[Mau Nikah?] — Teman Lelaki Abi
Sejujurnya Abi tidak tahu apa yang aneh. Halte bus depan kantornya kah yang terlalu kecil, atau memang sore itu terlalu ramai pengunjung menunggu di halte, atau memang Kendra tampak tidak cocok saja duduk di atas bangku besi kumuh mengenakan setelan formal licin bermerek dengan kondisi masih sangat rapi — lengkap dengan sepatu pantofelnya yang mengilat dan tas kantor berbahan kulit asli yang Abi jamin harganya pasti lebih dari lima kali gaji bulanannya.
Sosok Kendra tampak kontras di antara para pekerja lain yang berada di halte dengan setelan kerja lusuh masing-masing — tampak jelas sudah berjibaku sejak pagi sekali, layaknya prajurit Spartan di medan perang, memperebutkan kursi di dalam transportasi umum yang tidak seberapa banyak.
Jangankan kursi, dapat hand strap saja sudah untung. Tak jarang mereka juga harus berdiri terjepit di antara orang-orang dan hanya bisa mengandalkan kekuatan betis masing-masing untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Jelas sosok Kendra tidak cocok bersanding di sana. Ketika Abi sampai di halte dan melihat Kendra telah duduk menunggu sambil melirik jam tangan, tiba-tiba rasa prihatin muncul begitu saja.
Kendra tampak seperti tersesat di kerumunan. Padahal yang seharusnya dikasihani itu Abi sendiri, yang setiap hari harus ikut bertempur memperebutkan kuota penumpang dalam bus, bukannya Kendra yang setiap hari bisa membawa kendaraan pribadi atau setidaknya membayar taksi tanpa pusing memperhitungkan argonya.
Abi berjalan mendekat sambil mendekap tas kerjanya sendiri — ibunya selalu bilang, kalau naik kendaraan umum, tas yang dibawa harus selalu disimpan di depan, biar nggak dicopet. Nasihat ini selalu Abi ingat sejak kecil dan terus terbawa sampai sekarang.
Waktu Kendra melihat Abi datang, ia sempat tersenyum, lalu pura-pura berdiri seolah-olah bus yang ditunggunya sudah datang. Padahal, Kendra memang sengaja ingin memberikan tempat duduknya untuk Abi. Abi balas melirik Kendra sekilas sambil tersenyum, mengisyaratkan rasa terima kasih, sebelum menempati kursi pemberian pria tersebut.
Karena masih ada beberapa pegawai SMFood yang menuggu di halte, Kendra dan Abi sengaja tak mengobrol. Keduanya diam memainkan ponsel masing-masing selagi menunggu bus datang. Sesekali, Abi tetap melirik Kendra yang berdiri bersedekap persis di depannya. Posisi tubuh pria tersebut sedikit menyerong ke arah Abi, sehingga Abi bisa melihat bagaimana paras Kendra menatap layar ponsel dengan serius. Abi tebak, mungkin sedang memeriksa suatu dokumen atau membaca artikel berita.
Tak lama berselang, bus yang mereka tunggu tiba. Abi bangkit berdiri, lalu dengan gerakan bola matanya yang gelap — tampak selalu berbinar di mata Kendra — meberikan isyarat kepada pria yang kini berdiri persis di sebelahnya bahwa mereka akan menaiki bus yang ada di depan mereka sekarang.
Kendra mengangguk pelan. Ia sengaja membiarkan Abi jalan lebih dulu, lalu memosisikan diri tepat di belakang Abi untuk “mengawal” sang calon istri. Tubuh besar Kendra sigap menghadang siapapun — khususnya pria — yang dianggap “mengancam keselamatan Abi” dari mulai mereka mengantre masuk ke dalam bus hingga kini, ketika Kendra dan Abi akhirnya berdiri di sudut belakang bus, terjepit di antara keramaian penumpang.
Kendra sempat kaget dengan kondisi sesak yang harus ia hadapi, tubuhnya refleks membuat “lingkaran perlindungan” untuk Abi dengan kedua tangannya menempel pada kaca bus, mengurung calon istrinya di tengah-tengah. Tubuh Kendra sengaja dibuat kaku, agar tak mudah terdorong atau digeser, membuat beberapa orang mengeluh, “Mas, geser dong. Ini saya juga kejepit.” Namun, Kendra tak mau dengar. Ia sengaja bersikap abai, yang penting Abi punya ruang cukup untuk bernapas.
“Kamu bisa napas, kan?” tanya Kendra sambil menatap Abi cemas.
Abi mengangguk seraya terkekeh. Alih-alih merasa tidak nyaman, Abi justru lebih khawatir melihat wajah Kendra yang pias karena tidak terbiasa harus ikut “bertempur” dengan pekerja Ibukota lainnya hanya untuk pulang ke rumah.
“Saya sudah biasa kayak gini, Pak. Saya baik-baik aja,” ucap Abi meyakinkan Kendra yang masih tampak khawatir.
“Gimana? Kapok nggak naik transportasi umum?” Abi tersenyum melihat Kendra yang hanya bisa menelan ludah, tampak bingung menjawab pertanyaannya.
“Berapa lama waktu tempuh sampai ke tempat halte kita turun?”
“Bapak takut pingsan?” Ledek Abi. “Masih agak lama, Pak. Ada tujuh halte lagi. Mungkin sekitar setengah jam.”
Tubuh Kendra makin lemas, namun sekuat tenaga, Kendra berusaha tetap terlihat baik-baik saja di depan Abi. Bagaimanapun, ia ingin dilihat sebagai pria yang tangguh oleh calon istrinya sendiri.
Dalam hati, Kendra benar-benar merasa iba karena Abi harus melewati perjuangan seberat ini setiap kali pulang kerja. Mungkin berangkatnya juga, tebak Kendra. Ini yang membuat Kendra semakin menggebu-gebu ingin memiliki kebebasan mengantar-jemput Abi, agar Abi tidak perlu tersiksa sepanjang hari. Pekerjaan menjadi sekretaris Marlene Indriana saja sudah berat, apalagi kalau harus berperang dulu dengan para pejuang Ibukota lainnya hanya untuk mencapai kantor dan mengais nafkah yang mungkin tak sebanding dengan beban kerjanya.
Ingin rasanya Kendra menaikkan upah seluruh pegawai SMFood. Sayangnya, ia tidak memiliki kuasa akan hal itu. Kendra hanya bisa mengusulkan. Itupun, kalau Pandu berani menyampaikan usulannya kepada Bu Indri.
Begitu suasana bus mulai lengang, Kendra baru bisa menarik napas dengan sedikit lebih leluasa. Itupun masih harus agak ditahan-tahan karena campuran macam-macam bau yang menyapa hidungnya membuat Kendra sedikit mual. Namun, ia tetap bertahan, demi Abi.
Kendra bahkan juga sigap merebut sebuah kursi kosong yang baru saja ditinggalkan penumpang, dan memberikannya untuk Abi. “Ma — Maaf, Mas. Calon istri saya kurang enak badan,” ucap Kendra kepada seorang penumpang pria yang tampak segar bugar ketika hendak merebut kursi tersebut darinya.
Abi langsung melemparkan lirikan tajam kepada Kendra yang dibalas dengan anggukan meminta maaf. Kendra lantas meminta Abi untuk segera duduk sebelum kursinya direbut kembali.
“Calon istrinya kenapa, Mas?” tanya sang penumpang pria yang tampaknya masih belum rela kursinya direbut.
Kendra otomatis gelagapan. “Ka — Kamu tadi sakit apa, Y — Yang?”
Y — Yang?? Mulut Abi menganga seketika, kemudian terkatup kembali akibat serangan rasa panik mendapat pertanyaan tiba-tiba. Detik itu juga Abi pura-pura meringis kecil sambil memegang perut.
“Ini, Mas. Biasa, penyakit wanita tiap datang bulan hehe,” ucap Abi kepada sang penumpang pria yang kini hanya bisa menganggut-anggut sambil memasang earphone di telinga, tak berniat menyambung obrolan mereka.
Abi lagi-lagi melayangkan tatapan mendelik kepada Kendra hingga pria itu hanya bisa diam sambil melipat bibir. Kendra tersenyum kikuk meminta maaf. Untuk sesaat, keduanya hanya diam menikmati perjalanan sambil Abi memijat sedikit betisnya dan Kendra memandang situasi jalanan di luar dari kaca jendela bus yang besar. Abi terkekeh melihat Kendra mengawasi pemandangan di depan pria itu nyaris tanpa berkedip.
“Pak,” panggil Abi, menarik perhatian Kendra. Pria itu sengaja menunduk agar bisa mendengar suara Abi lebih jelas yang sedikit tertelan keramaian.
“Sebenarnya tadi siang pas ayah saya kebetulan telepon, saya sempat bilang kalau akhir pekan ini, ada teman yang mau main ke rumah. Kayaknya sih ayah saya tau kalau saya mau bawa teman pria, Pak, hehe….”
Detik itu juga Abi menyadari ekspresi Kendra berubah, tampak merasa bersalah. Pria itu sempat meringis pelan sebelum membalas perkataan Abi.
“Ma — Maaf, Abi. Keliatannya jadwal ketemu orang tua kamu harus direncanakan ulang karena akhir pekan ini saya ada acara sama para Direktur.”
“Acara apa, Pak? Kerjaan kantor?”
“Bukan. Touring,” aku Kendra jujur.
Abi bersumpah, ia sudah berusaha menyembunyikan nada kecewa dalam suaranya biar nggak dikira terlalu berharap oleh Kendra. Namun, Abi tak bisa bohong, perasaan itu muncul begitu saja tepat ketika ia sudah merasa siap memperkenalkan Kendra kepada orang tuanya, tetapi ternyata pria itu lebih memprioritaskan agenda lain di luar urusan kantor.
“Ohh… Ya sudah, nggak apa-apa, Pak. Nanti saya bilang ke ayah saya, jadwal mainnya diundur.” Abi memaksakan seulas senyum tipis di wajahnya.
“Makasih, Abi,” jawab Kendra tepat sebelum keduanya kembali terdiam; Abi sibuk meredakan rasa kecewanya sementara Kendra kembali menikmati pemandangan yang jarang ia dapatkan — seperti menonton cctv dari layar sebesar bioskop.
Keduanya tidak lagi mengobrol hingga tiba di halte tujuan. Abi langsung bangkit berdiri, disusul Kendra yang patuh mengekori dan sigap menjaga Abi. Di tangga bus, Abi sengaja berpamitan lebih cepat karena ayahnya pasti sudah menunggu di halte.
“Pak, saya duluan, ya,” pamit Abi sambil berjalan menghampiri Basuki yang sudah setia menunggu di atas motor.
Abi meninggalkan Kendra begitu saja yang kini terdiam mematung di tengah-tengah lalu-lalang naik-turun penumpang bus, seakan kehilangan panduan. Ia mendadak bingung apa yang harus dilakukan.
Saat Abi menoleh ke belakang sekilas, ingin memastikan apakah Kendra baik-baik saja ia tinggal sendiri, ia melihat tangan Kendra refleks hampir melambai kalau saja pria itu tidak sadar ada tatapan Basuki yang tengah mengintainya, merasa curiga karena Kendra terus memandangi sosok Abi.
Kendra mengangguk kecil kepada Basuki sebelum berjalan kaku menuju halte, menunggu mobil jemputan Dadang yang sudah berada persis di belakang bus.
Sesaat setelah motor yang ditumpangi Basuki dan Abi mulai berjalan menjauhi halte, Basuki sempat melirik ke spion berkali-kali. Ia memperhatikan sosok pria yang sedari sebelum turun bus pun sudah mengekori putrinya — bahkan tatapannya pun terus tertuju pada Abi. Basuki melihat dengan jelas sosok Kendra masuk ke dalam sebuah sedan mewah yang berhenti persis di depan halte. Kecurigaan Basuki semakin menguat.
“Tumben pulangnya cepat,” ucap Basuki membuka percakapan dengan putrinya.
“Iya, bosnya Abi pulang cepet, Ay.”
“Oh….” Basuki berdeham sebentar. “Itu cowok tadi yang tinggi banget teman kantor kamu?”
Abi terkejut mengetahui ayahnya ternyata memperhatikan sosok Kendra. “O-Ooh.. iya, itu bos Abi juga. Manajer di kantor.”
“Ganteng,” puji Basuki terang-terangan. “Itu juga bukan yang mau diajak main ke rumah?”
Basuki tersenyum usil ke arah spion. Meski pandangannya sedikit berbayang, ia bisa melihat wajah putrinya tampak salah tingkah. Abi pun seperti kehabisan kata-kata untuk menjelaskan, hingga akhirnya, Basuki paham sendiri.
“Bagus juga selera anak Ayah.”
“Ayah!”
Basuki hanya terkekeh pelan. Akhirnya, hari yang dinantinya tiba. Hari di mana putri semata wayang kesayangan Basuki benar-benar tumbuh dewasa dan berani memperkenalkan sosok pria yang dipercaya mampu menjadi pendamping hidup yang baik untuknya kelak.
Basuki menghela napas pelan, wajahnya tersenyum damai.
“Bawa ke rumah, Nak. Ayah dan Ibumu sudah siap.”
— tbc.