[Mau Nikah?] — Tertampar Fakta

soljaecruise
8 min readDec 28, 2024

--

Meski selalu membuat catatan saat rapat berlangsung, Abi dan Tantina memang selalu merekam pembicaraan sepanjang rapat untuk memastikan kembali isi catatan yang mereka buat. Istirahat makan siang kali ini, berhubung Abi tak nafsu makan — dan lagi dia juga sudah dibawakan bekal oleh sang Ibu, Abi memilih menghabiskan waktu untuk mendengarkan isi rekaman rapat tadi pagi.

Ada beberapa pembahasan dalam rapat yang sebenarnya membuat kening Abi berkali-kali mengerut dan perutnya terasa diaduk-aduk. Berkebalikan dengan alasan Kendra memecatnya — untuk perampingan organisasi, pembicaraan rapat pagi tadi bersama para dewa-dewa justru banyak membahas tentang rencana ekspansi pabrik tahun depan.

Ada kalanya Abi ingin angkat suara, mempertanyakan rasa penasaran yang sudah menyesakkan sejak Kendra mengatakan kontrak kerjanya akan dihentikan. Tapi Abi tahu, ia tidak memiliki hak suara apapun dalam rapat ini. Ia tidak punya tempat. Maka dari itu, Abi hanya bisa bungkam dan menelan mentah-mentah seluruh tanda tanya di balik isi kepalanya.

Ketika mendengerkan ulang pembahasan mengenai hal tersebut dalam rekaman pun rasa mual kembali muncul seketika. Abi mulai merasa ada yang janggal. Kalau memang tujuannya untuk efisiensi, kenapa hanya dirinya yang dipecat? Tidak ada ramai-ramai pegawai membicarakan adanya PHK massal. Karena kalau memang iya, orang-orang pasti sudah ketar-ketir.

Tapi ini tidak. Orang-orang datang ke kantor dengan semangat, pergi makan siang, menikmati waktu istirahat seperti biasanya. Selain itu, sepanjang Abi mengikuti rapat bersama dewa-dewa, seingatnya tidak pernah ada isu yang membahas tentang kerugian perusahaan dan urgensi adanya efisiensi. Justru, SMFood sekarang bisa dikatakan sedang berada di puncak kejayaannya. Dengan adanya pembahasan tentang ekspansi pabrik, artinya perusahaan harus segera merekrut pegawai baru, kan?

Dengan perasaan campur aduk, Abi kembali mendengarkan isi percakapan rapat sampai bagian akhir — bagian ketika terdengar suara para dewa meninggalkan ruangan, tetapi ternyata masih ada percakapan tersisa di ujung dari bagian akhir. Suara Indri yang tak lama disusul oleh suara Pandu menahan gerakan tangan Abi menghentikan aplikasi pemutar rekaman di laptop. Tubuhnya mendadak kaku mendengar percakapan yang terjadi.

“Gimana? Abi sudah dipecat?” suara Indri terdengar enteng, tanpa rasa bersalah. Dada Abi serasa ditikam pisau kala mendengarnya. Tangannya yang masih bertahan memegang tetikus bergetar tanpa bisa Abi hentikan.

“Sudah, Bu. Kemarin saya sudah minta Kendra untuk bicara dengan Abi.” Pandu menghela napas berat. “Tapi mohon izin, Ibu, demi kelancaran proses bisnis dan menghindari penumpukan beban kerja di sekre menjelang akhir tahun, kami sampaikan ke Abi kalau dia masih akan dipekerjakan sampai akhir bulan depan.”

“Ya terserah lah, kamu atur aja,” sahut Indri. “Yang penting sesuai janji, tahun depan saya nggak mau liat muka dia di sekitar saya. Dandanannya terlalu berlebihan. Keliatan sekali minta diperhatikan, apalagi sama si Kendra. Kamu merhatiin nggak?”

“Mungkin memang Kendra tertarik dengan Abi, Bu? Apa… Ibu keberatan?”

“Apa menariknya si Abi itu. Selera perempuan Kendra jelas nggak sesuai dengan latar belakang darah birunya.”

Napas Abi tercekat di tenggorokan. Jantungnya seakan berhenti berdetak detik itu juga. Kini bukan hanya, seluruh tubuh Abi pun ikut bergetar. Kedua tangannya kini terkulai di kedua sisi tubuhnya. Mata Abi menatap layar laptop nanar hingga huruf-huruf di hadapannya berbayang.

Lalu, ketika isi perutnya terasa semakin dikoyak, Abi merasakan serangan sakit kepala dan mual yang dahsyat. Ia lantas berlari ke kamar mandi di tengah suasana kantor yang sepi, sebagian besar pegawai masih berada di luar menikmati waktu istirahat makan siang.

Abi mengunci diri di sana. Ia terduduk lemas di depan toilet sambil mengeluarkan seluruh isi perutnya. Abi harap, bukan isi perutnya saja yang keluar, tetapi juga isi kepalanya tentang pembicaraan yang baru saja ia dengarkan. Ia terkejut dan sama sekali tidak menyangka, alasannya diberhentikan sesederhana karena Indri tak menyukai penampilannya — atau bisa juga dirinya.

Abi berjalan sesenggukan menuju wastafel. Ia lalu mencuci wajah, menghapus seluruh riasan tipis yang ia kenakan dengan tisu basah yang tersedia. Setelah itu, Abi hanya bisa memandangi wajahnya sendiri yang kini polos tanpa polesan apapun di cermin. Napasnya menderu hingga pundaknya tampak naik turun.

Ia benar-benar tak mengerti apa yang salah dengan penampilannya. Setiap hari Abi sengaja bangun lebih pagi untuk menyetrika pakaiannya hingga licin meski sudah disetrika sebelumya setelah dicuci. Ia juga tak memoleskan banyak riasan karena tak punya waktu, keburu tertinggal jadwal busnya. Menurut Abi, alasan Bu Indri memecatnya tadi terlalu mengada-ada. Alih-alih mencari perhatian, Abi hanya ingin terlihat rapi dan profesional.

Tangan Abi menggebrak meja wastafel, ia lalu meraung sekencang-kencangnya, sejadi-jadinya hingga udara dalam paru-parunya terasa kosong. Mulutnya terus terbuka lebar sampai tidak ada suara sedikitpun keluar dari sana. Air mata yang membanjiri wajah Abi mengaburkan pandangannya. Tubuh Abi beranjak mundur, menabrak tembok, lalu merosot hingga ia terduduk di lantai tak bertenaga. Energi terkahirnya ia gunakan untuk mengisi paru-parunya lagi sebelum kembali menjeritkan rasa frustrasi dan depresi yang melalap seluruh kewarasannya.

Tangisan Abi menggema di seluruh kamar mandi. Bahkan juga bocor ke lorong di depannya. Namun, tidak ada yang mendengarkan. Tidak akan ada orang yang mengerti penderitaannya. Hanya tembok-tembok keras yang menjadi saski bisu rasa dendam yang perlahan tumbuh di hati sang gadis yang kini hanya bisa memeluk dirinya sendiri, meratapi nasibnya yang nahas. Terus seperti itu selama setengah jam, hingga waktu istirahat berakhir.

Abi masih terduduk di lantai dengan pandangan kosong, tenggorokannya perih karena berteriak terlalu kencang.Perlahan, ia mulai bangkit. Dengan lutut gemetar, Abi mencuci wajahnya sekali lagi, berusaha menggali sisa akal sehat tersisa. Ia menarik napas sambil menatap wajahnya yang kacau. Tekadnya sudah bulat. Ia harus balas dendam!

Abi melangkah lebar-lebar dengan tempo secepat hembusan angin menuju ruangan Kendra. Pria itu sedang melakukan rapat virtual ketika Abi — hanya bermodalkan mengetuk pintu dua kali tanpa menunggu jawaban — menyentak lebar pintu ruangan Kendra. Sang pemilik ruang yang tak mengira akan kedatangan tamu terlonjak hingga kursinya ikut terdorong menabrak kabinet. Kendra buru-buru mematikan fitur tampilan layar dan suara di rapat sebelum menyambut kedatangan Abi.

“Kenapa Bapak bohongin saya?” labrak Abi seketika, mengurungkan niat Kendra untuk bangkit dari kursi.

“Bb — bohong gimana ya, Abi?” tanya Kendra bingung. Ia lalu mengulurkan tangan, meminta Abi duduk. “Si — silakan duduk dulu, biar kamu tenang.”

Sayangnya, Abi menolak mengikuti saran Kendra. “Bapak bilang, saya dipecat karena perampingan organisasi. Ternyata bukan kan, Pak?” tuding Abi seraya menatap Kendra garang, membuat Kendra semakin gelagapan.

“I — Itu — ”

“Saya dipecat karena Bu Indri nggak suka sama saya kan, Pak? Karena penampilan saya dianggap berlebihan???” ucap Abi separuh menjerit, memberi seragan telak kepada Kendra hingga pria itu tak berkutik. Kendra hanya bisa terdiam melihat Abi kini memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan air matanya yang mulai terjun bebas.

Untuk beberapa saat, Kendra tak bisa mendengar apapun di ruangannya selain isakan kecil yang mati-matian Abi tahan. Ia lalu buru-buru bangkit berdiri ketika tersadar. Kendra menyodorkan sapu tangannya kepada Abi.

Abi menatap tangan Kendra dengan pandangan kecut. Namun begitu, ia tetap meraih sapu tangan pemberian Kendra pada akhirnya.

“Kenapa Bapak tega ikutan bohongin saya? Apa karena Bapak juga mau manfaatin kesempatan ini buat ambisi Bapak?” tuduh Abi sambil menatap Kendra tajam.

Kendra cepat-cepat menggeleng. “Eng — nggak gitu, Abi. Saya nggak punya pilihan. Nggak mungkin saya bilang alasan sebenarnya…” Suara Kendra melemah, ia melirik Abi yang kini memalingkan pandangannya dari Kendra penuh rasa marah. Kendra menarik napas pelan, mencoba meluruskan kesalahpahaman di kepala Abi.

“Saya nggak ada niatan mengambil keuntungan sama sekali di sini. Ya… mungkin kelihatannya nggak begitu, tapi saya berani sumpah,” Kendra menelan ludah seraya mengacungkan dua jari ke udara, “…saya emang udah merhatiin kamu beberapa waktu ini.”

Kening Abi malah mengerut seketika mendengar ucapan Kendra. “Bapak suka sama saya?”

Kendra menggeleng, sedetik kemudian mengangguk, lalu menggeleng kembali, membuat Abi semakin bingung. Tepat sebelum Abi buka suara kembali, suara ketukan pelan di pintu ruangan Kendra menginterupsi perdebatan keduanya. Kendra meminta Abi untuk duduk dan menunggu sementara ia berbicara dengan tamunya yang ternyata adalah… Noah. Kendra otomatis bersungut-sungut.

“Ken, gue izin keluar sebentar ya — eh, ada siapa tuh?” Noah melongok ke dalam dan menyadari ada sosok familiar yang tengah duduk dengan tubuh lesu di kursi ruangan Kendra.

Mulut Noah otomatis menganga, senyumnya mengembang. Sebelum ia sempat bersuara, Kendra telah lebih dulu menempelkan telunjuk ke bibir pria itu, memintanya untuk mengurungkan segala kata-kata heboh yang ingin ia lontarkan.

Sebelum rela diusir pergi, Noah sempat berbisik, “Semangat, Ken. Semoga sukses.”

Kendra mengangguk-angguk sebelum melambaikan tangan meminta Noah segera enyah dari pandangannya dan kembali menutup pintu. Begitu Kendra hendak duduk di kursinya, Abi tiba-tiba saja sudah menodongnya dengan pertanyaan lain. Pertanyaan yang sama sulitnya Kendra pahami.

“Mana dokumen yang harus saya tanda tangan?” tembak Abi tanpa basa-basi.

“Dokumen apa?” Wajah Kendra sedikit miring, mencoba mencerna pertanyaan Abi. Seingatnya, tanda tangan pemberhentian kontrak memang baru akan dilakukan akhir bulan depan.

“Kontrak nikahnya,” jelas Abi tak sabar yang membuat mata Kendra seketika melebar.

Bibir Kendra terlipat, otaknya tiba-tiba saja dipenuhi banyak pertanyaan akan perubahan sikap dadakan Abi. Ini… dia nerima lamaran gue? Tapi kenapa nanyain kontrak, ya?

Kendra menarik napas, membuka mulut, lalu mengatupkannya kembali. Terus seperti itu, selama kurang lebih tiga kali saking bingungnya memilih kata-kata yang tepat untuk diberikan kepada Abi. Ia lalu memejamkan mata, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab pertayaan Abi dengan tegas.

“Nggak ada kontrak, Abi. Saya nggak nyiapin apa-apa. Saya mau nikah selayaknya pasangan normal pada umumnnya.”

“…Tt — tapi, Pak?” Kata-kata Abi menggantung di lidahnya.

Kendra kemudian mengembuskan napas seraya menatap dalam bola mata Abi yang kini memandangnya termangu.

“Nggak ada kontrak, Abi,” tegas Kendra sekali lagi. “Saya juga nggak berencana cerai sama kamu setelah masa kontrak habis kayak di film-film.”

Kendra berdeham sebentar sebelum mengucapkan kalimat pamungkasnya. “Ayo, nikah. Hidup sama saya sampai tua.”

Abi tertegun. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya ketika mendengar Kendra mengatakan hal tersebut. Kalimat terakhir Kendra terus terngiang-ngiang di kepalanya sepanjang hari, hingga Abi pulang dari kantor.

Sama seperti malam sebelumnya, malam ini, Abi juga tak henti melamunkan percakapannya dengan Kendra di dalam bus sambil menatap pemandangan gedung-gedung tinggi. Jantungnya masih sedikit berdebar setiap kali ucapan terakhir Kendra terputar di kepalanya.

Ayo, nikah. Hidup sama saya sampai tua.

Terkadang, Abi merasa tersentuh karena ucapan manis tersebut terdengar tulus, namun tak bohong, ia juga merasakan sedikit rasa takut menyelip. Hidup sampai tua dengan orang yang tak terlalu ia kenal rasanya seperti menyerahkan hidupnya dalam permainan judi. Apakah Abi akan berakhir bahagia atau tidak, ia tidak yakin dengan jawabannya. Apalagi dengan sosok Kendra dan keluarganya sangat jauh di luar jangkauan Abi.

Tapi, Abi sendiri tak mengerti apa yang mendorongnya tadi, hingga akhirnya… ia menyetujui lamaran Kendra. Mungkin rasa dendam kepada Indri, karena dengan menikahi Kendra, artinya Abi akan tetap berkeliaran di sekitar bosnya tersebut walau bukan sebagai pegawai nantinya. Atau mungkin karena janji Kendra untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendesak? Atau mungkin…

Abi hanya lelah terhimpit beban dunia. Ia butuh sandaran dan kebetulan saja sosok Kendra muncul bak malaikat penolong.

Abi rasa, ia setengah melindur ketika menjawabnya. Bahkan sekarang, setelah turun di bus dan menghampiri sang ayah yang telah menunggu dengan wajah terkantuk-kantuk, Abi yakin ia belum sepenuhnya sadar. Ketika ayahnya menyodorkan helm, alih-alih menerimanya, Abi malah berkata,

“Kalo Abi… nikah, Ayah sama Ibu gimana?”

Kerutan di wajah Basuki seketika bertambah banyak mendengar ucapan dadakan putrinya.

“Kamu kenapa tiba-tiba ngomong begitu?”

Abi menghela napas. Ia meraih helm dari tangan ayahnya. Lalu, sambil mengenakan benda yang sebenarnya sudah tak layak pakai itu di kepalanya, Abi berkata lirih,

“Abi dipecat, Ay. Abi mau nikah aja.”

Seketika itu juga, Basuki nyaris kena serangan jantung.

tbc.

--

--

No responses yet