[Mau Nikah?] — The Clumsy Kendra

soljaecruise
5 min readNov 24, 2024

--

“Pap, Kendra bakal usahain datang kalau bisa, tapi di hari pelantikan Papa itu Kendra juga ada acara kantor.”

Sayup-sayup, Abi bisa mendengar emosi tertahan dalam suara Kendra — atau seharusnya Pak Kendra, demi sopan santun. Ia tidak berniat mencuri dengar sama sekali. Namun, celah pintu ruangan Kendra yang sedikit terbuka membuat siapapun yang mendekat pasti bisa melihat bagaimana ekspresi kusut pria itu dan mendengar apa yang ia bicarakan dengan seseorang yang dipanggilnya “Papa”. Abi menduga, Kendra mungkin punya sedikit konflik jadwal dengan ayahnya. Pria itu melepaskan salah satu earphone di telinganya dengan tatapan jengah tertuju pada layar tablet.

“Ya, nanti Kendra usahakan kalau bisa. Tapi Kendra nggak janji.”

Tidak ingin mendengarkan lebih jauh — dan lagi ada urgensi yang jauh lebih mendesak — Abi terpaksa menginterupsi sesi zoom meeting sarat ketegangan di dalam ruangan tersebut. Kendra terperanjat saat mendengar ketukan pelan di pintu ruangannya. Tertegun menyadari pembicaraan pribadinya mungkin sudah menjadi konsumsi orang lain karena kecerobohannya sendiri.

“Permisi, Pak.”

Meihat sosok Abigail — Abi — sekretaris dari atasan tertingginya berdiri di sela-sela pintu, Kendra buru-buru menyudahi panggilannya.

“Pp — Pap, udah dulu ya. Kendra ada urusan penting.” Setelah itu, ia berdeham sambil menegakkan posisi tubuh, mengembalikan wibawa yang sempat hilang entah ke mana karena perseteruan kecil dengan ayahnya beberapa menit lalu. Tangan Kendra bertaut di atas meja.

“Ada apa, Abi?”

Abi maju selangkah, masuk ke area ruang kerja Kendra. Tubuhnya berdiri anggun dan sopan tepat satu meter di depan meja kerja sang pemilik ruangan. Pria itu kini balas memandang Abi dengan ekspresi kaku. Dari tempatnya, Abi bisa melihat dengan jelas bagaimana rambut Kendra ditata rapi namun tetap natural, juga kemeja putih dan jas biru gelap licin nyaris tanpa kerutan yang membalut sempurna tubuh tegap pria tersebut. Benar kata Kak Tina, batin Abi, sayang kalau sosok serupawan ini nggak jadi artis.

“Karena Pak Pandu mendadak cuti, Bapak diminta Bu Indri untuk menggantikan di rapat mingguan.”

“Sekarang?” Kendra bergerak panik. Sirna sudah wibawa yang sudah coba ia pertahankan selama sekitar lima menit. Runtuh seketika mendengar nama atasan tertingginya disebut.

Kendra tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu. Satu tangannya menenteng tablet yang tadi ia gunakan untuk zoom meeting, tangan yang lain sibuk membetulkan dasi. Melihat Kendra yang mendadak seperti kebakaran jenggot, Abi mengulum senyum, berusaha menahan tawa. Memang nggak akan ada yang bisa tenang kalau sudah mendengar Bu Indri — CEO perusahaan, bos tertinggi mereka — sudah memberikan titah.

Marlene Indriana— atau lebih sering Abi panggil sebagai ikan marlin saking tajamnya setiap perkataan yang keluar dari bibir sosok tersebut (mirip seperti mulut ikan marlin yang menyerupai tombak) — adalah sosok atasan yang kejam, banyak mau, dan juga selalu memasang target tidak masuk akal di setiap pekerjaan. Tak heran siapapun yang mendapat titah dari beliau langsung kalang kabut, seperti yang Kendra lakukan.

Sebelum keluar dari ruangan, Abi sempat menahan Kendra pergi. Ia melihat dasi yang dikenakan pria tersebut malah makin berantakan setelah dirapikan asal-asalan hanya dengan satu tangan oleh Kendra.

“Maaf, Pak. Boleh saya bantu betulkan dasinya?”

Tubuh Kendra mematung persis di hadapan Abi. Ia tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Namun tanpa menunggu persetujuan Kendra pun, Abi sudah lebih dulu mengambil inisiatif untuk membetulkan dasi abu-abu polkadot yang dikenakan pria tersebut.

Kendra menahan napas selama satu menit selagi kepala Abi berjarak hanya sekitar beberapa sentimeter dari kepalanya. Matanya awas memperhatikan suasana di luar ruangan, takut ada yang memergoki dan berpikir yang tidak-tidak melihat adegan yang sedang ia dan Abi lakukan. Untungnya, semua orang tampak sibuk dengan pekerjaan di kubikel masing-masing.

Kendra baru bisa bernapas lega saat Abi menyelesaikan tugasnya. Ia melihat Abi tersenyum puas menatap dasi Kendra yang kini tersimpul sempurna.

“Sudah, Pak.”

Kendra kembali berdeham. “Oh, sudah ya? Ayo, kalau gitu kita segera ke ruang rapat. Takut Bu Indri keburu datang.”

Tanpa sadar, Kendra menarik tangan Abi, membuat gadis itu memandang tangannya sendiri kebingungan dalam genggaman tangan besar sang pria. Menyadari Abi tak bergerak di tempat, Kendra mengikuti arah pandangan Abi. Mulutnya terkesiap seketika menyadari apa yang sudah ia lakukan. Buru-buru Kendra melepaskan tangan Abi sambil meminta maaf.

“E — Eh, sori, saya nggak maksud melecehkan — ”

“Nggak apa-apa, Pak,” sela Abi cepat memperbaiki suasana canggung di antara mereka. “Mari, saya antar ke ruang rapat.”

Dengan senyum sempurna di wajah, Abi berjalan menuntun Kendra menuju ruang rapat. Di sana, para pimpinan selevel Pak Pandu sudah memulai pembahasan mingguan diketuai oleh Bu Indri sendiri sebagai Pimpinan tertinggi. Diskusi yang sempat terinterupsi karena kehadiran Kendra dan Abi pun kembali berlanjut. Kendra duduk di kursi paling ujung — sebagai pimpinan dengan level paling rendah di ruangan — persis di seberang Abi yang duduk manis memantau dan mencatat setiap detail diskusi rapat.

Kendra menggosok-gosokkan tangannya yang terasa dingin, entah karena rasa gurup atau suhu di ruangan yang sepertinya sengaja disetel kelewat rendah untuk menambah aura mencekam. Sekilas meneliti raut wajah Indri, Kendra tahu, suasana hati bosnya sedang kurang bagus. Oleh karena itu, ia berusaha lebih banyak menatap layar monitor yang menampilkan grafik penjualan pekan lalu. Sesekali matanya juga tertuju pada Abi. Bukan karena terpesona, tapi sejujurnya ada yang mengganjal pandangan Kendra sejak gadis itu berada di ruangannya: kardigan Abi yang dikenakan terbalik.

Kendra sudah bimbang sejak mengekori Abi ke ruang rapat. Apa mungkin memang begitu modelnya, ya? Jahitannya di luar? Atau memang nggak sengaja pakainya terbalik? Kasian, nanti dia malu, pikiran Kendra runyam sendiri. Bukannya memperhatikan topik diskusi rapat, malah jadi sibuk memedulikan cara berpakaian Abi.

Kendra menyudahi gerakan jarinya mengetuk-ngetuk meja rapat dengan gelisah. Sepertinya Indri sudah memperhatikannya sejak tadi karena sekarang bosnya tersebut tak henti-henti melemparkan tatapan tajam kepada Kendra.

Kendra buru-buru pura-pura sibuk membaca layar monitor, sambil mengangguk-angguk mencoba memahami faktor yang membuat peluncuran produk makanan ringan mereka tidak mencapai target penjualan sesuai harapan. Tapi semakin ia teliti, semakin ia paham bahwa penyebab utama kegagalan ini tentu saja karena Bu Indri sendiri yang memasang target terlalu tinggi.

Namun, siapa yang berani mengatakannya? Siapa yang berani mengambil risiko dipecat di muka umum?

Tentu, tidak ada satupun orang di dalam ruang rapat tersebut memiliki nyali sebesar itu.

tbc.

--

--

No responses yet