ramah kepada Abi yang kini justru malah melengos dan sibuk memperhatikan ruang kerja Kendra. Matanya mengamati salah satu foto yang Kendra pajang di bagian lemari buku paling atas, nyaris tak terlihat dan selalu luput dari perhatian orang-orang.

Kendra kira, Abi hendak bertanya, tetapi gadis itu malah mengucapkan terima kasih yang seakan memberikan isyarat bahwa percakapan mereka sudah selesai, tidak ada lagi hal penting yang harus dibahas.

“Baik, Pak. Terima kasih, saya masih diberi waktu untuk cari kerjaan lain.”

Merasa Abi akan segera bangkit berdiri, Kendra mulai kembali panik. Ia tiba-tiba saja menyerang Abi dengan pertanyaan to the point.

“Ka — Kamu nggak tertarik… sama tawaran saya?” ucap Kendra dengan nada suara makin mengecil di bagian akhir, nyaris seperti cicitan. Tampak jelas di mata Abi, pria itu sedang kebakaran jenggot.

Abi menghela napas. Awalnya, dia memang sudah niat pergi dari ruangan Kendra. Namun, berhubung Kendra langsung membahas soal tawaran gilanya tadi siang, Abi menempelkan kembali tubuhnya ke kursi dengan nyaman.

“Pak, hidup kita ini bukan drama Korea. Emang Bapak serius sama tawaran konyol Bapak tadi?”

Kendra mengangguk cepat dengan penuh keyakinan. “Serius. Seribu rius,” jawabnya mantap. “Saya nggak bercanda sama sekali. Kamu nggak perlu ngurus rumah, duduk manis aja, jadi istri saya.”

Kendra menelan ludah, tatapannya lurus kepada bola mata gelap Abi yang mulai menyesatkan akal sehatnya. Terlebih, ketika gadis itu tampak berpikir matang-matang. Kendra tanpa sadar mengepalkan tangannya di atas meja, mencoba menahan luapan rasa cemas yang kian detik kian menggerogoti setiap sel dalam diri pria tersebut selagi menanti jawaban dari bibir mungil Abigail.

Dalam momen penuh penantian tersebut, Kendra juga jadi memiliki kesempatan untuk memperhatikan Abi dengan lebih detail. Matanya yang besar dan bersinar setiap kali menyapa orang, hidung dan bibirnya yang mungil, lesung pipit manis yang menghiasi wajah cantik tersebut, serta senyum dan sapaannya yang selalu ceria membuat rasa ragu Kendra kepada Abi yang mengganjal sebelum-sebelumnya lenyap. Kendra yakin sekarang, ia memang ingin menjadikan Abi sebagai calon istrinya.

“Bapak tau saya siapa?” tanya Abi pada akhirnya, tidak langsung memberikan keputusan.

“Tau, kamu Abi,” jawab Kendra polos.

Abi menghela napas panjang, mencoba bersabar. “Maksud saya, sebelum ngelamar ini memang Bapak tahu siapa saya dan keluarga saya?”

Kendra seketika terdiam, tak bisa menjawab karena sejujurnya, selain informasi yang ia peroleh dari hasil penulusuran database pegawai gadis tersebut, tidak ada yang Kendra tahu tentang Abi. Apa sebenarnya, dia janda, ya? Pikir Kendra. Namun seingatnya, di database gadis itu tidak ada riwayat pernikahan tercantum. Apa keluarganya pengedar narkoba? Kenapa dia sampe ngomong begitu? Kendra sibuk berasumsi sendiri.

“Saya tau keluarga Bapak. Emang keluarga konglomerat kaya Bapak mau nerima keluarga saya yang sangat sederhana dan tidak setara?”

“Mau,” jawab Kendra tanpa berpikir. “Saya bisa terima.”

Abi menghela napas lagi dan lagi. Kedua alisnya terangkat menatap Kendra yang kini menatapnya datar.

“Yang saya tanya itu keluarga Bapak. Nikah itu kan bukan soal kita berdua. Dan lagi, menurut saya Pak Kendra bisa banget nyari calon istri yang setara,” Abi terdiam sejenak seraya berpikir, “…tapi kenapa saya?” ungkapnya lebih kepada diri sendiri.

“Saya harus nikah.” Kepala Kendra tertunduk, menatap meja kerjanya sambil membayangkan wajah anggota keluarganya satu per satu.

“Untuk?”

“Naik jabatan.”

“Hah???”

Kendra menengadahkan wajah menatap Abi seraya menampilkan senyum getir. Hanya itu pemandangan terakhir yang diingat Abi selagi mengulang percakapannya dengan Kendra dalam kepala, selagi menempuh perjalanan pulang menggunakan bus Transjakarta.

Abi duduk melamun. Matanya menatap lampu berwarna-warni dari gedung pencakar langit Jakarta yang indah, namun isi cerita di dalamnya mungkin tak seindah apa yang nampak di mata orang-orang. Ada jeritan frustrasi, rasa depresi yang menghimpit di tengah kebutuhan untuk tetap hidup, atau juga…

ambisi yang menggebu, sama seperti alasan Kendra memutuskan untuk segera menikah.

“Saya harus punya istri supaya bisa bergaul dengan pejabat-pejabat kelas atas. Cuma saya… pejabat yang masih lajang di sini.”

“Saya nggak nyangka Bapak seambisius itu,” ucap Abi dengan nada kecewa. Peniliannya kepada Kendra seketika berubah. Ternyata, ada alasan lain di balik dedikasi yang selama ini tampak baik; status dan kekuasaan.

“Selain cuma saya pejabat yang masih lajang, cuma saya juga… anak yang dianggap nggak sukses di keluarga saya. Makanya, saya harus naik jabatan.”

Abi memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikirannya kembali dari ekspresi murung Kendra dan nada suaranya yang kelam ketika mengatakan dengan jujur alasannya memutuskan melamar Abi secara dadakan tersebut.

Percakapan mereka malam itu berakhir gantung. Abi tetap belum memberikan jawaban. Ia hanya minta diberi waktu untuk berpikir, meski tak tahu sampai kapan. Abi sebenarnya hampir yakin akan menolak lagi. Bagaimanapun, menikah untuk kedua alasan tersebut; membiayai hidup dan melancarkan jenjang karir, dirasa tidak bisa dibenarkan hati nuraninya.

Belum bicara soal hubungan personal Abi dan Kendra sendiri yang selama ini hanya sebatas interaksi formal. Abi tak bisa membayangkan bagaimana ia harus menikah dengan sosok Kendra yang kaku, jauh berbeda dengan dirinya yang ceria. Ia juga tak bisa membayangkan… bagaimana seandainya mereka menikah… dan Abi harus melihat Kendra dari kaca mata yang lain, sebagai seorang suami. Abi bergidik, tak siap membayangkan dirinya terlibat dalam hubungan romantis dengan pria yang terasa asing.

Tapi kan kalau di drama-drama Korea gitu, ini cuma nikah kontrak, ya? Paling juga nikah sebentar, terus cerai. Gitu, kan?

Abi menghela napas panjang. Kawin kontrak terasa lebih tak masuk akal lagi buat dijalankan. Bapak dan ibunya bisa mendadak terserang stroke kalau tahu anak gadis mereka dinikahi hanya untuk diceraikan lagi setelahnya. Menjanda di usia muda bukan termasuk prestasi yang ingin Abi banggakan, tentunya, meski nantinya ia akan berakhir kaya raya. Abi juga ingin dicintai oleh suaminya seumur hidup dan memiliki keluarga yang bahagia. Bukannya pernikahan penuh drama.

Abi melempar kembali tatapannya ke luar jendela dengan gusar. Ia terperanjat ketika menyadari bus yang ia tumpangi hampir mencapai halte yang ia tuju. Abi menarik tasnya dengan panik. Hampir aja kebablasan! Omelnya kepada diri sendiri. Gara-gara melamunkan Kendra, Abi hampir membuat ayahnya yang sudah nangkring di depan halte dengan motor matic lawasnya harus menunggu lebih lama karena Abi harus putar balik kalau sampai terbawa ke halte berikutnya.

Abi bergegas melompat turun dan menhampiri sang ayah yang sedang melamun menatap jalanan yang mulai sepi.

“Malam banget pulangnya, Nak? Habis lembur lagi?”

Abi mengangguk. “Sori, Ay. Abi lupa ngabarin tadi siang.”

Abi berdiri di depan motor sambil mengenakan helm dibantu sang ayah dengan tangan bergetar. Abi tertegun, sementara matanya memperhatikan bibir ayahnya yang sedikit pucat.

Ayahnya memang sudah renta, sudah waktunya istirahat saja di rumah sambil menimang cucu, bukannya sibuk mengantar-jemput Abi yang seringnya pulang larut. Abi jadi tak tega, karena dirinya, ayahnya harus menahan dinginnya terpaan angin malam.

Tangan Abi meremas ujung kaus ayahnya sambil motor matic merah yang mereka tumpangi melaju pelan — sedikit terlalu pelan — menuju rumah keluarga Abi yang sederhana. Kedua gigi Abi beradu, perasaan sedih mengoyak-ngoyak hatinya ketika Abi mengintip wajah sang ayah melalui spion yang berkali-kali kedapatan menguap menahan kantuk.

“Abi kan bisa pulang naik ojek, Ay. Harusnya Ayah istirahat aja di rumah kalau udah malam.”

Sang ayah langsung menolak gagasan tersebut. “Bahaya. Nggak aman. Ayah nggak tenang kalau kamu pulang sama orang lain.”

“Ya nggak bisa gitu dong, Ay,” ucap Abi sambil menahan getaran dalam suaranya ketika melihat surai-surai ayahnya yang kian memutih di balik helm. “Masa Abi nggak boleh pulang selain dijemput Ayah?”

Ayahnya terkekeh. “Ya boleh, nanti, kalau suami kamu yang jemput.”

Abi melipat bibirnya, terdiam. Sebulir air mata lolos ke pipi Abi. Abi cepat-cepat menghapusnya. Ia lalu melingkarkan tangannya ke pinggang sang ayah dan menyandarkan kepalanya di punggung pria berusia senja tersebut.

Tenang aja, Ay. Habis ini, Ayah nggak perlu jemput Abi lagi kok di halte, batin Abi sambil menahan air di pelupuk matanya yang kian menumpuk. Abi menggigit bibir kuat-kuat. Pandangannya mulai kabur, sementara pikirannya kembali mengulang seluruh percakapannya dengan kendra hari ini.

Sesampainya di rumah, Abi langsung masuk kamar dan menutup wajahnya dengan bantal. Di sanalah, tangisan yang sudah Abi tahan-tahan sejak turun dari bus tadi pecah. Ia meraung sejadi-jadinya; ingat tabungannya yang tak seberapa, ingat masih ada cicilan yang harus ia lunasi, ingat bahwa ia harus mencari pekerjaan lagi.

Kepala Abi rasanya mau meledak. Dan di saat pikirannya tak bisa berpikir benar seperti saat ini… tawaran Kendra terasa semakin menarik.

tbc

--

--

No responses yet