[Mau Nikah?] — Tertangkap Basah

soljaecruise
10 min readJan 7, 2025

--

Ternyata ada untungnya juga Kendra ikut agenda touring bersama para dewa. Pikirannya yang kalut selama beberapa hari belakangan — tepatnya, setelah ia pulang dari rumah Abi untuk mengantar martabak — sekarang sedikit terasa lebih baik. Sedikit, setelah ia menekuni hobi lamanya: jalan-jalan tak tentu arah mengendarai Jarvis — motor Harley kesayangannya.

Kendra bisa merasa sedikit bebas untuk menyuarakan rasa frustrasi yang ada di kepalanya dengan berteriak tanpa takut ada yang mendengar karena suaranya teredam di dalam helmnya sendiri. Dengan kecepatan cukup tinggi, motor Kendra menyusuri jalanan menanjak menuju area Sentul bersama rombongan Harley milik para dewa lainnya.

Seperti statusnya sebagai anak bontot — di keluarga maupun di klub SM touring — Kendra sengaja menjaga posisinya tetap berada di paling belakang, tidak ingin mendahului, asal rangkaian rombongannya tidak terputus. Oleh karena itu, Kendra sampai sedikit belakangan di kafe milik Pak Jono. Pemandangan pegunungan yang indah dan sejuk menyapa Kendra, membuat perasaannya sedikit membaik. Setidaknya, ia bisa sedikit melupakan keresahan tentang hubungannya dengan Abi yang menggantung.

Para dewa lainnya berjalan masuk ke dalam kafe mendahului Kendra yang masih sibuk melepaskan perintilannya — helm, sarung tangan, juga kancing jaket kulit yang ia kenakan. Baru setelah itu, Kendra menyusul, melewati bagian taman lalu menyusuri bagian indoor kafe menuju bagian outdoor — di mana para dewa sudah berkumpul.

Namun, seakan memang takdir selalu memiliki cara untuk mempertemukan para insan yang berjodoh, Kendra tiba-tiba saja menemukan sosok familiar yang selama beberapa hari ini berkeliaran di kepalanya. Abi, di sudut bagian indoor kafe, sedang duduk berdua — berhadapan — dengan seorang pria, tengah terbahak sampai perempuan itu lupa dengan situasi di sekitarnya. Kening Kendra mengernyit detik itu juga. Sudah pergi sejauh inipun, ia masih dipertemukan dengan Abi. Apa ini artinya… mereka memang berjodoh?

Melihat Abi yang masih asyik berbicara dengan teman prianya, Kendra tanpa sadar mengepalkan tangan — meremas sarung tangan motornya yang masih ia tenteng. Rahang Kendra berkedut cepat. Pria itu melipat bibirnya beberapa kali sebelum membuang muka sambil mendengus, “Hah!” ke udaradan kembali menatap Abi dengan pandangan tajam.

Perlahan namun pasti, langkah Kendra berderap menghampiri meja di bagian paling ujung dekat dengan dapur. Suasana kafe yang ramai sama sekali tak meredupkan api cemburu yang terlanjur terpantik dalam diri Kendra melihat Abi bisa berinteraksi dengan nyaman bersama seorang pria, di saat Kendra uring-uringan hanya demi menantikan pesan kejelasan hubungan mereka dari Abi.

Ketika ada sosok pria dengan pakaian serbahitam, lengkap dengan jaket kulit mahal mengilat di dekatnya, Abi terkesiap. Kepalanya menengadah ke atas hingga Abi nyaris terjungkal saking tingginya pria yang kini berdiri persis di sebelah mejanya. Raut ketus di wajah sang pria membuat Abi sedikit bingung. Baru kali, sungguh baru kali ini ia melihat wajah Kendra ketika sedang marah.

Visualisasi Kendra dan Jarvis

Kendra menaruh satu tangannya dengan keras di atas meja Abi, tubuhnya sedikit membungkuk.

“Kamu kok nggak balas chat saya malah nongkrong di kafe sama cowok?”

Pandangan Kendra berputar, ia melirik tajam pria di hadapan Abi yang kini menatap sosok Kendra penasaran. Siapa? Tanya Irfan dengan gerak bibir nyaris tak kentara. Tubuhnya mendadak menggigil sejak kedatangan Kendra. Sementara, Abi hanya memejamkan mata seraya menggeleng kepada tetangga sekaligus pacar sahabatnya tersebut, memberikan kode bahwa ia akan menjelaskannya nanti.

Kendra masih menatap Irfan galak — sedikit melotot — ketika Abi akhirnya buka suara.

“Ini pacarnya sahabat saya, orangnya lagi di toilet,” jelas Abi yang seketika membuat air muka Kendra berubah.

Pria itu tiba-tiba saja berdeham — salah tingkah — kemudian perlahan, memalingkah wajahnya ke belakang seraya meringis, sebelum kembali menatap Abi dengan pandangan memelas. Sangat berbalik 180 derajat dari ekspresi garangnya beberapa detik lalu. Sampai-sampai, Abi hanya bisa memutar bola mata sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Kendra.

Irfan yang mulai menyadari ada “sesuatu” di antara Abi dengan pria yang tiba-tiba saja menaruh curiga kepadanya lekas mengulurkan tangan, hendak memperkenalkan diri.

“Irfan pacarnya Lulu, teman main sekaligus tetangga Abi dari kecil. Sebenernya, saya juga tetangganya Abi sih hehe. Kami bertiga tinggal di area yang berdekatan,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Kendra menjabat tangan Irfan ragu-ragu, masih merasa malu. “Kendra, calon su — rekan kerja Abi.” Kendra cepat-cepat meralat perkataannya ketika mendapat pelototan tajam dari Abi. Setelah itu, ia mendekatkan kepalanya ke arah Abi untuk berbisik,

“Kamu masih ngambek gara-gara saya bilang calon pengangguran?”

Nada suara Kendra harap-harap cemas. Padahal setelah pertemuan di rumah Abi kemarin, jelas bukan hanya itu yang membuat Abi tak membalas pesan-pesan Kendra. Tapi entah kenapa, di kepala Kendra, hal kecil itulah yang menyebabkan seluruh malapetaka ini. Kalau saja mulutnya tidak sembarangan bicara, mungkin… mungkin… hari ini seharusnya Kendra pergi berkencan dengan Abi?

Atau… tidak. Hari ini ia memang ditakdirkan terjebak mengikuti kegiatan bersama para dewa.

Mendengar pertanyaan Kendra, Abi melengos. Ia justru memperhatikan penampilan Kendra dari ujung kepala hingga ujung kaki yang sangat tidak biasa, belum pernah Abi lihat sebelumnya.

“Bapak ngapain di sini?”

“Sa — Saya lagi touring sama Pak Pandu, Pak Ismet, Pak Jono, Pak — “

“Sama dewa-dewa maksudnya?” sela Abi.

Kendra mengangguk pelan dan kaku sambil masih menatap Abi dengan bola mata membesar dan berbinar, seakan mengharapkan belas kasihan.

“Ka — kamu pulang sama saya aja, ya? Saya beli helm dulu. Kamu tunggu di sini.”

Tangan Abi sigap menangkap tangan Kendra yang baru saja diangkat dari permukaan meja sehingga lelaki itu menoleh.

“Nggak usah, Pak, nanti saya masuk angin. Lanjutin aja touring karirnya.”

Abi sengaja tersenyum ala kadarnya — hanya asal cukup memperlihatkan ledekan terselubung Abi kepada Kendra yang baru saja memperlakukan Abi seolah-olah gadis itu memiliki arti penting di hidup pria tersebut, tetapi jelas prioritas Kendra hari ini bukan dirinya. Abi cukup tahu diri bahwa sebesar apapun keinginan Kendra untuk menikah, tetap lebih besar keinginan pria itu untuk memiliki karir yang lebih baik. Fakta tersebut membuat Abi tersenyum masam dalam hati.

Seperti dugaan Abi, Kendra pun hanya diam, tak mampu berkata-kata.

***

Sepanjang berada di kafe itu, Abi sadar Kendra sengaja bolak-balik di sekitarnya. Padahal jelas, meja para dewa ada di bagian outdoor kafe dan untuk mencapainya, para tamu harus lebih dulu menuruni bukit kecil dengan tangga. Kalau hanya untuk memesankan para dewa makanan, Kendra harusnya tak perlu repot-repot bolak-balik seperti pelayan di kafe itu sendiri. Abi yakin, di bawah pasti juga banyak pelayan yang stand by. Aplagi, yang datang adalah rombongan “eksklusif”, mereka pasti sigap mencatat dan menyediakan makanan yang tak ada di menu sekalipun.

Jadi, menurut Abi, alasan Kendra berkeliaran di sekitarnya benar-benar tak masuk akal dan hanya cari perhatian.

Di luar sepengetahuan Abi juga, sebenarnya Kendra sudah pamit duluan kepada para dewa, minta izin untuk tidak melanjutkan agenda touring. Alasannya, ada keperluan mendesak yang tidak bisa ia kemukakan: membujuk dan mengantar Abi pulang. Saking kerasnya upaya Kendra, ia sampai rela pergi keluar, membeli helm dan jaket kulit untuk Abi kenakan, sebelum kembali ke area kafe.

Hari nyaris petang waktu Kendra kembali. Ia duduk di badan Jarvis, menunggu dengan setia Abi dan rekan-rekannya keluar dari pintu kafe. Begitu sosok yang dinantinya muncul, Kendra sigap berdiri dan menghampiri Abi. Tanpa aba-aba, ia menyodorkan helm berikut jaket kulit yang dibelinya hingga membuat Abi dan teman-temannya terperanjat melihat sikap dadakan Kendra.

Lulu langsung menyikut Abi ketika gadis itu hanya diam mematung selama beberapa detik sementara Kendra sepertinya masih sabar menunggu Abi merespons.

“Lu, ini Pak Kendra, yang tadi gue ceritain,” ucap Abi gugup seraya mengegser tubuhnya, memberi ruang bagi Lulu untuk mengulurkan tangan kepada Kendra.

“Lulu, teman dan tetangga Abi dari kecil.”

“Kendra. Maaf, tangan saya penuh,” Kendra menatap barang-barang di tangannya sebelum kembali melirik Abi yang kini pura-pura tak paham maksud tatapan Kendra. Lulu mengangguk paham.

“Abinya boleh saya yang antar pulang?” tembak Kendra langsung yang seketika membuat Lulu menatap Irfan dan Abi bergantian. Mana mungkin ia bisa menolak permintaan mengintimidasi Kendra, meski Abi memberikan lirikan maut, memohon Lulu untuk menolak permintaan tersebut.

“Oh, boleh, Pak. Mau diajak jalan-jalan dulu juga nggak apa-apa,” jawab Lulu seraya mengerling kepada Abi.

Menurutnya, ini justru kesempatan yang bisa Abi manfaatkan untuk memberi keyakinan kepada dirinya sendiri, apakah pria tampan di depan Lulu ini — yang jelas-jelas kelihatan sangat tertarik dan peduli dengan Abi — bisa menjadi calon suami idamannya.

Abi lantas bersungut-sungut kepada Lulu sebelum menerima helm dan jaket pemberian Kendra. Ia melangkah gontai mengikuti sosok Kendra yang kini sudah duduk di atas motor sambil menyalakan mesin sambil melambai, berpamitan kepada Lulu dan Irfan yang kini sudah berjalan menuju parkiran mobil.

Melihat Abi kerepotan, Kendra otomatis menawarkan diri untuk membantu.

“Sini, saya bantu.”

Kendra meraih helm di tangan Abi, lalu sigap memasangkan di kepala perempuan tersebut selagi Abi sibuk berusaha menaikkan ritsleting jaket kulitnya yang masih kaku. Baru setelah jaketnya terpasang sempurna — dengan batuan Kendra juga pada akhirnya, Abi dengan hati-hati menempatkan tubuhnya duduk persis di balik punggung Kendra. Saking tinggi dan lebarnya tubuh pria di hadapannya, Abi sampai tak bisa melihat pemandangan yang ada di depan.

“Maaf kalau nggak sopan, tapi kayaknya kamu harus pegangan yang erat biar nggak jatuh,” ucap Kendra sambil menoleh sebelum mengemudikan motornya.

Meski tak terlalu jelas, Abi paham apa yang dikatakan Kendra dari balik helmnya yang kedap suara. Perlahan, sedikit ragu-ragu, Abi melingkarkan tangannya di pinggang Kendra. Sesaat Abi sadar, tubuh Kendra menegang. Tangannya refleks mengendurkan kaitannya di tubuh lelaki itu. Namun beberapa detik kemudian, Abi merasakan tangan Kendra justru menyentuh tangannya, berusaha mengeratkan kembali pelukan Abi di pinggang pria itu sebelum Kendra melajukan Jarvis dengan kecepatan tinggi.

Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam itu mendadak terasa jauh lebih lama. Namun, baik Abi dan Kendra seakan tidak ada yang menyadari waktu. Keduanya larut oleh sapuan angin senja yang terasa sedikit sejuk sore itu sehabis hujan. Rasa nyaman semakin lama semakin mengikis jarak antara tubuh Kendra dan Abi sendiri. Hingga tanpa sadar, dan entah sejak kapan, kepala Abi sudah bersandar di punggung Kendra sampai pria itu harus menoleh ke belakang berkali-kali, hanya untuk memastikan bahwa Abi tidak tertidur.

Sesampainya di depan gerbang rumahnya, Abi mengembuskan napas, sedikit kecewa karena harus segera turun dari motor Kendra sebelum lelaki itu sadar bahwa Abi sangat menikmati perjalanan mereka barusan. Meski nyaris tak saling bicara, sunyi yang menemani sepanjang jalan menjadi bukti bahwa keduanya memang sudah saling merasa dekat, walau masih dalam batas abu-abu. Dekat hanya sebagai rekan kerja atau sebagai calon rekan hidup. Itu yang masih menjadi misteri.

Tapi dipikir secara logika, mana ada rekan kerja yang boncengan pulang naik motor sambil pelukan, kan?

Kepala Abi masih sedikit jet lag dengan kejadian yang baru saja ia alami.

“Makasih ya, Pak, sudah nganterin pulang.” Abi menyerahkan helm miliknya kembali kepada Kendra, namun pria itu tegas menolaknya.

“Simpan aja, buat jalan-jalan lain kali.”

Satu alis Abi otomatis naik. Maksudnya, gue mau diajak jalan-jalan lagi nih kapan-kapan? Wajah Abi tiba-tiba saja bersemu melihat Kendra tersenyum manis kepadanya. Pria itu mematikan mesin motor dan memarkirkan motornya di depan gerbang rumah Abi sebelum turun. Kendra memasukan kedua tangannya ke saku celana sambil berdiri menghadap Abi.

“Saya tau omongan kamu tempo hari ada benarnya. Waktu itu mungkin saya bingung, tapi hari ini saya punya jawabannya.”

“Jawaban apa?” tanya Abi tak mengerti.

“Kenapa saya milih kamu.”

Abi menengadah, melihat kepala Kendra nyaris persis di atas kepalanya. “Ke — Kenapa?”

Kendra tersenyum lebar. “Nggak ada alasannya, Abi. Saya cuma nggak mikirin sosok perempuan lain jadi istri saya, selain kamu.”

Abi menelan ludah berat, bingung dengan jawaban Kendra yang sama sekali tak memecahkan teka-teki di kepala Abi tentang sosok pria tersebut. Namun, suaranya seperti tertahan ditenggorokan, ia seakan terhisap oleh tatapan mata Kendra yang tulus dan sulit ditolak. Tidak ada yang Abi temukan di sana selain kejujuran. Dan hal sesederhana itu… mampu membuat jantung Abi berdegup kencang.

Sebelum Abi sempat membuka mulut, pintu depan rumahnya tiba-tiba saja terbuka. Sosok Basuki — dalam balutan kaus lusuh dan sarung lama kesayangannya — muncul tanpa rasa terkejut, membuat Abi curiga, ayahnya mungkin sudah mengintip sedari tadi.

“Ada siapa itu, Abi? Ada tamu kok nggak disuruh masuk?”

Abi dan Kendra otomatis mengambil jarak selangkah menjauhi satu sama lain. Dengan penuh sopan santun, Kendra separuh membungkuk dan mengangguk menyapa Basuki yang kini mulai melangkah mendekati pagar.

“Ma — Malam, Om,” sapa Kendra canggung sambil melirik Abi, meminta pertolongan, tetapi yang ditatap pun sedang sama salah tingkahnya dengan Kendra.

Basuki mengangguk-angguk seraya terkekeh hingga matanya nyaris tampak segaris. Wajahnya tampak semringah.

“Kamu pacar anak saya, ya? Bagaimana sih, masa tetangga-tetangga saya duluan yang ketemu.”

Basuki lalu memperhatikan putrinya sendiri yang kini berdiri sambil bergerak-gerak gelisah, paham betul kalau Abi tidak menyangka bahwa Basuki akan tiba di rumah secepat ini. Padahal, tadi pagi, pamitnya akan pulang larut dari rumah saudara jauh mereka.

Tak tahu saja Abi, Basuki dan Mustika sudah tiba di rumah sejak sore dan bingung ketika tak menemukan Abi di rumah hingga hari mulai gelap. Tumben, tak biasanya Abi pergi keluar pada malam minggu. Basuki dan Mustika agaknya memiliki firasat bahwa mungkin… putri mereka pergi berkencan, seperti dikabarkan beberapa tetangga yang bersaksi pernah melihat Abi pacaran di teras rumah keluarga Basuki beberapa hari silam.

“Untung Ayah pulang cepat, jadi bisa ketemu pacar kamu, Nak.”

Abi hanya bisa tertawa meringis. Bola matanya seketika membesar ketika melihat ayahnya membuka pagar rumah mereka lebar-lebar, mempersilakan agar motor Kendra — yang ukurannya besar — bisa ditaruh di dalam pekarangan rumah.

“Masuk, Nak…?” Basuk menatap Kendra penuh tanda tanya, memberi Kendra isyarat untuk memperkenalkan diri.

“Kendra, Om.”

Basuki mengangguk. “Masuk, Nak Kendra. Ibunya Abi ada di dalam. Ini kan malam minggu, nggak apa-apa kan Bapak ajak ngobrol sebentar?”

Kendra tersenyum lebar. Ia melirik Abi sebentar, meminta persetujuan, dan langsung dijawab dengan anggukan pelan oleh sang gadis.

“Boleh, Pak,” jawab Kendra mantap, berusaha keras untuk tidak gugup di depan calon mertuanya sendiri agar tampak meyakinkan, selayaknya pria sejati, seperti yang selalu dipesankan ayahnya sejak Kendra muda.

Kalau ketemu calon mertuamu nanti, apa saja yang dia minta, sanggupi dulu. Jangan ragu-ragu jawabnya.

Siap, Pap, ucap Kendra muda yang kala itu bahkan belum terpikirkan sama sekali akan memiliki sosok mertua.

— tbc.

--

--

No responses yet